Forum Mahasiswa

Nasehat Pramoedya Ananta Toer Tentang Kemanusiaan

Selasa, 18 Februari 2025 - 11:11 | 48.69k
Sajad Khawarismi Maulana Mustofa, Mahasiswa UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Sajad Khawarismi Maulana Mustofa, Mahasiswa UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JEMBER – Pramoedya Ananta Toer, atau yang akrab dipanggil Pram, bukan sekadar seorang penulis. Ia adalah saksi zaman, seorang pejuang yang menyampaikan gagasannya lewat tulisan. Dalam setiap karyanya, ada pesan kuat tentang peradaban kemanusiaan.

Dalam karyanya "Bumi Manusia" atau "Gadis Pantai," Pram selalu menyelipkan kritik terhadap ketidakadilan dan seruan agar manusia lebih beradab serta berani mengambil kebebasannya.

Advertisement

Sebagaimana ia pernah menulis, "Jangan anggap remeh si manusia, yang kelihatannya begitu sederhana; biar penglihatanmu setajam elang, pikiranmu setajam pisau cukur, perabaanmu lebih peka dari para dewa, pendengaran dapat menangkap musik dan ratap-tangis kehidupan; pengetahuanmu tentang manusia takkan bakal bisa kemput."

Kemanusiaan, dalam pandangan Pram, bukan sekadar teori atau omong kosong belaka. Ia menjadikannya sebagai landasan berpikir dan bertindak. Pram percaya bahwa manusia yang baik adalah mereka yang berani berpihak, yang tidak tinggal diam ketika melihat ketidakadilan.

Dalam setiap tulisan-tulisannya, ia menyindir para penguasa yang lupa bahwa kekuasaan seharusnya untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Kemanusiaan di Tengah Penindasan

Dalam banyak karyanya, Pram menggambarkan betapa kejamnya dunia bagi mereka yang lemah. Penjajahan, feodalisme, dan kesewenang-wenangan menjadi tema besar dalam novel-novelnya.

Namun, yang membuat Pram berbeda adalah keberaniannya menunjukkan bahwa di tengah penindasan, selalu ada orang-orang yang tetap menjaga nilai-nilai kemanusiaan.

Misalnya, dalam "Bumi Manusia," kita melihat sosok Minke, seorang pribumi yang berani melawan sistem kolonial yang menindas bangsanya. Minke bukan hanya seorang pemuda yang cerdas, tetapi juga seorang yang berprinsip.

Ia menolak tunduk pada aturan yang tidak adil dan berusaha memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Ini menunjukkan bahwa kemanusiaan bukan sekadar belas kasihan, tetapi keberanian untuk menentang ketidakadilan.

Pram juga menyoroti bagaimana sistem yang bobrok dapat mengubah manusia menjadi makhluk yang kehilangan nurani. Banyak orang yang akhirnya memilih diam karena takut. Namun, dalam karyanya, Pram mengingatkan bahwa diam berarti menyerah.

Dalam "Rumah Kaca," ia menggambarkan bagaimana kebisuan bisa menjadi senjata paling mematikan bagi sebuah bangsa. Jika semua orang takut berbicara, maka penindasan akan terus berlanjut.

Menghidupkan Kemanusiaan dalam Kehidupan Sehari-hari

Bagi Pram, kemanusiaan tidak hanya tentang melawan penindasan dalam skala besar, tetapi juga dalam hal-hal kecil di kehidupan sehari-hari. Menjadi manusia yang baik bukan hanya tentang berjuang di medan perang atau melawan penguasa yang sewenang-wenang, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan sesama.

Dalam kehidupan modern, mungkin kita tidak lagi berhadapan dengan penjajahan dalam bentuk kolonialisme, tetapi ketidakadilan masih ada di mana-mana.

Banyak orang yang kesulitan mencari nafkah, hak-hak buruh masih sering diabaikan, dan diskriminasi masih merajalela. Dalam kondisi seperti ini, nasehat Pram tetap relevan: ”jangan pernah engkau kehilangan rasa kemanusiaan.”

Kita bisa mulai dengan hal-hal sederhana. Misalnya, peduli pada teman yang sedang kesulitan, tidak meremehkan orang lain hanya karena status sosialnya, atau berani menyuarakan ketidakadilan di lingkungan kita. Pram selalu menekankan bahwa manusia yang baik bukanlah mereka yang sekadar hidup untuk dirinya sendiri, tetapi mereka yang peduli pada orang lain.

Pram dan Kritik terhadap Kebodohan

Salah satu pesan yang paling sering disampaikan Pram adalah bahwa manusia harus terus belajar. Baginya, kebodohan adalah musuh terbesar kemanusiaan.

Dalam "Bumi Manusia," ada satu kutipan yang sangat terkenal: "Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan." Ini menunjukkan bahwa keadilan bukan hanya soal tindakan, tetapi juga soal cara berpikir.

Pram sangat membenci sistem yang membiarkan orang tetap bodoh. Ia percaya bahwa kebodohan membuat manusia mudah ditindas. Itulah sebabnya dalam banyak karyanya, tokoh-tokoh utama selalu digambarkan sebagai orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan.

Mereka membaca, berdiskusi, dan berusaha memahami dunia dengan lebih baik. Karena dengan ilmu, manusia bisa membebaskan dirinya sendiri.

Di era digital seperti sekarang, pesan ini masih sangat relevan. Banyak informasi beredar dengan cepat, tetapi tidak semuanya benar. Kita dituntut untuk menjadi manusia yang kritis, yang tidak mudah percaya begitu saja pada apa yang kita baca atau dengar.

Sebab, seperti yang sering dikatakan Pram, kebodohan adalah alat yang paling ampuh untuk mempertahankan ketidakadilan dan kesewang-wenangan.

Belajar dari Pram

Nasehat Pram tentang kemanusiaan bukanlah sesuatu yang rumit. Ia mengajarkan bahwa menjadi manusia yang baik berarti berani berpihak, berani bersuara, dan terus belajar.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin tidak selalu bisa melakukan hal-hal besar, tetapi setidaknya kita bisa mulai dengan tidak menjadi bagian dari ketidakadilan.

Pram telah menunjukkan kepada kita bahwa karya tulisan bisa menjadi senjata, bahwa dengan menulis dan berpikir kritis, kita bisa melawan kebodohan dan ketidakadilan. Kini, tugas kita adalah meneruskan semangat itu.

Kita mungkin bukan Pramoedya Ananta Toer, tetapi kita bisa belajar darinya. Dan seperti yang selalu ia tekankan, manusia seharusnya tidak hanya hidup untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk kebaikan bersama.

***

*) Oleh : Sajad Khawarismi Maulana Mustofa, Mahasiswa UIN KHAS Jember dan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES