TIMESINDONESIA, SURABAYA – Momen hari raya Idul Adha tidak hanya menjadi momen perayaan semata. Perayaan yang sekaligus menjadi puncak dari Ibadah Haji ini selalu diramaikan dengan rangkaian ibadah penyembelihan hewan Kurban di tiap Masjid atau musholla. Tak heran jika antusiasme masyarakat terasa begitu hangat, tentu karena momen inilah beberapa masyarakat yang asing untuk memakan daging setidaknya bisa merasakan lezatnya daging selama 2-3 hari kedepan. Tapi agaknya tulisan ini tidak akan membahas bagaimana keseruan Idul Adha tahun ini atau bahkan membahas tingkat konsumsi daging masyarakat kita.
Menyembelih hewan Kurban merupakan rangkaian ibadah yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim. Pada saat itu Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih Ismail yang kemudian diganti oleh seekor domba. Kisah itu tentu sarat akan makna yang tidak hanya sekadar prosesi menyembelih seekor hewan. Jika menyembelih seekor hewan hasilnya adalah mendapatkan daging beda halnya dengan cerita penguasa negeri ini yang juga melakukan penyembelihan namun bukan pada hewan.
Advertisement
Lalu, memang penguasa negeri ini sedang menyembelih apa?
Sebenarnya mereka tidak benar-benar menyembelih satu makhluk hidup. Apa yang mereka sembelihpun kadang kita sendiri tak sadar. Namun, berbeda kalau kita amati lebih dalam berbagai persoalan yang sedang terjadi. Para penguasa layaknya sedang mencoba menyembelih hak-hak dan akal sehat masyarakat kita.
Masih lekat di ingatan kita semua akan bagaimana kontroversi Pilpres kala itu. Tak berhenti disitu saja, usaha penguasa untuk menyembelih hak-hak dan akal sehat masyarakat terus berlanjut sampai kini. Sederet fenomena seperti RUU Penyiaran, Keputusan Mahkamah Agung (MA) tentang syarat usia pada Pilkada, Izin usaha tambang untuk ormas keagamaan hingga rencana dihidupkannya kembali dwifungsi TNI-POLRI. Semua terangkum dan terpampang jelas di hadapan kita.
Tidak terlalu berlebihan jika kondisi ini saya namakan upaya penyembelihan hak dan akal sehat yang dilakukan oleh para penguasa terhadap masyarakat. Bagaimana tidak? jika kita telisik salah satu persoalan yakni pembahasan RUU Penyiaran yang sangat jelas membatasi kebebasan pers dan berpendapat masyarakat. Dalam rancangan tersebut, pers dilarang memproduksi karya investigasi bahkan yang lebih menggelikan adalah semua konten di media sosial harus atas konfirmasi kelayakan dari Komisi Penyiaran Indonesia.
Persoalan lainnya adalah keputusan MA yang membuat tawa terpingkal-pingkal adalah mengubah syarat usia paling rendah 30 tahun untuk calon Gubernur dan wakil Gubernur dan 25 tahun untuk calon Bupati dan calon Wakil Bupati, calon Walikota dan calon Wakil Walikota yang sebelumnya terhitung sejak penetapan pasangan calon dan sekarang sejak pelantikan pasangan calon terpilih.
Intinya, perhitungan batas usia dihitung sejak pelantikan bukan sejak penetapan calon. Lagi-lagi akal sehat kita sebagai masyarakat sedang diuji oleh para penguasa. Dan memang mereka sedang mengupayakan penyembelihan akal sehat agar benar-benar terlaksana.
Dua dari sekian banyak persoalan yang terjadi memang relevan dengan bagaimana upaya para penguasa untuk menjadikan hak dan akal masyarakat menjadi hewan kurban mereka. Padahal jika para penguasa mau memahami makna dari kisah Ibrahim dan Ismail tidak lantas kemudian berhenti pada prosesi penyembelihannya saja.
Cerita masyhur itu tentu memiliki makna yang jauh lebih mendalam. Sepertinya halnya simbolisme Ismail yang diartikan segala hal yang kita anggap milik kita dari mulai harta benda, pangkat atau bahkan jabatan sekalipun. Ketika “ismail” diminta kembali oleh pemilik yang sebenarnya, maka yang dipertaruhkan adalah sikap kita menerima hal tersebut.
Sama halnya dengan kekuasaan yang secara konstitusi masyarakat atau rakyatlah pemiliknya, maka sudah seharusnya kekuasaan itu berpihak terhadap kepentingan masyarakat luas. Ketika hal itu malah disalahgunakan tentu wajar masyarakat akan menolak dan harap-harap cemas.
Momen Idul Adha ini menjadi momentum yang tepat untuk masyarakat menolak upaya "Penyembelihan Akal Sehat" yang dilakukan penguasa. Selain itu, momen ini juga tepat untuk para penguasa akhirnya memahami lebih mendalam nilai-nilai pengorbanan dalam cerita Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
***
*) Oleh : Imam Gazi Al Farizi, Ketua Dewan Legislatif Mahasiswa Universitas Airlangga dan Pendiri Komunitas Literasi Konstanta Surabaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |