
TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam sistem demokrasi, suara rakyat seharusnya menjadi elemen paling utama dalam proses politik. Demokrasi sebagai sistem pemerintahan menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, di mana keputusan politik seharusnya mencerminkan kehendak mereka.
Namun, dalam fenomena yang terjadi akhir-akhir ini, suara rakyat sering kali dimanfaatkan sebagai alat legitimasi bagi elite politik untuk mempertahankan atau memperluas kekuasaannya. Di tengah perkembangan strategi politik yang semakin canggih, pertanyaan mendasar yang muncul adalah sejauh mana suara rakyat benar-benar didengar dan diperjuangkan?
Advertisement
Dalam teori elite klasik, seperti yang dikatakan oleh Mosca (1939), politik pada dasarnya dikendalikan oleh sekelompok kecil elite yang memiliki kekuasaan dan sumber daya untuk memengaruhi keputusan.
Dalam konteks modern, fenomena ini dapat dilihat dalam bagaimana suara rakyat sering kali dimanipulasi untuk kepentingan segelintir kelompok yang memiliki akses terhadap media dan kekuasaan ekonomi.
Partisipasi politik adalah elemen fundamental dalam sistem demokrasi. Menurut Verba, Schlozman, dan Brady (1995), partisipasi politik adalah tindakan individu yang secara langsung atau tidak langsung bertujuan mempengaruhi kebijakan publik atau pemilihan pemimpin.
Dalam praktiknya, partisipasi ini tidak selalu terjadi secara murni, karena ada berbagai faktor yang memengaruhi keputusan politik masyarakat, termasuk propaganda, media, dan kepentingan elite.
Strategi Politik dan Manipulasi Opini Publik
Elite politik menggunakan berbagai strategi untuk membentuk dan mengarahkan opini publik. Menurut teori Manufacturing Consent dari Herman dan Chomsky (1988), media memiliki peran dominan dalam membentuk persepsi publik sesuai dengan kepentingan kelompok penguasa. Propaganda politik, framing berita, serta kampanye berbasis media sosial menjadi alat utama dalam mengendalikan wacana publik.
Selain itu, pendekatan populisme juga sering digunakan oleh para politisi untuk meraih simpati masyarakat. Menurut Mudde (2004), populisme mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya representasi dari "kehendak rakyat," sementara lawan politiknya dianggap sebagai bagian dari elite korup.
Dengan retorika ini, suara rakyat sering kali dimobilisasi hanya sebagai alat politik tanpa benar-benar diperjuangkan dalam kebijakan nyata.
Dilema Rakyat dalam Sistem Demokrasi
Rakyat berada dalam posisi dilematis dalam sistem demokrasi modern. Di satu sisi, mereka memiliki hak suara untuk memilih pemimpin yang dianggap mampu memperjuangkan hak dan kepentingan mereka.
Pilihan yang terjadi sering kali terbatas pada figur-figur yang muncul karena dukungan oligarki politik. Dalam konteks ini, sebagaimana dikemukakan oleh Schattschneider (1960), demokrasi cenderung menjadi permainan bagi mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses terhadap media.
Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, patronase politik juga menjadi faktor yang memengaruhi suara rakyat. Studi dari Aspinall dan Berenschot (2019) menunjukkan bahwa politik patronase sering kali mengarah pada transaksi suara, di mana dukungan politik dipertukarkan dengan uang atau bantuan material. Hal ini semakin membatasi peluang bagi suara rakyat yang murni untuk menentukan arah kebijakan negara.
Meski demikian, harapan tetap ada. Dengan semakin luasnya akses informasi melalui media sosial dan platform digital, masyarakat kini lebih kritis dalam menilai janji politik. Menurut Norris (2001), internet dapat memperkuat partisipasi politik dengan menyediakan informasi serta ruang diskusi yang lebih inklusif.
Fenomena gerakan sosial yang muncul dari kesadaran politik rakyat juga menjadi bukti bahwasanya demokrasi masih memiliki harapan. Contohnya adalah gerakan protes yang dilakukan oleh masyarakat sipil dalam menolak kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat.
Ini menunjukkan bahwasanya suara rakyat tetap memiliki daya tawar jika diorganisir dengan baik dan didukung oleh strategi komunikasi yang lebih efektif.
Suara rakyat harus terus diperjuangkan agar tidak sekadar menjadi alat dalam strategi politik, tetapi harus benar-benar menjadi kekuatan yang membawa perubahan secara nyata dalam sistem pemerintahan.
Demokrasi yang sehat adalah demokrasi di mana rakyat tidak hanya bersuara saat pemilu, tetapi juga terus mengawal dan mengontrol jalannya pemerintahan sepanjang waktu.
Dengan meningkatnya kesadaran politik, partisipasi aktif, serta pengawasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, suara rakyat dapat lebih berdaya guna dalam membentuk masa depan bangsa.
***
*) Oleh : Achmad Firman Maulana, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |