
TIMESINDONESIA, PADANG – Reformasi telah menjadi tonggak penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia sejak lengsernya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998. Gerakan ini tidak hanya menandai transisi menuju pemerintahan yang lebih demokratis, tetapi juga membuka jalan bagi berbagai perubahan struktural dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial bangsa.
Setelah 26 tahun, semangat Reformasi tampaknya mulai memudar, menghadirkan tantangan baru yang memerlukan revitalisasi yang lebih efektif.
Advertisement
Menyimak capaian pemerintahan era terkini, urgensi pembaruan itu kerap diserap sebagai bangkitnya semangat dan gerakan reformasi jilid dua, atau Reformasi 2.0. Menuju gerakan ini, tentu dibutuhkan aksi nyata dan menyeluruh dari seluruh elemen bangsa. Ironisnya, fenomena mayoritas diam (silent majority) justru semakin eksis, menggambarkan kondisi masyarakat yang (mayoritas) pasif namun memiliki potensi besar dalam menentukan arah kebijakan negara.
Sejatinya ide Reformasi 2.0 mengemuka dari niat untuk memperbaiki dan memperkuat fondasi demokrasi Indonesia yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Pada awalnya di tahun 1998, gerakan reformasi menuntut enam poin untuk ditindaklanjuti. Keenam tuntutan itu adalah, membawa Suharto dan kroninya ke pengadilan, amandemen UUD 1945, memperluas otonomi daerah, menghapus dwifungsi TNI, memberantas korupsi, dan menegakkan supremasi hukum.
Tak dapat dipungkiri, dalam perjalanannya, realisasi tujuan-tujuan ini seringkali terhambat oleh berbagai faktor struktural dan kelemahan institusional. Sebagai contoh, implementasi reformasi di tingkat birokrasi menghadapi tantangan besar. Menurut Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada 2024, penerapan Reformasi Birokrasi masih terhambat oleh kebijakan yang terfragmentasi antar kementerian dan lembaga, budaya birokrasi yang belum terinternalisasi dengan baik, serta rendahnya komitmen pimpinan terhadap reformasi.
Mayoritas Diam: Suara yang Terabaikan
Fenomena mayoritas diam menggambarkan kelompok masyarakat yang tidak vokal dalam isu-isu politik namun memiliki pengaruh signifikan terhadap dinamika politik negara. Dalam konteks Indonesia, mayoritas diam sejatinya lebih banyak merupakan buah dari represi dan intimidasi sistemik yang dilakukan secara “senyap”. Berbagai data dan fakta dapat berbicara menguatkan realitas ini.
Menurut data dari Detik pada 2024, istilah "silent majority" muncul kembali pasca pemilu, mencerminkan kecenderungan masyarakat untuk memilih secara diam-diam tanpa terlibat langsung dalam debat politik. Istilah ini dapat dipertentangkan dengan kehadiran “vokal minority”, merujuk pada sekelompok (sangat) kecil masyarakat yang vokal menyuarakan demokrasi dan anti-otoritarianisme.
Keberadaan mayoritas diam tentu tidak bisa diabaikan begitu saja. Mereka merupakan kelompok yang potensial untuk mendukung atau menolak kebijakan tertentu, tergantung pada bagaimana pemerintah mampu mengakomodasi aspirasi mereka. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa mayoritas diam memiliki peran penting dalam stabilitas politik, namun sering kali terabaikan dalam perumusan kebijakan publik. Hal ini menciptakan kesenjangan antara harapan masyarakat dan implementasi kebijakan, yang pada gilirannya meningkatkan ketidakpuasan publik.
Ketidakpuasan Publik Kegagalan Jokowi
Ketidakpuasan publik terhadap pemerintah Jokowi semakin meningkat belakangan ini, dipicu oleh berbagai isu yang dianggap sebagai kegagalan dalam menjalankan mandat reformasi. Salah satu isu utama adalah krisis ekonomi yang dipicu oleh pandemi COVID-19, yang memperparah kondisi ekonomi global dan domestik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 3,5% dibandingkan 5% pada tahun sebelumnya, dengan tingkat pengangguran yang mencapai 6,3%.
Selain itu, isu korupsi masih menjadi momok yang sulit dihapuskan. Menurut laporan Transparency International tahun 2023 Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia tetap berada di posisi stagnan dengan skor 34/100, sama seperti tahun sebelumnya, dan menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei. Hal ini mencerminkan adanya penurunan yang signifikan dalam komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi, terutama sejak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan perubahan undang-undang yang berdampak pada independensi lembaga penegak hukum.
Belum lagi serangkaian kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, termasuk penangkapan 34 kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2023, menunjukkan bahwa korupsi masih merajalela di berbagai tingkat pemerintahan. Kegagalan dalam memberantas korupsi ini tidak hanya merusak kepercayaan publik tetapi juga menghambat perkembangan ekonomi dan sosial bangsa.
Penegakan hukum yang lemah juga menjadi sumber ketidakpuasan. Banyak masyarakat merasa bahwa hukum seringkali diterapkan secara tidak konsisten dan adanya kekebalan hukum bagi pejabat tertentu menimbulkan rasa frustrasi. Hal ini diperparah dengan munculnya undang-undang baru yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat, seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sering digunakan untuk menekan kritik terhadap pemerintah.
Beban Politik bagi Pemerintahan Baru
Kegagalan pemerintahan Jokowi dalam menunaikan amanat Reformasi membawa beban politik yang signifikan bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto. Sebagai Presiden terpilih yang mendapat dukungan dari kelompok-kelompok tertentu yang merasa terabaikan oleh pemerintahan sebelumnya, Prabowo harus menghadapi ekspektasi tinggi untuk memperbaiki keadaan yang ada. Namun, warisan dari kegagalan Jokowi menciptakan tantangan besar yang harus diatasi.
Pertama, peningkatan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah membuat Prabowo harus bekerja lebih keras untuk membangun kembali kepercayaan tersebut. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci utama dalam memenangkan hati masyarakat yang mulai jenuh dengan politik yang korup dan tidak responsif. Prabowo harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil tidak hanya efektif tetapi juga diterima oleh mayoritas masyarakat, termasuk mereka yang tergolong dalam mayoritas diam.
Kedua, upaya reformasi birokrasi yang masih terhambat oleh budaya kerja yang lama dan kebijakan yang terfragmentasi memerlukan pendekatan yang lebih terstruktur dan kolaboratif. Pemerintahan Prabowo perlu memperkuat sinergi antar kementerian dan lembaga, serta menginternalisasi budaya birokrasi yang bersih dan efisien. Implementasi Reformasi Birokrasi yang lebih tegas dan terukur menjadi langkah penting untuk mengatasi hambatan-hambatan yang ada.
Ketiga, penanganan isu korupsi harus menjadi prioritas utama. Pemerintahan Prabowo perlu memperkuat lembaga anti-korupsi seperti KPK dengan memberikan otonomi dan sumber daya yang cukup untuk melakukan tugasnya secara independen. Selain itu, perlu ada pemberantasan korupsi yang tidak pandang bulu, termasuk di tingkat pemerintahan daerah yang masih menjadi hotspot korupsi.
Gerakan Pentahelix Mayoritas Diam
Kegagalan pemerintahan Jokowi dalam menegakkan supremasi hukum dan memberantas korupsi bukan hanya mencerminkan kelemahan sistemik, tetapi juga memberikan beban politik yang berat bagi pemerintahan baru. Hambatan-hambatan yang ditinggalkan, seperti kelemahan institusional dan budaya politik yang otoriter, harus diatasi dengan strategi yang komprehensif dan inklusif. Prabowo harus mampu memanfaatkan momentum Reformasi 2.0 untuk menggerakkan perubahan yang lebih substantif, bukan hanya perubahan kosmetik.
Gerakan reformasi 2.0 adalah upaya penting untuk memperbaiki dan memperkuat fondasi demokrasi Indonesia yang mulai menunjukkan tanda-tanda kelemahan. Namun, tantangan besar seperti korupsi yang masih merajalela, penegakan hukum yang lemah, dan budaya birokrasi yang belum bersih menghambat realisasi tujuan Reformasi 2.0. Di tengah fenomena mayoritas diam yang semakin menonjol, ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi semakin meningkat, menambah beban politik bagi pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto.
Untuk mencapai keberhasilan Reformasi 2.0, dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh elemen masyarakat dan pemerintahan untuk menerapkan perubahan yang nyata dan berkelanjutan. Pemerintahan Prabowo harus mampu mengatasi warisan kegagalan sebelumnya dengan membangun kembali kepercayaan publik, memperkuat institusi anti-korupsi, dan menciptakan sistem politik yang lebih inklusif dan partisipatif. Tanpa partisipasi aktif dari mayoritas diam, gerakan Reformasi 2.0 berisiko menjadi wacana tanpa realisasi yang berarti, mengulangi sejarah kelam masa lalu yang ingin dihindari oleh bangsa Indonesia.
Dengan demikian, gerakan Reformasi 2.0 dan pemberdayaan mayoritas diam menjadi dua elemen kunci yang harus berjalan beriringan untuk memastikan bahwa demokrasi Indonesia tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang menuju masa depan yang lebih adil dan makmur. Perlu komitmen dan sinergi pentahelix seluruh elemen anak bangsa. Jangan biarkan mahasiswa sendirian turun ke jalan. Akademisi, para rohaniwan, kalangan intelektual, buruh, pelajar, pelaku ekonomi, aktivis LSM dan praktisi media mesti bersatu menyuarakan gerakan Reformasi 2.0 sehingga mampu menjelma menjadi kekuatan pembaharu mengikis tirani otoritarianisme pasca Orde Baru.
***
*) Oleh : Mohammad Isa Gautama, Dosen Komunikasi Politik, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |