Melawan Kekerasan Terhadap Jurnalis di Tengah Krisis Demokrasi
TIMESINDONESIA, MALANG – Baru-baru ini, media sosial ramai dengan gambar Lambang Garuda Pancasila berlatar belakang biru dengan tulisan putih "Peringatan Darurat". Gambar tersebut muncul seiring pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pilkada 2024 di parlemen.
Revisi tersebut melanggar konstitusi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang seharusnya menjadi landasan bagi DPR RI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mematuhi keputusan yang sudah ditetapkan.
Advertisement
Mengingat kebebasan pers adalah salah satu pilar utama demokrasi, jurnalis berperan sangat penting dalam menyampaikan informasi yang objektif dan transparan kepada publik. Namun, ketika kekerasan terhadap jurnalis terjadi, hal ini menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri, seperti yang telah dilakukan oleh aparat kepolisian.
Berdasarkan laporan yang diterima Komisi Keselamatan Jurnalis (KKJ), setidaknya ada 11 jurnalis di Jakarta yang mengalami kekerasan oleh aparat kepolisian. Kasus kekerasan terhadap jurnalis ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele. Dalam situasi ini, jurnalis bukan hanya kehilangan alat untuk bekerja, tetapi juga kehilangan rasa aman saat menjalankan tugasnya.
Kekerasan semacam ini menunjukkan kurangnya pemahaman dari aparat tentang pentingnya peran jurnalis dalam demokrasi. Jurnalis benar-benar dilindungi oleh Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, yang jelas-jelas mengatur bahwa mereka berhak melakukan peliputan tanpa adanya intimidasi atau kekerasan.
Dari penyebab kekerasan tersebut harus dianalisis secara mendalam. Apakah kekerasan ini murni akibat tindakan individu aparat, atau ada masalah sistemik yang lebih luas di dalam institusi penegak hukum kita?
Untuk mencegah kekerasan serupa, ada beberapa tindakan yang dapat diambil. Pertama, aparat harus mendapatkan pelatihan ulang tentang bagaimana menangani demonstrasi, terutama dalam berinteraksi dengan jurnalis. Mereka harus memahami bahwa jurnalis bukanlah musuh, melainkan mitra dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas pemerintah.
Kedua, sanksi tegas harus diterapkan kepada aparat yang terbukti melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Sanksi ini tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memberikan pesan bahwa tindakan semacam itu tidak dapat diterima dalam negara demokrasi.
Terakhir, perlindungan hukum bagi jurnalis harus diperkuat. Pemerintah dan lembaga penegak hukum harus memastikan bahwa jurnalis dapat melakukan pekerjaannya tanpa takut akan kekerasan atau intimidasi. Jika perlu, regulasi tambahan dapat dibuat untuk memperjelas hak dan perlindungan yang dimiliki oleh jurnalis.
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Faculty of Teacher Training and Education, English Education Department Unisma.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |