
TIMESINDONESIA, MALANG – Setiap tanggal 21 April di Indonesia diperingati sebagai Hari Kartini. Penetapan Hari Kartini ditandantangi pada tahun 1964 oleh Ir. Soekarno, presiden RI. Bertepatan pada tanggal 2 Mei 1964 sebagai penetapan RA. Kartini asal Rembang, Jawa Tengah, sebagai Pahlawan Kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang penetapan Kartini sebagai pahlawan adalah karena gagasan-gagasannya dianggap revolusioner bagi kebangkitan kaum perempuan. Ide Kartini tertuang dalam kumpulan buku Habislah Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kumpulan surat-surat Kartini pada para sahabat di Eropa khususnya di Belanda.
Advertisement
Sebagian orang mungkin bertanya, “Apa hebatnya sebuah tulisan? Sementara banyak juga perempuan yang tidak sekadar menuangkan gagasan melalui tulisan, namun juga merealisasikan gagasannya ke dalam tindakan nyata?”
Gagasan memang banyak bertebaran. Melalui banyak format pembicaraan. Secara lisan maupun tulisan, dan seperti “protes” yang ada juga melalui tindakan nyata. Namun, tulisan gagasan memiliki kekuatan berbeda, sebab dengan tulisan maka gagasan itu ada bukti yang “bersifat abadi.”
Sebuah tulisan memang dapat fenomenal karena beberapa hal sebagai berikut: Pertama, Pesan sebuah tulisan memiliki kekuatan luar biasa dikarenakan hasil dari pemikiran mendalam, pemilihan kalimat, kata, dan diksi yang bermakna.
Kedua, Merentang waktu. Tulisan bisa tersimpan lama sehingga isi keberadaannya bisa diwariskan turun temurun untuk dibaca, dipelajari, dan mengispirasi para pembacanya.
Ketiga, Merentang ruang. Tersebar secara luas melintas geografis dan sosial sehingga tulisan itu bisa dibaca oleh sebanyak mungkin orang dengan kondisi yang berbeda-beda.
Kartini Harus Menulis
Terlepas dari isi surat-surat Kartini yang menonjolkan pada emansipasi perempuan di bidang pendidikan, dan budaya yang melemahkan posisi perempuan kala itu, fenomena menulis bagi Kartini dapat kita maknai sebagai berikut;
Pertama, Menulis merupakan katarsis bagi batin Kartini yang terkekang oleh lingkungan eksternal. Tulisan Kartini adalah hasil dari proses memahami dan memaknai realitas yang dialaminya.
Memerlukan materi yang akurat untuk menghasilkan sebuah tulisan yang bagus. Disini Kartini yang secara budaya kalah oleh sistem (pembatasan pendidikan dan poligami) merekam realitas melalui pengalaman, batin, pendengaran, dan penglihatannya sendiri.
Batinnya memberontak, namun sistem lebih kuat membatasinya. Maka Kartini membiarkan pena “berbicara” atas nama pergulatan batin yang dialaminya.
Kedua, Kartini menulis sebagai simbol kebebasan intelektual yang tidak ingin menyerah oleh pembungkangan sosial politik. Menulis bagi Kartini adalah pemberontakan secara diam-diam di atas kertas.
Dia tidak hanya meratapi nasibnya dan nasib para perempuan serta pribumi, namun mengartikulasikan kecerdasan dirinya. Kartini menyebarkan gagasan-gagasan itu dengan mengirimkan pada para sahabat di Eropa.
Upaya Kartini ini membuka pandora bahwa Kartini, perempuan yang dibisukan (muted) itu siap untuk menciptakan dialektika dengan para sahabatnya di Eropa. Kartini telah menancapkan bendera di wilayah gagasan intelektual untuk menerima berbagai perspektif tentang hal yang diceritakannya.
Saat Kartini menulis kala itu, ibarat menyemai bibit di tanah tandus. Bibit itu bisa jadi akan tumbuh meskipun memerlukan waktu yang lama. Bisa jadi juga tidak tumbuh di tanah tandus tersebut.
Namun, dengan mengirimkan kepada para sahabatnya, Kartini tahu bibit-bibit itu akan bertebaran bersama angin, berpeluang akan menemukan tanah yang tepat untuk tumbuh dengan baik.
Seolah gagasannya telah dirancang melakukan perjalanan tak terlihat untuk menemukan resonansi dengan jiwa-jiwa yang sama di belahan dunia yang berbeda-beda. Dia menginspirasi siapa saja yang memerlukan gagasannya.
Kartini menulis visi tentang perempuan dan manusia yang dijajah. Visi itu meletakkan dasar bagi pembebasan di masa datang. Artikulasi gagasan Kartini ke dalam tulisan kala itu dapat dikatakan sebagai mercusuar masa depan (yang kini kita rayakan) meskipun dia sendiri sang penulisnya (aka Kartini) tidak ikut menikmati.
Kartini memang meninggal dalam usia muda, 25 tahun pada tahun 1904. Namun gagasannya dibuka tujuh tahun kemudian setelah kematiannya melalui penerbitan pertama buku kumpulan tulisan Kartini (1911).
Lalu sebelas tahun kemudian buku itu diterbitkan ke dalam versi Bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka (1922) dan telah cetak ulang lima (5) kali. Telah diterjemahkan kedalam 6 bahasa (Indonesia, Jawa, Sunda, Belanda, Perancis, dan Inggris). Dan 106 surat Kartini dalam Buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu telah diteliti oleh ratusan atau bahkan mungkin sudah ribuan ulasan.
Tulisan yang dibuat oleh perempuan usia 12-25 tahun itu tetap dibicarakan orang, tidak lekang oleh ruang dan waktu hingga saat ini. Menulis adalah salah satu eksistensi diri.
***
*) Oleh : Frida Kusumastuti, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |