TIMESINDONESIA, MALANG – Awal runtuhnya rezim otoritarian orde baru ditandai dengan krisis politik dan krisis ekonomi di Indonesia. Kemudian Indonesia masuk ke babak baru yaitu era Reformasi yang diharapkan mampu mengembalikan kestabilan serta perbaikan kehidupan masyarakat. Proses perbaikan dilakukan dalam kehidupan demokrasi meliputi beberapa sektor yaitu politik, hukum, ekonomi, dan budaya.
Hal tersebut dilakukan guna mewujudkan perubahan yang ideal namun untuk menuju kesana memang tidak mudah. Karena, Indonesia yang telah terbebaskan dari rezim orde baru hingga saat ini problem pokok bangsa dan negara, masih saja mengalami persoalan yang kompleks. Wajah baru indonesia hanya berganti dari setiap momentum politik lima tahunan di Indonesia. Namun mata rantai kekuasaan yang telah terbentuk sudah menjadi satu lingkaran kepentingan elit politik.
Advertisement
Perjalanan dalam menuju perubahan untuk bisa lebih demokratis telah melalui berbagai macam dinamika yang panjang. Kemudian pola yang telah terbangun untuk bisa menjadikan Indonesia lebih demokratis masih mengalami ketiadaan arah yang jelas. Hal tersebut yang akan membuat ancaman terhadap kehidupan masyarakat serta masa depan bangsa. Ketiadaan arah untuk menjalankan demokrasi yang dapat meningkat kesejahteraan rakyat juga akan mempengaruhi dan dapat mengancam eksistensi demokrasi. Walaupun perjalanan tersebut sudah terbangun pasca runtuhnya orde baru, namun tidak bisa memberikan perubahan yang signifikan. Bisa dilihat dengan berbagai macam kasus-kasus yang bermunculan yaitu kekerasan politik, perampasan lahan, pelanggaran Hak Asasi Manusia, korupsi, dan lain sebagainya. Kemudian ditambah dengan tidak adanya kepastian hukum yang dapat dijadikan indikator, maka negara yang katanya demokrasi sudah berubah menjadi mobokrasi.
Kehadiran situasi seperti ini, tentu tidak diharapkan terjadi di negeri ini. Namun kondisi objektif yang terjadi telah menjadi fakta bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Reformasi yang telah dicita-citakan dapat mengembalikan keadaan masyarakat serta dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat namun itu semua hanya utopis. Dapat dilihat bagaimana historis yang pernah terjadi sebelum kemerdekaan. Masyarakat banyak mengalami kungkungan penindasan serta penghisapan, kemudian dilanjut pasca kemerdekaan, di rezim orde baru masyarakat Indonesia mengalami hal yang sama dengan bayang-bayang kediktatoran. Namun roh reformasi yang dicita-citakan tidak mendarah daging setelah rezim Soeharto lengser dari kekuasaannya untuk secara konsisten melakukan gerakan perubahan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak dulu hingga saat ini kondisi masyarakat masih tetap sama, hal tersebut dapat dilihat bagaimana masyarakat diposisikan sebagai yang lemah dan dilemahkan. Indonesia merupakan negara demokrasi namun tidak mampu menjalankan demokratisasi dengan baik. Dapat dikatakan demokrasi saat ini dalam keadaan darurat, maka diperlukannya tindakan nyata untuk menyelamatkan dengan serius dan seksama supaya demokrasi tidak mati. Melihat berbagai macam problem yang terjadi terkhususnya kondisi sosial-politik saat ini sedang carut marut. Karena banyaknya unsur kepentingan baik itu penguasa maupun korporasi, hal hasil banyak kebijakan yang tidak mengarah pada kepentingan rakyat menengah ke bawah.
Bisa dilihat dengan berbagai macam produk kebijakan yang telah dibuat oleh kekuasaan cenderung mengarah kepada kepentingan segelintir orang. Misalkan kebijakan terkait pemberantasan korupsi pasca terjadinya perevisian menjadi Undang-Undang (UU) No 19 Tahun 2019, cenderung melemahkan komisi pemberantasan korupsi. Belum lagi kebijakan pertambangan mineral dan batubara pada tahun 2020 terjadi perevisian. UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba sarat akan kepentingan karena banyak pasal-pasal yang bermasalah serta akan menimbulkan konflik, baik itu antara penguasa dengan rakyat maupun korporasi dengan rakyat. Kemudian kebijakan Omnibus Law yang banyak mengalami penolakan di berbagai macam kalangan di masyarakat. Namun pemerintah tetap mengesahkanya menjadi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kebijakan yang telah disahkan banyak pasal-pasal yang akan merugikan masyarakat kelas menengah ke bawah.
Beberapa kebijakan tersebut menandakan bahwa kondisi demokrasi benar-benar mengalami permasalahan dalam proses perjalanannya. Karena banyak yang tidak mempertimbangkan suara rakyat. Belum lagi beberapa bulan yang lalu mengenai kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang telah disahkan sebagai UU No 3 Tahun 2022. Kebijakan pemindahan IKN tersebut banyak mengalami penolakan oleh masyarakat lokal karena akan menimbulkan konflik antara penguasa dan rakyat, kerusakan lingkungan, dan perampasan lahan. Di lain sisi saat ini banyak perdebatan terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Isi dari draf RKUHP banyak pasal-pasal yang bermasalah serta dapat mengancam demokrasi Indonesia.
Dari beberapa produk kebijakan di atas, rasanya banyak pihak yang merasa paling demokratis. Sehingga banyak rezim yang melakukan klaim atas nama demokrasi untuk menjadikan tameng pembenaran terhadap tindakan yang dilakukan. Tameng tersebut seringkali dijadikan alasan serta legitimasi politik bagi rezim untuk menyukseskan kepentingan kelompok mereka dalam rangka mengusur atau mempertahankan kekuasaan. Demokrasi Indonesia semakin ironis karena orientasi sosial politik kekuasaanlah yang paling dominan. Seakan-akan demokrasi dimatikan secara berlahan oleh penguasa elit maupun non-elite yang berkepentingan untuk keuntungan mereka. Sedangkan masyarakat menjadi korban atas tindakan rezim yang sewenang-wenang.
***
*) Oleh: Syahrul Ramadhan, Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
______
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |