TIMESINDONESIA, SURABAYA – Plato mengartikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan dimana pemerintahan itu dipegang oleh rakyat dan dijalankan untuk kepentingan rakyat banyak. Oleh definisi itu, akhirnya banyak negara yang mengadopsi sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahannya. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang adil karena mampu membatasi kekuasaan pemerintah.
Pengadopsian sistem demokrasi pun dilakukan oleh negara kita, yakni Indonesia. Bahkan dalam sejarahnya, masyarakat pernah tumpah ruah memperjuangkan kembalinya keutuhan demokrasi pada gerakan reformasi 1998. Secara nilai dan prinsip, demokrasi pun direpresentasikan dalam sila ke-4 landasan ideologis kita, yakni Pancasila.
Advertisement
Hal tersebut membuktikan betapa masyarakat Indonesia sangat menghargai demokrasi. Namun, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Indeks Demokrasi Indonesia Pusat turun sebesar 1,15 poin pada tahun 2023. Penurunan tersebut setidaknya memberi gambaran ancaman terhadap kesehatan demokrasi kita.
Dalam siaran pers Kemenko Polhukam pada tanggal 11 Juni 2024, Mayjen TNI Heri Wiranto selaku Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri mengatakan bahwa penurunan Indeks Demokrasi Indonesia Pusat utamanya disebabkan oleh meningkatnya hambatan kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, serta kemerdekaan pers.
Poin-poin tersebut memang menjadi virus yang mengancam demokrasi. Kebebasan berpendapat yang terhambat dapat melahirkan otoritarianisme yang khas dengan sikap anti kritik dan kesewenang-wenangannya. Oleh karena itu, sebelum virus tersebut benar-benar mematikan demokrasi di Indonesia, maka perlu adanya langkah strategis untuk menjaga dan meningkatkan imunitas demokrasi kita.
Strategi Membangun Imunitas Demokrasi
Peduli demokrasi merupakan tugas bersama yang diemban seluruh elemen masyarakat. Semua memiliki kewajiban berkonsentrasi terhadap kesehatan demokrasi di tengah banyaknya virus yang mengancamnya. Jika kesadaran itu tumbuh di benak seluruh elemen masyarakat, maka demokrasi di negara kita berpeluang besar akan selamat.
Namun, tentu kesadaran tersebut harus diikuti dengan implementasi demokrasi yang baik di berbagai lingkungan. Lebih dari itu, harus ada upaya strategis untuk semakin meningkatkan kesadaran demokrasi. Adapun upaya-upaya tersebut harus dilakukan sejak dini melalui lingkungan terdekat seseorang sebagai bentuk pengenalan dan pembiasaan terhadap budaya demokrasi.
Upaya pertama dapat dilakukan melalui lingkungan keluarga. Orang tua di sini memiliki peran penting dalam menanamkan nilai demokrasi pada anak. Sesuai dengan pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, seorang anak dalam tumbuh kembangnya akan banyak menyesuaikan kebiasaan orang tuanya.
Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk membiasakan budaya demokrasi di rumah. Hal tersebut dapat diterapkan salah satunya melalui pola pengajaran pada anak dengan model komunikasi yang interaktif dan tidak instruksional.
Kebiasaan untuk mendengarkan keluh kesah anak tanpa menghakimi terlebih dahulu merupakan contoh praktik komunikasi yang demokratis. Dengan begitu, seorang anak akan lebih leluasa dalam berpendapat dan menganggap bahwa berpendapat bukan hal yang salah apalagi menakutkan. Kebiasaan tersebut sama seperti menyisipkan prinsip demokrasi pada tumbuh kembang anak.
Selanjutnya, upaya yang kedua dapat dilakukan melalui pengajaran di Sekolah Dasar. Model pengajaran interaktif yang mendorong peserta didik untuk berdiskusi tentu membuat iklim demokrasi di sekolah semakin hidup. Peserta didik jangan dijadikan objek doktrinasi yang hanya tahu mendengar dan mencatat perkataan guru. Untuk menanamkan budaya demokrasi, peserta didik juga perlu diposisikan sebagai subjek yang bertanya, berbicara, dan turut berpendapat.
Selain itu, peserta didik juga perlu untuk mulai memahami pentingnya menghargai perbedaan pendapat. Sekolah Dasar sendiri merupakan lingkungan awal dimana anak mulai bertemu dengan teman-teman yang pikirannya beragam. Oleh karena itu, selain berfokus pada pengembangan kognitif, pendidikan Sekolah Dasar juga harus memperhatikan aspek afektif pada anak agar nantinya dapat saling menghargai perbedaan pendapat.
Sama halnya dengan manusia yang mendapat imunisasi sejak kecil agar senantiasa terhindar dari virus berbahaya, maka praktik demokrasi juga harus dimulai sejak dini agar imunitasnya kuat dan tahan dari berbagai ancaman. Pondasi demokrasi yang kokoh pada diri anak akan menumbuhkannya menjadi manusia yang kritis dan objektif. Selain itu, strategi tersebut juga akan membuat Indonesia mempunyai aset generasi yang siap berkomitmen dalam menjaga kesehatan demokrasi.
“Tugas pokok intelektual adalah untuk mempertahankan kebebasan berpendapat, bukan membunuh kebebasan berpendapat,” Gus Dur. (*)
***
*) Oleh: Ricky Rivaldi, Wakil Presiden BEM Universitas Airlangga 2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |