Nexus dan Tantangan Etika dalam Era Kedaulatan Data Digital

TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Sebagai seorang dosen hukum yang mengamati perkembangan kebijakan digital di Indonesia, saya memandang peluncuran Nexus sebagai langkah penting menuju integrasi dan modernisasi sistem informasi nasional.
Nexus hadir dengan janji besar: menyatukan berbagai data dan layanan publik dalam satu ekosistem digital yang efisien, aman, dan saling terhubung.
Advertisement
Di atas kertas, ini adalah terobosan. Namun dalam praktik, proyek sebesar ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mendasar, terutama menyangkut aspek hukum dan etika.
Di tengah semangat digitalisasi yang terus digalakkan pemerintah, sering kali kita terjebak dalam euforia teknologi dan lupa bahwa setiap sistem betapapun canggihnya pada akhirnya tetap bergantung pada tata kelola, transparansi, dan keberpihakan pada hak warga negara.
Inilah yang menjadi kegelisahan saya: apakah Nexus akan menjadi alat pelayanan publik yang adil dan aman, atau justru menjadi instrumen baru sentralisasi kekuasaan atas data?
Kita tidak bisa menutup mata bahwa data adalah bentuk kekuasaan baru di era digital. Dalam konteks Nexus, kekuasaan itu akan terkonsentrasi di tangan negara atau lembaga tertentu yang diberi kewenangan mengelola data lintas sektor.
Seperti dijelaskan oleh Nugraha et al. (2015), regulasi lokalitas data harus memastikan prinsip kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan data agar tidak menimbulkan kontrol yang berlebihan oleh negara.
Tanpa regulasi yang kuat dan mekanisme pengawasan yang transparan, sistem seperti ini rawan disalahgunakan entah untuk kepentingan politik, ekonomi, atau sekadar kelalaian administratif yang berujung pada pelanggaran hak individu.
Dalam kajian Kusumoningtyas (2023), pengawasan digital yang terpusat seperti Nexus dapat mengancam prinsip-prinsip demokrasi jika tidak dibarengi dengan kontrol institusional yang kuat.
Nexus: Bukan Sekadar Teknologi
Nexus bukan sekadar proyek teknologi. Ia adalah representasi dari keinginan negara untuk mengatur ulang arsitektur digital nasional agar lebih efisien, aman, dan terintegrasi.
Namun, seperti halnya dalam hukum, setiap sistem yang menyatukan kekuasaan dan informasi dalam satu pusat kendali, selalu berisiko menimbulkan ketimpangan relasi antara negara dan warga negara.
Melalui Nexus, pemerintah dapat mengakses data lintas sektor secara cepat dan masif dari catatan kesehatan, kependudukan, hingga data pendidikan dan transaksi digital.
Hal ini tentu mendukung efisiensi layanan publik. Tapi di sisi lain, pertanyaannya: siapa yang mengawasi sang pengelola sistem?
Pilar yang Harus Dijaga
Konsep kedaulatan data digital sering digunakan dalam narasi kebijakan teknologi. Namun, kedaulatan itu harus bersifat dua arah: negara berdaulat atas data nasional, tetapi individu pun tetap berdaulat atas data pribadinya.
Dewaranu (2022) menegaskan bahwa kebijakan kedaulatan data harus seimbang antara proteksi nasional dan penghormatan atas hak individu sebagai pemilik data.
Nexus seharusnya tidak menjadi alat sentralisasi kontrol, melainkan platform yang memberi ruang pada hak-hak digital warga negara, terutama hak atas privasi dan perlindungan data pribadi.
Penting untuk dicatat bahwa Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (UU No. 27 Tahun 2022) sudah memberikan kerangka hukum nasional untuk memastikan semua pengumpulan, pemrosesan, dan penyimpanan data dilakukan secara sah dan bertanggung jawab. UU ini harus dijadikan dasar mutlak dalam desain dan implementasi Nexus.
Etika Digital
Teknologi bisa berjalan sangat cepat, tetapi hukum dan etika sering tertinggal. Oleh karena itu, pembangunan sistem digital seperti Nexus harus melibatkan etikawan, ahli hukum, dan masyarakat sipil dalam proses perumusannya.
Kita perlu membangun etika digital nasional, di mana pemerintah sebagai pengelola sistem tidak hanya berpikir soal efisiensi, tapi juga tentang keadilan dan perlindungan hak asasi.
Bayangkan jika semua data kita terintegrasi dalam satu sistem, namun terjadi penyalahgunaan oleh pihak internal atau kebocoran karena lemahnya pengawasan. Ini bukan lagi ancaman teknis, melainkan pelanggaran hak konstitusional.
Laporan dari CSIS (Yayboke et al., 2021) bahkan menunjukkan bahwa konsentrasi data oleh negara dapat menjadi ancaman nyata terhadap keamanan dan kebebasan sipil jika tidak diawasi dengan ketat.
Menjaga Transparansi
Transparansi adalah fondasi utama kepercayaan publik. Tanpa kepercayaan, sistem sebesar apapun akan sulit diterima. Dalam konteks Nexus, publik harus diberi ruang untuk tahu, memahami, dan jika perlu, mengkritisi bagaimana data mereka dikelola.
Dewaranu (2022) menyoroti pentingnya komunikasi terbuka antara negara dan masyarakat dalam menyusun kebijakan data publik agar tidak menimbulkan ketakutan atau resistensi.
Laporan dari European Center for International Political Economy (ECIPE) juga memperingatkan bahwa kebijakan lokalisasi data yang tidak transparan dan terlalu proteksionis justru bisa berdampak buruk bagi pertumbuhan ekonomi digital Indonesia.
Bila Nexus dijalankan tanpa memperhatikan dampak pada pelaku usaha dan inovator digital, maka integrasi data justru bisa menjadi penghambat kemajuan.
Antara Peluang dan Kewaspadaan
Nexus adalah peluang besar untuk mempercepat transformasi digital nasional dan membangun sistem pelayanan publik yang modern. Namun, peluang ini harus dijalankan dengan hati-hati.
Tata kelola data yang adil, transparan, dan berbasis hukum serta etika yang kuat adalah kunci agar Nexus benar-benar berpihak pada rakyat.
Jika tidak disertai pengawasan yang baik dan keterlibatan publik, Nexus berpotensi menjadi pedang bermata dua: efisien, tetapi mengikis kebebasan. Oleh karena itu, membangun Nexus berarti juga membangun kesadaran baru: bahwa dalam era digital, hak asasi manusia harus tetap menjadi prioritas utama bahkan ketika segala sesuatu telah terdigitalisasi.
***
*) Oleh : Nur Kamilia, Dosen Hukum STAI Nurul Huda Situbondo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |