
TIMESINDONESIA, MALANG – Pergantian menteri dalam kabinet pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada Februari 2025 menyisakan pertanyaan: mengapa kebijakan yang dianggap “benar” justru memicu kegaduhan?
Kasus penggantian Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, menjadi contoh nyata bahwa kebenaran prosedural tanpa empati komunikasi hanya melahirkan resistensi.
Advertisement
Fenomena ini mengingatkan kita pada prinsip Ki Hadjar Dewantara: kepemimpinan bukan sekadar memerintah, tetapi menjadi guru yang menginspirasi. Di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa nasihat bagi pemimpin adalah bentuk jihad yang mulia, asal disampaikan dengan etika.
Di tengah kompleksitas pemerintahan modern, integrasi dua filosofi ini kepeloporan edukatif dan budaya nasihat yang santun bisa menjadi kunci menciptakan tata kelola yang efektif.
Ki Hadjar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia, pernah merumuskan konsep Trias Kepemimpinan: ing ngarsa sung tuladha (di depan memberi teladan), ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat), dan tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan).
Prinsip tersebut relevan hingga kini. Misalnya, kegagalan komunikasi Satryo sebagai menteri bukan terletak pada substansi kebijakan, tetapi pada ketidakmampuan “berada di tengah” untuk merangkul aspirasi pegawai dan mahasiswa. Padahal, di era media sosial, setiap pernyataan pejabat bisa menjadi bahan uji keteladanan.
Ketika pemimpin hanya fokus pada pencapaian administratif tanpa membangun dialog, yang lahir adalah ketaatan semu, bukan kesadaran kolektif. Inilah yang disebut Ki Hadjar sebagai bener ning ora pener-benar secara prosedur, tetapi salah secara kontekstual.
Dalam ajaran Islam menawarkan perspektif pelengkap: nasihat bukan hanya hak rakyat, tetapi kewajiban moral. Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Muslim menegaskan, “Agama adalah nasihat,” termasuk untuk para pemimpin.
Surat Ali bin Abi Thalib kepada Gubernur Mesir, Malik al-Asytar, juga menjadi contoh sempurna: “Pemimpin itu harus bisa melihat dengan mata rakyat, harus mengerti bahasa rakyat, dan merasakan perasaan rakyat.
Memajukan kemakmuran rakyat adalah tugas setiap pemimpin.” Pesan ini selaras dengan filosofi Ki Hadjar: kepemimpinan harus mengayomi, bukan menghakimi.
Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik adalah yang mampu menjadi guru sekaligus murid. Guru, karena harus memberi teladan melalui integritas dan kebijakan inklusif. Murid, karena harus rendah hati mendengar suara rakyat, termasuk kritik yang pedas.
Ki Hadjar Dewantara mengingatkan, “Setiap orang adalah guru, setiap rumah adalah sekolah.” Maka, dalam konteks bernegara, setiap kebijakan adalah kurikulum, dan setiap dialog adalah ruang kelas tempat pemimpin dan masyarakat saling mendidik.
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Mahasiswa Universitas Islam Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |