Kisah KH Nuruddin Musyiri, Pengasuh Ponpes Nurul Qadim Membela Wong Cilik
TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Pengasuh kedua Ponpes Nurul Qadim, Kabupaten Probolinggo, Jatim, KH Nuruddin Musyiri, punya perhatian besar terhadap kondisi masyarakat sekitar. Terutama kalangan bawah.
KH Nuruddin Musyiri rela menolak bantuan pemerintah untuk pesantren asuhannya. Kemudian dialihkan untuk pembangunan jembatan di sekitar pesantren, karena dinilai lebih dibutuhkan masyarakat.
Advertisement
Menantu dari pendiri Ponpes Nurul Qadim, KH Hasyim Mino itu, juga tak segan menyurati bupati, bila ada kebijakan pemerintah yang dinilai kurang memperhatikan kondisi masyarakat kecil.
Kisah kepedulian KH Nuruddin itu diceritakan salah satu santrinya, alumni Ponpes Nurul Qadim, Musolli. Dikisahkan, suatu saat, santri asal Kabupaten Bondowoso tersebut dipanggil oleh KH Nuruddin.
"Musolli, tulis apa yang aku katakan dan kirim pada pak bupati," kata KH Nuruddin waktu itu.
Rupanya, begitu anjloknya harga tembakau membuat kiai mengambil langkah nyata dan berani. Kala itu, harga tembakau hanya sekitar Rp 2 ribu per kilogram.
Disebutkan, jika 1 kilogram tembakau ditukar dengan 1 kilogram beras, nilainya masih lebih mahal beras.
Meski tak menanam tembakau, KH Nuruddin sangat prihatin dengan kondisi dan nasib petani tembakau. Sehingga beliau berani berkirim surat pada bupati Probolinggo.
"Pak bupati yang terhormat. Daripada sampeyan berencana membuat tempat rekreasi, hiburan yang identik dengan maksiat, lebih baik sampyan membeli tembakau para petani dengan harga di atas harga pabrik sekarang. Tembakau tersebut sampeyan simpan di gudang yang luas, yang bisa menampung tembakau petani Probolinggo."
Redaksi surat tersebut, oleh KH Nuruddin didiktekan kepada Musolli. Kemudian kirim ke Bupati Probolinggo.
“Waktu itu, bupati berencana membuat taman hiburan di Pantai Bentar,” kata Musolli, yang kini menjadi pimpinan Majelis Dzikir dan Selawat Tanbihul Ghafilin di Kabupaten Bondowoso.
Diketahui, Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu sentra tembakau di Jawa Timur. Dan Kecamatan Paiton, tempat Ponpes Nurul Qadim berdiri, merupakan salah satu penghasil tembakau terbanyak.
‘Tolak’ Bantuan Pemerintah, Lalu Dialihkan untuk Jembatan
Kisah lain tentang kepedulian KH Nuruddin Musyiri kepada masyarakat kecil, terjadi tak lama setelah pilkada kabupaten setempat.
“Setelah bupati dinyatakan menang dan dilantik, orang kepercayaan bupati sowan ke kiai Nuruddin. Saya kebetulan ada di dalem (rumah kiai, Red) menemani kiai, ikut mendengarkan perbincangan itu,” kenang Musolli.
Di hadapan KH Nuruddin Musyiri, orang tersebut menyampaikan pesan bupati.
"Kiai, mohon izin menyampaikan salam pak Bupati. Terima kasih atas dukungannya sehingga bapak bisa menjabat sebagai bupati. Selanjutnya, mohon berkenan untuk menerima bantuan dari bupati sebagai tanda terima kasih. Mohon kiranya, kiai menunjukkan lokasi di sekitar pesantren yang akan dibangun ruang kelas baru," kata tamu tersebut.
Kiai Nuruddin dengan nada bicara khasnya, tanpa berbelit-belit menjawab tawaran sang bupati.
"Terima kasih, pak. Salam juga sama pak bupati berkenan mau membantu pesantren saya. Kalau memang bupati mau bantu saya, tolong buatkan saya jembatan yang bisa menghubungkan dua desa yaitu Desa Alastengah dengan Desa Kalikajar (keduanya di Kecamatan Paiton,” kata Kiai Nuruddin, sebagaimana diceritakan Musolli.
“Jembatan itu sangat berguna untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Sebab penduduk Alastengah yang hendak ke pasar, kulakan, harus jalan mengitari pinggir sungai hingga ke (Desa, Red) Randu Merak. Dan itu sangat jauh, sekitar 10 kilometer. Tapi dengan adanya jembatan, jarak tempuh bisa dipangkas menjadi 5 menit sampai," kata Kiai Nuruddin menambahkan.
Dan, selang beberapa bulan kemudian, jembatan penghubung dua desa itu telah dibangun dan resmi dipakai. Manfaatnya tentu sangat terasa bagi pertumbuhan ekonomi dan kepentingan masyarakat lainnya.
Diakui Musolli, dirinya sempat protes dalam hati, begitu mendengar jawaban KH Nuruddin Musyiri atas tawaran utusan bupati tersebut.
"Kiaiku ini bagaimana, wong Ponpes Nurul Qadim butuh ruang kelas baru dan asrama, malah programnya dialihkan ke pengadaan jembatan yang sama sekali tidak ada hubungan nya dengan pesantren," kenangnya.
Dosen Universitas Nurul Jadid atau Unuja Probolinggo itu mengatakan, kiai lebih memilih kebermanfaatan yang langsung bersentuhan dengan ekonomi masyarakat. Sebab dengan bertumbuhnya ekonomi rakyat, akan banyak hal yang bisa dilakukan.
Menurutnya, KH Nuruddin Musyiri ingin mengajari santrinya bahwa dalam kondisi tertentu, kepentingan pesantren harus ditunda, demi kepentingan umatnya yang lebih mendesak. Walaupun itu tidak begitu menguntungkan untuk pesantren, apalagi pribadinya.
Sebagai informasi, KH Nuruddin Musyiri merupakan pengasuh kedua Ponpes Nurul Qadim, Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Beliau mengasuh hingga wafat pada Selasa, 30 Desember 2014. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Muhammad Iqbal |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |