Perang Rusia-Ukraina Dorong Krisis Energi dan Perubahan Iklim
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Perang antara Rusia dan Ukraina telah berlangsung lebih dari lima bulan lamanya dan menghasilkan banyak dampak negatif dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Termasuk juga dalam mendorong krisis energi dan krisis iklim.
Hal tersebut karena Rusia merupakan negara pengekspor minyak terbesar ketiga di dunia, dan gas alam Rusia berperan penting dalam menggerakkan ekonomi Eropa. Rusia memasok sekitar 40% gas alam Uni Eropa (Nature.com, 2022).
Advertisement
Untuk menekan pendapatan Rusia dalam menopang aktivitas militernya, Amerika Serikat dan Uni Eropa memberlakukan sanksi ekonomi berupa penghentian atau pelarangan penggunaan bahan bakar fosil dari Rusia. Namun, keputusan embargo tersebut berdampak besar bagi banyak negara di Eropa karena sebagian besar energi yang digunakan negara tersebut sangat bergantung pada minyak dan gas Rusia.
Penghentian ekspor bahan bakar fosil dari Rusia mengharuskan negara-negara Eropa mencari energi alternatif pengganti secepatnya agar roda perekonomian negara dapat tetap berjalan. Namun, menurunnya pasokan minyak dan gas dari Rusia ke Eropa mendorong terjadinya krisis energi akibat melonjaknya harga bahan bakar minyak dan gas.
Pilihan yang paling mudah bagi negara-negara adalah dengan beralih dari energi minyak dan gas menjadi energi yang lebih murah dan cepat, yaitu batubara. Tetapi, dunia saat ini tidak hanya sedang dihadapkan pada permasalahan perang Rusia-Ukraina, namun juga perang melawan perubahan iklim.
Pembakaran hasil bahan bakar fosil seperti batubara, minyak, dan gas merupakan penyumbang emisi terbesar yang mendorong perubahan iklim. Namun, jika dibandingkan dengan batubara, bahan bakar minyak dan gas menghasilkan emisi yang lebih sedikit, alasan tersebut lah yang membuat banyak negara eropa sangat bergantung kepada minyak dan gas Rusia untuk mendukung kebijakan iklim global.
Krisis Energi VS Krisis Iklim
Apabila negara-negara Eropa kembali menggunakan energi batubara, maka akan berdampak besar dalam mempercepat krisis iklim dan tindakan ini bertolak belakang dengan rencana dunia internasional dalam membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius pada tahun 2100 untuk mencegah terjadinya bencana iklim yang lebih besar.
Jerman, Polandia, Austria, Belanda dan Yunani adalah negara-negara Eropa yang telah kembali mengaktifkan pembangkit listrik tenaga batubara sebagai tindakan darurat untuk mengatasi keamanan energi negaranya (Energyworld.com, 2022).
Meskipun dikatakan sementara namun, kembalinya negara-negara Eropa kepada batubara merupakan kemunduran dalam rencana iklim global. Daripada hanya berfokus dalam mengatasi keamanan energi melalui kebangkitan batubara, negara-negara Eropa harus lebih fokus dengan upaya investasi besar-besaran dalam mengembangkan energi terbarukan. Dengan begitu krisis energi sekaligus krisis iklim yang terjadi justru menjadi pendorong untuk bergerak maju.
Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap krisis energi dan krisis iklim merupakan masalah yang serius. Terjadinya krisis energi dapat mempercepat krisis iklim apabila mitigasi energi yang dilakukan negara-negara dalam mengatasi keamanan energi justru bertolak belakang dengan rencana iklim global. Krisis iklim tidak dapat dinegosiasikan, ini merupakan ancaman nyata terbesar human security saat ini. Jika kita gagal mengendalikan pemanasan global untuk tetap pada batasan 1,5 derajat Celcius, maka tidak ada jalan kembali untuk menyelamatkan bumi.
Fenomena krisis energi ini merupakan pembelajaran bagi negara-negara Eropa untuk segera meninggalkan ketergantungan energinya terhadap bahan bakar fosil Rusia dan mempercepat transisi energi dalam upaya mengejar dekarbonisasi global.
Krisis energi akibat invasi Rusia dapat menjadi momen yang tepat untuk mendesak penelitian dan pengembangan energi terbarukan dalam mempercepat langkah Eropa untuk menjauh dari bahan bakar fosil.
Dengan kejadian ini kita menjadi sadar, bahwa penggunaan bahan bakar fosil tidak hanya berdampak pada krisis iklim, tetapi juga geopolitik karena menciptakan ketergantungan pada rezim yang bermasalah. Krisis energi sangat berkaitan erat dengan krisis iklim, karena itu negara-negara hanya dapat menyelesaikan masalah tersebut dari akarnya, yaitu dengan mempercepat transisi energi terbarukan agar menjadi negara yang independen dalam ketahanan energi sekaligus menjadi garda terdepan dalam mendorong rencana iklim global.
***
*) Oleh: Siti Zulhaiziah Azalea Zahfira, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_______
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |