Forum Dosen

Jangan Ganggu Kemiskinan

Minggu, 23 Februari 2025 - 11:11 | 16.96k
Dini Yuniarti, Dosen Program Studi Ekonomi, Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan Ranting Keilmuan Perilaku Ekonomi Masyarakat.
Dini Yuniarti, Dosen Program Studi Ekonomi, Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan Ranting Keilmuan Perilaku Ekonomi Masyarakat.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – “Jangan ganggu kemiskinan kami,” ucap pak Effendi seorang warga Tangerang  dengan suara bergetar di hadapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia. Ucapan ini menampar ruang berfikir dan menyeruak di ruang-ruang kemanusiaan.

Protes keputusasaan masyarakat miskin akan kebijakan pemerintah mulai 1 Februari 2024 yang melarang penjualan LPG 3 kilogram di tingkat pengecer. Masyarakat hanya bisa membeli di pangkalan resmi yang terdaftar di Pertamina.

Advertisement

Kebijakan tersebut menurut Menteri ESDM ditujukan agar penyaluran tepat sasaran. Namun alih-alih memenuhi tujuan, justru yang terjadi adalah antrian panjang masyarakat di berbagai daerah untuk memenuhi kebutuhan mereka terhadap liquefied petroleum gas (LPG) 3 kg atau biasa disebut gas melon.

Bahkan ibu Yonih binti Saman, nenek 68 tahun warga Pamulang Barat, Tangerang Selatan berpulang karena kelelahan saat antri LPG tersebut, miris.

Apa yang terjadi sebenarnya? Jika menengok ke belakang, penggunaan gas ini merupakan hasil kebijakan konversi dari minyak tanah ke gas dengan dikeluarkannya Perpres 104 Tahun 2007.

Kebijakan konversi ini diambil dengan pertimbangan keterbatasan penyediaan dan pengadaan bahan bakar di dalam negeri dalam hal ini minyak tanah dan meringankan keuangan negara dalam subsidi bahan bakar. Gas melon 3 kg ini ditujukkan bagi warga tidak mampu, dimana harga tersebut disubsidi oleh negara.

Menurut Wakil Menteri Keuangan, Suahasil Nazara pada Konferensi Pers APBN Kita pada tanggal 6 Januari 2025, subsidi  LPG 3 kg tahun 2024 mencapai Rp80,21 triliun, dan menjadi menjadi komponen terbesar, yaitu 45,2% dari realisasi belanja subsidi energi yang digelontorkan pemerintah untuk subsidi ini.

Hal ini karena LPG 3 kilo merupakan kebutuhan utama bagi rumah tangga tidak mampu dan usaha mikro. Artinya Pak Effendi dan kaum tidak mampu memang berhak memperoleh gas melon tersebut dengan mudah dan murah. Namun adanya kebijakan tiba-tiba tersebut telah mengusik kehidupan kaum miskin yang sudah terbiasa sulit.

Keputusasaan yang diwakili oleh Pak Effendi ini menunjukkan betapa beratnya penduduk miskin menghadapi kehidupannya, sampai-sampai kemiskinannya tidak boleh diganggu. Pak Effendi tidak sendiri, di Indonesia data BPS per September 2024 mencatat 8,57 persen atau 24,06 juta masuk dalam penduduk miskin.

Sebanyak 11,05 juta orang berada di perkotaan dan 13,01 juta orang di pedesaan. Meski angka kemiskinan terus mengalami penurunan namun ini belum mencapai target yang ditetapkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN)  2020-2024  yaitu 6,5-7,5 persen.

Mengapa kebijakan ini begitu mengganggu bagi pak Effendi bagian dari jutaan penduduk miskin di Indonesia? Hal ini karena memang kemiskinan itu sendiri secara umum didefinisikan Badan Pusat Statistik sebagai otorita yang mengeluarkan data jumlah penduduk miskin, sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.

Bisa dibayangkan dalam keadaan tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya masih dipersulit lagi untuk memperoleh salah satu dari kebutuhan pokok mereka yaitu bahan bakar gas yang sangat dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan usaha mikro mereka.

Masyarakat perlu mengeluarkan waktu tambahan untuk  antri, ada yang meninggalkan warung, usaha laiinya bahkan mengeluarkan biaya tambahan jika tempat penjualan jauh dari tempat tinggal. Kebijakan yang terkesan dadakan ini telah menyentuh batas kemampuan Pak Effendi sebagai kaum miskin dalam menghadapi masalah yang dihadapinya hari per hari.

Padahal pada dasarnya kebijakan publik  sendiri  bertujuan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu secara sederhana indikator kebijakan yang baik adalah kebijakan tersebut dapat memecahkan masalah yang ingin diatasi, bukannya menambah masalah lain. Untuk itu, sebelum kebijakan diimplementasikan perlu dipersiapkan dengan seksama.

Di laman University of Canberra mengenai kebijakan publik, disebutkan bahwa  komponen utama kebijakan yang berhasil diantaranya meliputi identifikasi masalah dengan jelas, melibatkan para ahli agar pengambilan keputusan berdasarkan bukti, mendapatkan dukungan pemerintah, melibatkan pemangku kepentingan, antisipasi terhadap penolakan, selain  memastikan sumber daya yang cukup, dan mempertahankan fleksibilitas untuk beradaptasi dengan tantangan.

Pemerintah perlu berhitung dengan cermat saat membuat kebijakan apalagi berkaitan dengan kepentingan masyarakat banyak. Meski pada akhirnya kebijakan ini dianulir pada tanggal 3 Februari 2025, namun sejarah akan mencatat pernah terjadi antrian panjang masyarakat untuk memperoleh gas melon 3 kg, berpulangnya bu Yonih dan bergetarnya suara Pak Effendi, Dapur kami harus ngebul. Kami jualan harus jalan, jangan ganggu kemiskinan kami.

***

*) Oleh : Dini Yuniarti, Dosen Program Studi Ekonomi, Pembangunan Universitas Ahmad Dahlan Ranting Keilmuan Perilaku Ekonomi Masyarakat.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES