Mengenal Buku 'Erdogan Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki' Karya Syarif Taghian
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam bukunya berjudul "Erdogan Muadzin Istanbul Penakluk Sekularisme Turki", Syarif Taghian mengatakan, politik adalah seni menjalankan kekuasaan dan mengatur rakyat yang dipimpinnya.
Politik, kata dia, juga berarti menjalankan strategi yang jitu dan gemilang untuk kemaslahatan masyarakat. Karenanya, untuk tujuan itu, terkadang seorang politisi atau pemimpin harus pintar-pintar bersiasat, lihai menggunakan sarana yang tersedia dalam gelanggang politik, untuk kemudian meraih apa yang dicita-citakannya.
Advertisement
Menurutnya, pragmatisme terkadang memang sulit dihindari, namun bukan berarti tidak bisa disiasati. Yang terpenting, pragmatisme tidak menjadi identitas, melainkan siasat untuk meraih kemenangan.
"Politisi yang menjadikan pragmatisme sebagai identitas politik, ia akan terjerembab dalam kepentingan sesaat, melacur pada kekuasaan, dan larut dalam euforia demokrasi yang sejatinya adalah alat, bukan tujuan," katanya dikutip TIMES Indonesia, Selasa (8/11/2022).
Ia menjelaskan, ketika kekuasaan sudah di tangan, maka identitas harus lebih ditegaskan. Inilah, lanjut dia, yang dilakukan oleh Recep Tayyip Erdogan, seorang politisi Islam dari Turki yang dijuluki sebagai "Muadzin Penumbang Sekularisme Turki".
Menurutnya, Erdogan berhasil meyakinkan rakyat Turki, bahwa sekularisme yang pernah menggurita dan ekstrem pada masa Mustafa Kemal Attaturk, yang menihilkan nilai-nilai Islam, adalah masa kegelapan yang membuat negeri indah ini berada dalam kendali otoritarian dan pemimpin yang mabuk dalam kekuasaan.
Erdogan meyakinkan rakyatnya, bahwa dengan identitas Islam, Turki bisa mengembalikan kejayaan Kekhilafahan Utsmani, kekhilafahan yang tidak hanya kuat dalam segi pertahanan, tapi juga dalam perekonomian. "Pada masa lalu, kekuasaan Khilafah Utsmaniyah mampu membuka jalur-jalur perdagangan ke berbagai belahan dunia, bahkan sampai ke Indonesia," jelasnya.
Dalam buku itu ia menjelaskan, dengan keyakinan bahwa "Islam adalah Solusi" atau Al-Islam huwa Al-Hall, Recep Tayyip Erdogan yang dibesarkan dalam lingkungan keislaman, mampu membangkitkan kembali Turki dari julukan "the Sick Man in Europe" menjadi negara yang sehat dan tumbuh berkembang, bahkan diperhitungkan sebagai negara yang mampu memberikan kontribusi dalam menciptakan perdamaian.
Dengan kesantunan dan kepiawaiannya dalam berpolitik, Erdogan mampu menumbangkan "berhala sekularisme Attaturk" tanpa melakukan kudeta dan melesatkan peluru sebutir pun. "Sekularisme yang disucikan oleh militer, dan dijaga oleh kekuatan senjata, mampu ditumbangkan dengan 'kudeta tanpa senjata' oleh Erdogan," katanya.
Keraguan kelompok sekular Turki yang menyebut Erdogan sebagai sosok "islamis reaksioner" dijawab olehnya dengan kerja nyata dalam mensejahterakan rakyat Turki dan menjadikan negaranya sebagai kekuatan penyeimbang dalam kancah globalisasi dan hegemoni politik dan ekonomi yang dikuasi oleh negara-negara Barat. "Erdogan mampu membawa Turki menjadi negara dengan stabilitas ekonomi yang kuat, mandiri, dan mampu bersaing di dunia internasional," ucapnya.
Karena kemampuannya dalam mengelola negara dan keberaniannya dalam mengembalikan identitas keislaman Turki, maka tak heran jika ada yang menyebutnya sebagai "Sultan Turki Era Modern". Erdogan mampu memainkan peran dalam diplomasi internasional, baik dengan cara soft approach maupun dengan cara-cara yang tegas tanpa kompromi, seperti ketika ia mengeritik aksi pembantaian negeri Zionis Israel terhadap rakyat Gaza di Palestina.
"Dengan tegas dan lantang, di forum internasional, bahkan di hadapan Presiden Israel Shimon Perez, Erdogan melontarkan protes dan kritik kerasnya terhadap aksi bengis Zionis. Sikap tegas inilah yang menjadikan Erdogan disegani oleh kawan dan lawan," katanya.
Kudeta Tanpa Senjata
Siapa mengira, simbol-simbol keislaman yang pada masa lalu dilarang dan diganti dengan hukum Swiss (Swiss Code) oleh diktator Mustafa Kemal Attaturk, seperti jilbab dan lain-lain, kini bisa bebas dan kembali menjadi identitas muslimah Turki di jalan-jalan.
"Bahkan, tak ada yang menduga, dengan 'kudeta tanpa senjata' penggunaan yang tabu dalam lembaga-lembaga pemerintahan, kini mendapat kebebasan. Jilbab bahkan masuk istana dan menghiasi acara-acara kenegaraan, dengan tampilnya Nyonya Erdogan sebagai ibu negara," jelasnya.
Selain mampu melakukan 'kudeta tanpa senjata' dengan menumbangkan sekularisme Turki, Erdogan juga mampu melakukan rekonsiliasi dengan musuh-musuhnya. Ia juga mampu melakukan dialog dan rekonsiliasi terhadap persoalan-persoalan negara yang mengganjal Turki selama ini, seperti persoalan dengan suku Kurdi dan bangsa Armenia.
"Tak heran jika ada yang mengusulkan, sosok yang juga kader Necmettin Erbakan ini, sebagai penerima nobel perdamaian karena kiprahnya dalam membangun rekonsiliasi dan perdamaian," jelasnya.
Ia memandang, Recep Tayyip Erdogan adalah contoh politisi dan pemimpin yang tidak larut dalam kekuasaan, sehingga melupakan identitas keislamannya. Jejak rekamnya dalam membela kaum muslimin yang tertindas, terutama di Palestina, sudah tidak diragukan lagi. Begitupun kritik-kritiknya terhadap Barat, terutama yang tergabung dalam Uni Eropa, terkait persoalan hak-hak asasi umat Islam yang terkadang mendapat perlakuan zalim.
Syarif Taghian mengatakan, dalam buku yang isinya biografi Erdogan ini, ia berharap bisa menjadi cermin dan teladan bagi para politisi Islam. Buku ini juga menggambarkan, bahwa politik identitas harus dikedepankan ketika kekuasaan sudah berada di tangan.
Tak ada lagi ruang abu-abu, ketika kekuasaan yang dipegang sudah mampu memberikan pembelaan terhadap nasib umat Islam. Islam tak bisa dipisahkan dari pemerintahan, dan penegakkan Islam harus dilakukan dengan cara merebut kekuasaan. Erdogan mampu memainkan peran merebut kekuasaan dengan cara-cara damai dan mengundang simpati masyarakat.
Di tengah sekularisme yang membelit para pemimpin politik di berbagai belahan dunia, politik identitas yang mengedepankan keislaman bisa menawarkan solusi bagi negara.
"Fakta menunjukkan, kemenangan Partai FIS di Al-Jazair, Hamas di Palestina, bahkan Al-Ikhwan Al Muslimun di Mesir, menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat di negara-negara Islam merindukan Islam tampil memberikan solusi. Sudah saatnya, Islam menjadi solusi bagi kehidupan, lewat para tokoh tokohnya yang menjadi teladan," katanya.
Kata dia, sebagian isi buku ini sedikit mengalami pemotongan karena kurang begitu relevan dan demi memudahkan pembaca memahami hal-hal yang penting saja dari sosok Erdogan dan kondisi Turki saat ini.
"Pustaka Al-Kautsar sebagai penerbit buku Islam utama, menghadirkan buku ini kehadapan Anda, pembaca budiman, agar bisa mengambil keteladanan dari sosok bernama Recep Tayyip Erdogan. Sosok yang mampu mengembalikan Turki pada identitas keislaman dan penyeimbang bagi kekuatan-kekuatan Barat," ujarnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |