Forum Mahasiswa

Paradoks Swasembada: Antara Derita Petani dan Tawa Mafia

Senin, 17 Februari 2025 - 10:20 | 10.16k
Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pernyataan Presiden Prabowo pada acara Musyawarah Nasional Konsolidasi Persatuan Kadin Indonesia, Kamis, 16 Januari 2025 yang lalu menarik untuk diulas kembali.

Pernyataan tersebut menegaskan optimismenya terhadap target 8 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Advertisement

“Saya baru mungkin menginjak bulan ketiga memimpin pemerintahan Republik Indonesia, dan makin saya mempelajari keadaan perekonomian kita, saya makin merasa percaya diri. Saya merasa optimis, saya percaya, saya yakin kita akan mencapai bahkan mungkin melebihi 8 persen pertumbuhan,” ungkapnya di Hotel The Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, (16/01/2025).

Dalam sambutannya, Presiden Prabowo memberikan arahan terkait strategi untuk mencapai target 8 persen tersebut. Menurutnya, pengelolaan ekonomi harus dilakukan secara efisien dan berbasis pada logika serta perhitungan yang akurat. Oleh karena itu, pemborosan dan praktik yang tidak efisien harus dihentikan.

Namun, optimisme menantu Soeharto tersebut berbanding terbalik dengan praktik mafia impor ugal-ugalan yang melegalkan impor singkong dari Thailand dan Vietnam. Ironisnya, impor ini dilakukan di tengah panen raya petani singkong dalam negeri asal Lampung.

Harga singkong petani jatuh drastis, dari yang awalnya Rp1.400 per kilogram turun menjadi Rp1.000 per kilogram, jauh di bawah harga yang telah disepakati dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Lampung dan perwakilan petani.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman langsung mengungkapkan amarahnya terhadap importir singkong yang merugikan petani tersebut.

"Kami mendengar laporan dari Lampung terkait harga singkong. Kami akan undang industri, undang petaninya. Kami minta kepada importir, tegas, jangan zalimi petani," ujar Amran dalam keterangan resmi, Jumat (24/1).

Akibatnya, banyak petani merasa dirugikan oleh kebijakan ini karena harga jual singkong yang rendah dan biaya produksi yang tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima.

Menurut Hendriyo Widise, peningkatan impor pangan secara tidak langsung berpotensi mematikan usaha petani dalam negeri. Tanpa kontrol yang baik dan keberpihakan terhadap petani, produksi dalam negeri akan semakin tertekan, seperti yang terjadi pada sejumlah komoditas lainnya.

Isu ini tidak hanya terbatas pada penurunan harga singkong semata, tetapi juga menyentuh permasalahan yang lebih luas mengenai kebijakan pangan yang dapat mengancam petani dalam negeri. Oleh karena itu, kebijakan perlindungan dan kesejahteraan petani menjadi isu serius bagi pemerintah.

Perlindungan Terhadap Petani Lokal

Sebagai negara agraris dengan potensi besar dalam produksi pangan, Indonesia seharusnya dapat melindungi petani lokal dan memastikan keberlanjutan produksi dalam negeri.

Pemerintah perlu mengambil kebijakan yang berpihak pada petani, tidak hanya berfokus pada sektor industri besar, tetapi juga pada kesejahteraan petani kecil.

Menurut Prof. Bambang Hudayana, M.A., Kepala PSPK UGM, sebagaimana dikutip dari ugm.ac.id edisi 8 Oktober 2024, tantangan yang dihadapi petani saat ini harus diatasi dengan kebijakan pemerintah yang tepat.

Bambang menyerukan agar kebijakan pemerintah didasarkan pada kepentingan petani dan masyarakat, bukan pada kepentingan segelintir elit yang melakukan praktik eksploitasi terstruktur berkedok pemberdayaan tetapi tidak berpihak pada petani.

Pada dasarnya, perlindungan terhadap petani telah dituangkan dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 yang menyatakan bahwa:

"Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani."

Namun, kebijakan impor yang longgar justru mengaburkan pesan dari Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tersebut. Kebijakan impor yang longgar membuka celah bagi masuknya produk asing yang lebih murah, sehingga mempengaruhi daya saing produk petani lokal. Akibatnya, pemerintah sering kali dianggap seolah-olah tidak berpihak kepada petani.

Oleh karena itu, pemerintah perlu bertindak tegas untuk membatasi impor dan melindungi produk pertanian dalam negeri, dengan tetap memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak merugikan sektor industri yang membutuhkan bahan baku dengan harga kompetitif.

Kebijakan untuk Mengatasi Impor Longgar

Pemerintah harus bertindak lebih tegas terhadap mafia impor yang merugikan petani. Meskipun Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman telah menyuarakan kemarahannya terhadap praktik ini dan menyerukan perhatian lebih terhadap kesejahteraan petani, langkah ini harus diikuti dengan kebijakan yang lebih konkret serta pengawasan yang lebih ketat terhadap jalur impor pangan.

Penegakan hukum terhadap importir yang tidak adil perlu menjadi prioritas untuk mencegah penurunan harga pangan lokal yang merugikan petani. Hal ini sejalan dengan pernyataan Anggota Komisi III DPR, R. M. Nasir Djamil, yang mengusulkan pembentukan Panitia Kerja (Panja) Penegakan Hukum Impor Ilegal untuk mengatasi permasalahan maraknya impor ilegal.

"Jika ini (pembentukan panja) berhasil, kita tidak hanya menyelamatkan pendapatan negara, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik pada hukum," ungkap Nasir, sebagaimana dikutip dari Antaranews.com (24/11/2024).

Selain itu, solusi yang lebih komprehensif diperlukan untuk membangun kedaulatan pangan yang kuat. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan pangan yang diambil berpihak pada petani. Ini termasuk mempermudah akses petani terhadap teknologi pertanian, memperbaiki sistem pemasaran hasil pertanian, serta memberikan subsidi yang tepat sasaran.

Dalam perspektif yang lebih luas, perlindungan terhadap petani adalah hal yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebagai negara yang memiliki potensi besar untuk menjadi lumbung pangan dunia, Indonesia harus memprioritaskan perlindungan terhadap petani dan sektor pertanian domestik.

Kebijakan yang berpihak pada petani bukan hanya sebuah kewajiban moral, tetapi juga langkah strategis untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan.

Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Petani, pemerintah harus memfokuskan kebijakan pada peningkatan daya saing petani lokal. Hal ini tidak hanya penting untuk kesejahteraan petani, tetapi juga untuk kedaulatan pangan Indonesia di masa depan.

Dengan kebijakan yang tepat dan dukungan yang kuat terhadap petani lokal, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara yang mandiri dalam produksi pangan.

Keberpihakan terhadap petani adalah langkah pertama yang harus diambil untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan serta ekonomi yang lebih stabil.

***

*) Oleh : Abdul Wahid Wathoni, Mahasiswa Magister Ekonomi Islam Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES