Forum Mahasiswa

Ilusi Koalisi Permanen

Selasa, 18 Februari 2025 - 13:09 | 10.89k
Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Otto von Bismarck pernah berkata, “Politik adalah seni dari kemungkinan.” Ungkapan ini menegaskan bahwa politik bukanlah sesuatu yang kaku dan mutlak, melainkan arena kompromi yang terus berubah sesuai dengan dinamika zaman.

Dalam konteks Indonesia, pernyataan ini menjadi relevan ketika membahas gagasan "koalisi permanen" yang diusulkan oleh Ketua Umum Partai Gerindra dan Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, dalam peringatan Harlah Gerindra ke-17.

Advertisement

Sebuah ide yang sekilas tampak sebagai solusi bagi stabilitas pemerintahan. Namun, apakah hal ini realistis dalam lanskap politik Indonesia yang begitu dinamis?

Sejarah politik Indonesia membuktikan bahwa pragmatisme sering kali menjadi landasan utama dalam pembentukan koalisi. Koalisi tidak selalu dibangun atas dasar kesamaan ideologi yang kuat, tetapi lebih pada kepentingan jangka pendek dalam perebutan dan pelestarian kekuasaan.

Sistem multipartai yang kompleks di Indonesia memperumit upaya menjaga stabilitas koalisi dalam jangka panjang. Ketika kepentingan politik berubah, kesepakatan yang sebelumnya dianggap kokoh bisa dengan cepat runtuh.

Samuel Huntington dalam “Political Order in Changing Societies” (1968) menyebutkan bahwa stabilitas politik di negara berkembang kerap diancam oleh perubahan sosial, ekonomi, dan kepemimpinan. Indonesia tidak terkecuali.

Sejarah politik kita penuh dengan aliansi yang terbentuk dan bubar dalam waktu singkat. Janji untuk membangun koalisi permanen berisiko menjadi retorika semata, sebab politik bersandar pada kepentingan yang cair dan terus bergerak.

Dalam konteks global, negara-negara dengan sistem demokrasi mapan pun mengalami kesulitan dalam mempertahankan koalisi jangka panjang. Jerman, misalnya, memiliki pengalaman dengan Koalisi Besar (Große Koalition) antara CDU dan SPD.

Namun, perbedaan ideologi sering kali menimbulkan ketegangan, dan koalisi tersebut tidak selalu bertahan dalam jangka panjang. Keberhasilan koalisi politik di negara-negara demokratis bergantung pada fleksibilitas, bukan keterikatan permanen.

Di Indonesia, mengusung gagasan koalisi permanen bisa berisiko menutup ruang bagi politik yang dinamis dan adaptif. Politik yang terlalu kaku dalam mempertahankan aliansi bisa menghambat respons cepat terhadap perubahan sosial dan ekonomi.

Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, menanggapi usulan Prabowo dengan skeptisisme yang halus, "Kalau bisa permanen baik, tapi permanen sampai berapa waktu kan? Pasti ada batas waktunya."

Dalam demokrasi yang sehat, pemerintahan harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan kebutuhan rakyat, bukan sekadar alat untuk mempertahankan status quo.

Arend Lijphart dalam “Patterns of Democracy” (1999) menegaskan bahwa stabilitas politik yang efektif membutuhkan kesamaan ideologi yang kuat. Hanya saja, dalam sistem multipartai seperti Indonesia, di mana spektrum ideologi partai sangat beragam.

Koalisi berbasis kepentingan bersama sulit bertahan dalam jangka panjang. Jika dipaksakan, koalisi permanen berpotensi hanya melayani kepentingan elite politik tertentu, bukan rakyat secara keseluruhan.

Lebih jauh lagi, jika Prabowo berniat maju kembali dalam pemilu mendatang, koalisi yang tampak solid hari ini belum tentu bertahan esok hari. Politik Indonesia penuh dengan perubahan mendadak; konstelasi kekuatan yang ada bisa berubah dalam hitungan bulan.

Alih-alih menjadi solusi, gagasan koalisi permanen justru bisa menjadi penghalang bagi kompetisi politik yang sehat, yang seharusnya mendorong partai-partai untuk menawarkan gagasan terbaik kepada rakyat.

Sebagai bangsa yang besar dan demokratis, Indonesia memerlukan model politik yang adaptif, berbasis kepentingan rakyat, dan tidak terperangkap dalam jebakan aliansi yang dipaksakan.

Politik bukan hanya soal perebutan kekuasaan, melainkan juga tentang menjamin kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang inklusif dan transparan.

Daripada berupaya membangun koalisi permanen yang sulit diwujudkan, lebih baik para pemimpin politik fokus pada penguatan sistem pemerintahan yang demokratis, akuntabel, dan responsif terhadap tantangan zaman.

Di era globalisasi yang penuh ketidakpastian, kebijakan yang kaku justru akan menjadi penghambat inovasi dan adaptasi. Indonesia memerlukan kepemimpinan yang visioner dan peka terhadap perubahan, bukan sekadar mempertahankan status quo.

Dialog dan kerja sama antar partai tetap penting, tetapi harus dilandaskan pada semangat kebangsaan dan kepentingan rakyat, bukan sekadar kepentingan politik sempit.

Koalisi permanen mungkin terdengar menarik sebagai gagasan, tetapi dalam realitas politik Indonesia yang dinamis, fleksibilitas dan adaptabilitas adalah kuncinya. Koalisi yang efektif bukanlah yang bersifat statis, melainkan yang mampu bertransformasi sesuai dengan tantangan zaman.

Dengan demikian, politik Indonesia dapat berkembang menjadi lebih inklusif, responsif, dan benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat.

***

*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

 

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

 

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES