Forum Mahasiswa

Perempuan adalah Musuh Perempuan

Rabu, 11 September 2024 - 00:03 | 31.13k
Firda Aprilia Dewi Sastra, Ketua Komisariat PMII Gajayana Malang
Firda Aprilia Dewi Sastra, Ketua Komisariat PMII Gajayana Malang
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Peran perempuan tak dapat dihilangkan dari segala aspek kehidupan. Secara kodrat, perempuan diciptakan oleh Tuhan untuk menjadi isteri dan ibu yang menjaga kehangatan dalam rumah tangga.

Dalam Islam, disebutkan pula bahwa ibu merupakan madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Atas pernyataan tersebut, lahirlah perspektif-perspektif bahwa seorang perempuan harus pandai dalam segala hal demi menciptakan generasi yang cemerlang. 

Advertisement

Tentunya pendidikan memiliki dampak terhadap kepiawaian perempuan. Oleh karena naluri yang telah tertanam dalam perempuan, mereka akhirnya memilih jalan untuk mengejar pendidikan yang lebih tinggi demi impian dan menata masa depan yang lebih baik lagi.

Namun stereotip masyarakat tidak sejalan dengan hal ini. Perempuan yang lebih memilih memantapkan kehidupan pribadi dan fokus akan hal yang ingin diraih akan dianggap sebagai perempuan yang tidak mawas diri. Selalu dianggap sombong ketika memberikan jawaban logis, dicap tidak laku ketika tidak segera menikah, serta dianggap bodoh apabila tidak bisa merawat rumah tangganya. Yang lebih menyakitkan lagi, untaian-untaian tersebut juga disampaikan oleh perempuan.

Perempuan seolah tidak diberikan ruang bebas untuk bergerak. Setelah dilahirkan perempuan dituntut sekolah, menikah, melahirkan, dan merawat anak.

Di zaman romawi kuno, pernikahan di usia belia adalah hal yang lumrah. Usia 12 tahun merupakan usia produktif untuk menikah. Bahkan dalam masyarakat elit, beberapa perempuan menikah sebelum usia 12 tahun. Selanjutnya di usia 15 tahun perempuan dianggap usia yang pas untuk hamil dan memiliki keturunan.

Di zaman Arab Pra-Islam, perkawinan sama statusnya dengan kesepakatan dagang. Pihak laki-laki akan membayar uang pengganti kepada orang tua perempuan agar anaknya bisa dimiliki, sebagai tanda peralihan tanggungjawab dari orang tua ke suami. 

Bahkan, setelah menikah perempuan akan memiliki status yang lebih baik ketika melahirkan anak laki-laki. Dengan adanya anak laki-laki maka perempuan akan memperoleh berbagai jenis insentif seperti perhatian suami, pandangan sosial dan keleluasaan ekonomi. 

Siklus bagi perempuan selalu berputar demikian di setiap zaman.

Perempuan VS Perempuan

Kelly Valen dalam karyanya yang berjudul The Twisted Sisterhood, menjelaskan bahwa hampir 90% dari lebih dari 3.000 wanita yang ikut serta dalam surveinya sering merasakan arus kekejaman dan hal-hal negatif yang berasal dari wanita lain. 

Valen mengatakan bahwa “Dalam banyak kasus, perempuan akan saling memuji dan memiliki keterikatan dalam persaudaraan dan persahabatan. Namun di balik tirai tersebut terdapat segudang kekusutan emosional yang dapat merusak kesehatan dan kualitas hidup kita secara keseluruhan.”

Salah satu contoh yang banyak dialami perempuan sebagai seorang isteri adalah kasus perselingkuhan. Ketika laki-laki melakukan perselingkuhan yang pertama kali disalahkan adalah perempuan. Karena dianggap tidak mampu melayani suami sendiri. 

Bahkan ketika saya mengamati berita-berita terkait ini, netizen yang awalnya mendukung pihak isteri sah malah beralih mendukung pihak ketiga hanya karena melihat rupa. “Oh pantes selingkuh, lebih cantik pelakornya”. Kalimat-kalimat ini seolah wajar dilontarkan. Dan lagi-lagi ini banyak dilakukan oleh sesama perempuan.

Contoh lainnya adalah soal pendidikan. Perempuan yang sudah lulus sekolah ataupun menjadi sarjana namun memilih menikah akan selalu dicecar pernyataan “Percuma sekolah tinggi, ujungnya di dapur juga”. Sama halnya dengan pertanyaan “Kerja terus kapan nikahnya?” pada perempuan yang mengejar karir setelah sekolah.

Selanjutnya sebagai seorang ibu, perempuan juga tak luput dari cemoohan. Ketika anaknya berbuat salah, pasti ibunya yang dianggap bodoh dan kurang pendidikan. Ketika anaknya lambat perkembangan, dianggap kurang memberikan perhatian.

Belum lagi soal standar kecantikan, dan perbandingan lain yang diciptakan oleh perempuan.

Tanggapan-tanggapan semacam ini akan selalu berputar sehingga menyebabkan balas dendam. Hal inilah yang kemudian menyebabkan perempuan tidak saling respect. Pertempuran hujatan menjadi momen seru yang juga akan ditonton oleh perempuan.

Setelah ditelaah lagi, ini bukan salah orang perempuan. Tapi kenyataannya perempuan tidak bisa menerima dirinya sebagai perempuan. Mereka menyalahkan diri sendiri bahkan Tuhan atas alasan mengapa harus dilahirkan sebagai perempuan?

***

*) Oleh : Firda Aprilia Dewi Sastra, Ketua Komisariat PMII Gajayana Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES