Tantangan Pers sebagai Pilar Demokrasi di Indonesia: Menuju Independensi dan Profesionalisme yang Kokoh

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Demokrasi di Indonesia dahulu dihiasi dengan idealisme yang cerah, sekarang tampak memudar seperti permadani yang telah lama digunakan. Pada awal reformasi, warnanya cerah dan penuh semangat, namun sekarang terlihat buram terutama karena pengaruh eksekutif yang berlebihan. Hal ini terlihat dari keterlibatan yang bias dan kurang netral, karena mereka lebih fokus pada kepentingan pribadi.
Di sisi legislatif, yang seharusnya menjadi penegak keadilan, sekarang terlihat terpengaruh oleh tekanan dan rayuan dari penguasa. Sedangkan di pihak yudikatif, yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan, juga terlihat mengalami retak dan terancam runtuh karena adanya campur tangan.
Advertisement
Situasi ini memprihatinkan. Hanya pers, yang merupakan pilar keempat dalam demokrasi, yang masih berdiri tegak namun terlihat mulai terjepit oleh kekuatan oligarki dan dinasti. Apakah pers akan tetap mampu menggagas kebenaran di tengah-tengah semua ini? Semoga jawabannya optimis.
Saat ini, demokrasi di Indonesia seperti nahkoda yang kehilangan arah. Fondasi-fondasinya semakin rentan disusupi oleh korupsi dan pelanggaran HAM. Demokrasi ini seakan terombang-ambing di lautan Nusantara, dengan para penumpangnya penuh kecemasan, hanya bisa berharap pada kapal yang semakin lemah. Namun, permohonan mereka hampir tak terdengar.
Di cakrawala, belum terlihat petunjuk yang jelas, tertutup kabut. Suasana hanyalah kesunyian, sementara kekuatan politik semakin menguat dengan gemuruh ombaknya. Apakah ada harapan baru yang akan muncul, ataukah demokrasi Indonesia hanya akan menjadi babak gelap dalam sejarah?
Demokrasi Indonesia sedang mengalami kecemasan. Tiga pilar utamanya eksekutif, legislatif, dan yudikatif semakin rapuh. Eksekutif, melalui birokrasinya, tidak lagi netral dalam proses pemilihan, legislatif terkendali oleh koalisi pemerintah, dan yudikatif seringkali terintervensi. Pers, sebagai satu-satunya pilar yang masih tegak, juga terpapar oleh badai yang mengancam profesionalisme dan kemandiriannya.
Hingga saat ini, kebutuhan akan independensi pers di Indonesia belum diatur dengan jelas terkait pemisahan antara redaksi dan kepemilikan atau kewiraswastaan pers. Hal ini menyebabkan belum adanya kerangka kode etik yang mengatur cara pers menjalankan bisnisnya dan menjaga profesionalisme jurnalis dengan batas yang tegas.
Jurnalis masih berada di bawah pengaruh intervensi yang mengganggu. Meskipun telah ada penandatanganan Piagam Standar Perusahaan Pers oleh 18 pemimpin perusahaan pers saat Hari Pers Nasional yang ke-64 di Palembang, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pers dari segi pemberitaan, sumber daya manusia, dan organisasi perusahaan, namun implementasinya harus segera dilakukan.
Hal ini sangat penting karena Piagam Palembang merupakan respons terhadap pentingnya perlindungan terhadap independensi pers agar dapat beroperasi secara lebih profesional. Hingga saat ini, independensi pers sebagai salah satu pilar demokrasi belum memiliki jaminan yang kuat bagi jurnalis untuk bekerja secara profesional dalam menyajikan berita dan informasi. Undang-Undang Pers dan kode etik jurnalistik yang ada belum mengatur hal ini dengan demokrasi.
Di negara-negara maju dengan sistem demokrasi yang baik, terdapat batasan yang jelas antara pekerjaan redaksional di media dan bisnis kepemilikan media. Ini sangat penting untuk memastikan independensi dan kepercayaan publik terhadap jurnalisme, serta menghindari konflik kepentingan.
Kepemilikan media harus terpisah dari kepentingan bisnis atau politik, agar pemilik media tidak menggunakan platform tersebut secara tidak proporsional atau tidak profesional. Jurnalis juga harus memiliki kebebasan untuk menyampaikan ekspresi dan kritik terhadap pemerintah, perusahaan, atau individu tanpa takut akan adanya terintervensi.
Independensi merupakan kunci utama bagi jurnalis dan media dalam menyusun berita serta menjalankan peran kontrol sosial. Namun, di Indonesia, jurnalis masih menghadapi kendala dalam kebebasan mereka karena intervensi dari pemilik media yang memiliki keterkaitan dengan partai politik atau kepentingan politik tertentu.
Intervensi ini telah mengurangi independensi di dalam ruang redaksi, yang berpotensi membuat jurnalis menjadi pihak yang tidak netral, bahkan ada yang tergoda untuk terlibat dalam kegiatan politik, misalnya sebagai calon anggota legislatif yang memiliki afiliasi politik yang sama dengan pemilik media. Padahal, peran media seharusnya adalah untuk melayani kepentingan publik.
Penelitian yang dilakukan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama konsultan dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) terhadap 1.300 jurnalis menemukan bahwa 45,5 persen responden tidak mengerti konsep "pagar api" yang memisahkan antara berita dan iklan, atau antara redaksi dan bisnis. Bahkan, 22,9 persen responden mengaku pernah menyajikan iklan politik sebagai berita.
Engelbertus Wendratama, seorang peneliti di PR2Media, menyatakan bahwa kurangnya penghormatan terhadap konsep pagar api ini menjadi salah satu masalah utama terkait kemampuan jurnalis dalam meliput Pemilu 2024. Tantangan selanjutnya adalah hubungan yang rumit antara kepemilikan media dan politik praktis yang sering kali mengarah pada intervensi dalam ruang redaksi oleh pemilik media.
Kemandirian dan profesionalisme media merupakan prasyarat esensial dalam sistem demokrasi. Penelitian dari V-Dem Institute (2023) yang berjudul "The Media and Democracy" menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kebebasan pers dan kualitas demokrasi.
Negara-negara yang memiliki media yang independen umumnya memiliki sistem demokrasi yang lebih kuat dan transparan. Oleh karena itu, kita harus menjaga kekuatan pers sebagai salah satu pilar demokrasi yang masih tersisa agar demokrasi di negara ini dapat tetap kokoh dan mampu mewakili aspirasi rakyat.
***
*) Oleh : Ahmad Adzka Taufiqillah, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas KH mukhtar Syafaat, Blokagung, Banyuwangi
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |