
TIMESINDONESIA, PADANG – Pada 21 Agustus 2024, Menteri Investasi sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, membuat pernyataan kontroversial tentang Raja Jawa dalam sesi penutupan Musyawarah Nasional Partai Golkar.
Pernyataan ini cukup membuat heboh publik, memantik gelombang spekulasi dan kontroversi. Lantas, di luar makna harfiahnya, apa yang bisa kita pelajari dari fenomena ini? Apakah ada sindrom tertentu yang menjelaskan bagaimana "raja-raja" baik yang nyata maupun metaforis dapat memanifestasikan karakteristik tertentu yang kita lihat di panggung politik?
Advertisement
Sindrom Halu-Megalomania
Istilah megalomania mengacu pada delusi tentang kekuasaan, atau dominasi yang berlebihan. Individu yang mengalami sindrom ini sering kali merasa bahwa mereka memiliki kemampuan atau hak yang luar biasa, melebihi kapasitas dan otoritas jabatannya dan sering kali melakukan tindak over-claim, bahkan abuse of power dengan mengandalkan sumber daya kekuasaannya.
Dapat dihipotesiskan, ketika seseorang percaya bahwa mereka adalah "raja" atau tokoh utama dalam narasi politik atau sosial akan bertindak hegemonik. Dalam konteks ini, rakyat, sebagai “raja yang sebenarnya” dalam hirarki politik demokratis, terdegradasi posisinya menjadi hamba sahaya yang mesti menurut dan menerima segala tingkah-polah sang “raja”.
Sementara halusinasi (atau "halu" dalam bahasa sehari-hari) adalah keadaan di mana seseorang merasakan atau melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada. Ketika kedua kondisi ini dikombinasikan, kita melihat seseorang yang tidak hanya merasa memiliki kekuasaan besar tetapi juga menciptakan realitas sistem politik “baru” di mana mereka menjadi figur sentral dan sangat berpengaruh.
Hal ini tentu kondisi yang cenderung distopia, terutama dalam konteks politik, di mana delusi tentang kekuasaan dapat mengarah pada keputusan dan tindakan yang menzalimi masyarakat dalam kelindan otoritarianisme.
Raja Jawa dan Politik Dinasti
Dalam konteks politik Indonesia, konsep "Raja Jawa" tidak hanya merujuk kepada figur-figur sejarah masa lalu tetapi juga pada struktur kekuasaan yang sedang eksis. Sebagai contoh, pelbagai dinasti politik di Jawa dan daerah lain di Indonesia telah mengakar kuat, mengendalikan jalannya pemerintahan dan ekonomi dalam jangka waktu yang lama serta hegemonik.
Seperti yang diungkapkan dalam berbagai artikel dan diskusi, termasuk pernyataan Bahlil Lahadalia, ada sebuah kepercayaan bahwa figur-figur ini memiliki kekuasaan yang hampir tak terbatas yang dalam kasus ekstrem, bisa dianggap sebagai manifestasi dari sindrom halu-megalomania.
Ini tentu memprihatinkan. Bayangkan, ketika seseorang dengan delusi keagungan atau megalomania berada di puncak kekuasaan, dampak dan daya rusaknya berpotensi sangat kompleks. Keputusan yang diambil akan cenderung tidak memperhitungkan realitas atau kebutuhan rakyat, melainkan didorong oleh keinginan untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaan pribadi dan kelompok.
Hal ini menciptakan lingkungan politik yang tidak sehat, di mana kontrol dan kekuasaan menjadi tujuan utama, dan aspirasi rakyat menjadi sekadar alat untuk mencapai tujuan tersebut. Lebih jauh, ini mengangkangi prinsip check and balances.
Dinasti Politik dan Otoritarianisme
Praktik dinasti politik bukanlah fenomena baru di Indonesia. Pada 1998, kita sama-sama berikrar untuk mengikis habis praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun ternyata, pemerintahan Presiden Joko Widodo juga tidak kebal terhadapnya. Dinasti politik dalam konteks ini merujuk pada praktik di mana anggota keluarga atau kerabat dekat pemimpin politik memegang jabatan strategis, yang sering kali mengabaikan prinsip meritokrasi dan demokrasi.
Sudah jadi rahasia umum, praktik dinasti politik membonceng sindrom halu-megalomania, di mana individu-individu dalam lingkaran kekuasaan memaksakan berlakunya hak istimewa untuk memimpin tanpa memperhatikan aturan dan regulasi yang ada.
Menilik berbagai peristiwa termutakhir di negeri ini, sikap otoriter yang sering dituduhkan pada rezim Jokowi semakin menemukan pembenarannya. Terakhir, keputusan-keputusan yang dibuat tanpa mempertimbangkan aspirasi rakyat, seperti upaya untuk mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas umur calon kepala daerah dan ambang batas elektoral partai (meski akhirnya batal setelah desakan demonstrasi besar-besaran di berbagai kota) menunjukkan kecenderungan untuk mengabaikan prinsip-prinsip hukum dan demokrasi. Hal ini merefleksikan mentalitas "kekuasaan absolut" yang sering kali paralel dengan sindrom halu-megalomania.
Dalam konteks keputusan MK tentang batas umur calon kepala daerah, ada indikasi bahwa pemerintahan Jokowi dan pendukungnya berusaha untuk mempertahankan kontrol dengan cara apapun, bahkan jika itu berarti melanggar aturan hukum. Ini adalah cerminan dari keyakinan bahwa mereka berhak untuk terus memegang kendali, terlepas dari legalitas atau kehendak rakyat.
Demikian pula, ambang batas elektoral partai yang tinggi menciptakan hambatan bagi partai-partai kecil untuk mencalonkan calon kepala daerah, sehingga mempertahankan dominasi partai-partai besar dan memperkuat dinasti politik.
Kombinasi antara dinasti politik, sikap otoriter, dan kecenderungan untuk mengabaikan prinsip-prinsip hukum ini menciptakan lingkungan di mana sindrom halu-megalomania semakin berkembang. Ketika pemimpin dan lingkarannya mulai mempercayai bahwa mereka adalah satu-satunya yang layak memegang kekuasaan, demokrasi dan keadilan menjadi terpinggirkan, dan aspirasi rakyat diabaikan demi mempertahankan status quo.
Belajar dari David Easton
Berangkat dari fenomena memprihatinkan ini, David Easton, seorang ilmuwan politik terkemuka, sejak awal 1970-an sudah menawarkan model proses politik aspiratif. Menurut teori ini, proses politik dimulai dengan input yang berupa tuntutan dan dukungan dari masyarakat. Input kemudian dikonversi melalui mekanisme politik seperti partai, lembaga pemerintah, dan lainnya, yang akhirnya menghasilkan output berupa kebijakan atau keputusan politik. Feedback dari masyarakat kemudian digunakan untuk menilai dan menyesuaikan kebijakan tersebut.
Sayangnya, dalam konstelasi politik Indonesia terkini, alur sistem politik yang ideal ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Input dari masyarakat sering kali diabaikan atau dimanipulasi oleh elite politik yang berada di puncak kekuasaan. Aspirasi dan tuntutan rakyat, terutama yang tidak sejalan dengan kepentingan elite, kerap tidak diakomodasi dalam proses konversi. Akibatnya, output yang dihasilkan lebih mengakomodasi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu daripada kebutuhan rakyat.
Fenomena ini diperparah oleh keberadaan dinasti politik dan laku otoriter, yang memperkuat pengabaian terhadap input masyarakat. Dalam konteks ini, proses konversi menjadi sarana untuk mempertahankan kekuasaan daripada untuk menghasilkan kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan rakyat. Kebijakan yang dihasilkan, yang seharusnya merupakan output dari sistem politik yang ideal, sering kali hanya memperkuat status quo dan melestarikan dominasi elite politik yang sedang berkuasa.
Sikap pemerintah yang mengabaikan putusan MK mengenai batas umur calon kepala daerah dan ambang batas elektoral partai adalah contoh nyata dari kegagalan implementasi model sistem politik Easton. Meskipun ada input yang kuat dari masyarakat dan putusan hukum yang seharusnya mengarahkan kebijakan, keputusan politik yang diambil cenderung mengabaikan hal tersebut, dengan tujuan mempertahankan kekuasaan elite.
Sekali lagi, fenomena Raja Jawa menyiratkan betapa (masih) kentalnya feodalisme di negeri ini. Sistem politik yang bersandarkan kepada paham tersebut tentu berseberangan dengan cita-cita demokrasi dan reformasi. Mirisnya, sistem tersebut berkelindan pula dengan gejala sindrom halu-megalomania pada diri kalangan elite berkuasa.
Ketika kekuasaan menjadi alat sekaligus tujuan seseorang, dan ketika kelompok tertentu lebih memprioritaskan narasi keagungan dan hegemoni diri mereka sendiri, kita melihat dampak destruktif yang nyata pada konstelasi politik dan kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya pengabaian terhadap sistem politik aspiratif sebagaimana ditawarkan oleh David Easton, demokrasi dan keadilan terpinggirkan, dan aspirasi rakyat diabaikan demi semakin mengguritanya hegemoni kekuasaan. (*)
***
*) Oleh : Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |