Membongkar Mitos Uang sebagai Simbol Kesuksesan

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Dalam dunia yang didorong oleh kesuksesan material, seringkali kita dihadapkan pada pandangan bahwa memiliki banyak uang adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan, kesuksesan, dan kebahagiaan. Sehingga, kehadirannya seringkali dianggap sebagai pilar utama dalam struktur sosial dan ekonomi.
Pandangan ini seolah-olah mengatakan bahwa jumlah kekayaan seseorang merupakan indikator prestasi dan pencapaian. Di mana mereka yang memiliki uang akan memperoleh kekuatan dan kendali atas sumber daya, pertumbuhan ekonomi, status sosial, dan bahkan kehidupan manusia.
Advertisement
Pernyataan tersebut mengakibatkan adanya perubahan dalam cara kita menilai dan memaknai kehidupan. Pada banyak kasus ini menjadi alasan mengapa orang-orang yang memiliki kekayaan akan lebih banyak mendapat penerimaan dan perhatian di masyarakat. Otomatis juga akan mendapat lebih banyak akses pada apa yang mereka inginkan dalam banyak kesempatan.
Kondisi ini akan menimbulkan kesenjangan sosial antara dua kubu tersebut. Orang-orang yang kurang mampu secara finansial akan terpinggirkan dalam lingkungan masyarakat yang memberi penilaian tinggi pada kekayaan materi.
Selain itu, juga menjadi faktor degradasi moral dikalangan remaja. Khususnya remaja-remaja yang terlahir dari keluarga kaya. Mereka akan merasa superior di depan siapapun, baik teman sebayanya atau bahkan orang yang lebih tua. Mereka akan bersikap sombong, kasar dan seenaknya sendiri dalam bersosialisasi di Masyarakat. Mereka juga akan menganggap tak ada yang lebih dapat dihormati selain kekayaan yang mereka miliki.
Inilah yang terjadi ketika individu atau masyarakat menganggap kekayaan material sebagai ukuran utama keberhasilan. Dan akan terus seperti ini apabila masyarakat Indonesia khususnya, enggan membuka mata terhadap perspektif baru tentang nilai sesungguhnya uang di dalam kehidupan.
Dampaknya pun akan sangat fatal hingga memunculkan pemikiran-pemikiran ekstrim seperti lebih memilih uang bahkan daripada harga dirinya sekalipun. Dan mirisnya kita tau jelas bahwa pemikiran ekstrim ini bukan sekedar fiktif. Melainkan berdasarkan realita yang benar benar ada di masyarakat kita.
Sayangnya pandangan sesat yang demikian ini sudah terlanjur mengkristal dan mengendap hingga membudaya di tengah masyarakat kita. Kalau persepsi keliru demikian ini tetap dipelihara dan dibenarkan.
Maka, apakah berarti orang orang yang kurang mampu secara finansial tidak memiliki kesempatan untuk meraih pencapaian sebagaimana orang-orang kaya tersebut? Atau tidak bisa mencicipi manisnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup? Atau bahkan dianggap tidak sukses dalam menjalani hidup?
Tidak, jawabannya sudah pasti tidak. Oleh karena itu, persepsi keliru yang demikian ini harus dibuang jauh-jauh lantaran sesat menyesatkan. Pandangan yang menganggap bahwa kesuksesan disimbolkan dengan banyaknya uang adalah terlalu sederhana, sempit dan kerdil dari indikasi kesuksesan sendiri yang sangat kompleks.
Sebenarnya bukan mereka yang tidak mampu untuk meraih pencapaian sebagaimana orang orang dengan kesejahteraan finansial. Melainkan oknum-oknum yang menaruh obsesi terlalu besar terhadap uang lah yang seakan menutup jalan dengan selalu menomor satukan kekayaan dari apapun.
Untuk itu, langkah awal untuk memperbaiki semuanya adalah dengan mendekonstruksi perspektif keliru yang sudah beredar. Dengan menanamkan kembali arti uang atau kekayaan di dalam kehidupan.
Menurut Kasmir, uang adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum sebagai alat pembayaran dalam suatu wilayah tertentu, atau sebagai alat pembayaran utang serta pembelian barang dan jasa. Melihat pengertian dari uang sendiri sudah selayaknya kita membuka mata dan berfokus pada pengertian uang yang sebagai alat tukar, bukan patokan atau penentu dari berbagai penilaian dan status sosial di masyarakat.
Sejak zaman dahulu uang memang telah dianggap sebagai alat yang kuat untuk mencapai berbagai tujuan dan mengambil peran yang sangat signifikan dalam banyak aspek. Namun, hal ini seharusnya tak lantas membuatnya mengurangi atau mengaburkan makna sejati kehidupan yang sebenarnya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa kesuksesan sejati tidak hanya diukur dari materi atau kekayaan. Melainkan juga dari kontribusi positif yang dibuat seseorang di lingkungannya. Faktor-faktor lain seperti hubungan yang sehat, pengembangan diri dan konsep keseimbangan antara kehidupan profesional dan pribadi juga merupakan kunci dalam mengevaluasi kesuksesan. Survei global tentang kebahagiaan menunjukan bahwa negara negara dengan pendapatan perkapita yang tinggi tidak selalu memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi.
Masyarakat yang memprioritaskan uang diatas segalanya justru akan rentan terhadap masalah psikologi seperti peningkatan kecemasan, depresi, dan ketidakpuasan hidup. Masalah masalah lain dalam masyarakat pun juga berpotensi muncul seperti kesenjangan sosial dan ketidakadilan dalam menilai seseorang.
Dengan demikian perlu bersama sama kita tegaskan ulang bahwa pandangan yang menganggap uang sebagai penentu tunggal berbagai pencapaian dan kebahagian yang diyakini dewasa ini adalah sangat simplistik atau terlalu sederhana sehingga tidak mencerminkan kompleksitas dari faktor faktor yang mempengaruhi kesejahteraan individu dan masyarkat.
Intinya penting untuk mengubah pandangan yang sudah ada dengan pemikiran yang lebih terbuka tentang makna sejati uang di dalam kehidupan. Demi terjalinnya kehidupan masyarakat yang sejahtera.
***
*) Oleh : Tazkia Fi’lati Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |