Mengenal Buku 'Politik Muka Ganda', Karya yang Ditulis oleh Yasonna H Laoly
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. Laoly jadi salah satu menteri Presiden Jokowi yang aktif menulis. Baru-baru ini politikus dari PDI-P itu merilis buku berjudul 'Politik Muka Ganda.'
Dalam pengantarnya, Yasonna menyampaikan, kehidupan politik di Indonesia sering mengalami gonjang-ganjing karena pertarungan antar-elite politik, baik di internal partai politik itu sendiri maupun antarpartai politik.
Advertisement
Dia menyaksikan, banyak politisi yang membangun kerajaan politiknya tanpa akar yang kuat. Mereka mengambang, tidak menguat secara ideologis, lebih pada upaya menggapai kekuasaan secara pragmatis-oportunis.
"Ke mana angin keberuntungan mengarah, ke sana mereka berkerubung," katanya dikutip TIMES Indonesia, Minggu (20/8/2023).
Fenomena ini, kata dia, sangat berbeda dengan zaman dulu. Para politisi dahulu, khususnya di era awal kemerdekaan, mereka tumbuh dan besar dalam lingkungan ideologi yang kuat.
Mereka berjuang di atas landasan ideologi yang mereka yakini kebenarannya. Mereka yakin, dengan perjuangan ideologi itu, bakal mampu membawa kesejahteraan bagi umat manusia, tidak hanya bagi kelompoknya, tapi bagi seluruhnya.
"Itulah kenapa mereka berdiskusi, berdebat, dan saling mengkritik, untuk memenangkan nilai-niai yang dibawa ideologinya tersebut. Benturan antar-ideologi ini kerap memanas, bahkan bisa seperti minyak dan air. Tak bakal bisa menyatu, saling memberi jarak, tetapi tokoh-tokoh politiknya tetap dapat mempertahankan persahabatan dan silaturahmi yang baik di antara mereka," jelasnya.
Ia menyampaikan, pertarungan perjuangan ideologi, bertemunya ideologi lain yang bertolak belakang 360 derajat, tidak sertamerta menjadikan mereka saling bermusuhan.
"Di ruang sidang, mereka bisa menggebrak meja, lemparlemparan kursi, seketika mereka keluar dari ruang sidang, persaudaraan tetap utuh. Bisa ngopi bareng, atau pulang berboncengan sepeda bersama," katanya
Menurutnya, itulah keajaiban politik era dulu. Berpolitik dengan dasar ideologi yang kuat. Tatkala berbentur dengan ideologi lain yang sama sekali berbeda, tidak kendur dan luntur, justru kian menguat. Tapi hebatnya perbenturan itu tidak membenihkan permusuhan.
Justru, lanjut dia, semakin menandaskan persaudaraan sesama anak bangsa. Sama-sama berjuang, dengan pilar ideologi masing- masing, untuk kemajuan bangsa dan negara. Iklim berbeda tapi tetap bersaudara inilah yang nyaris menjadi barang langka di era sekarang.
Menurutnya lagi, saat ini lebih banyak, politisi sekarang bergerak dengan kendali keuntungan pribadi. Seakan, kursi dan kekuasaan adalah tujuan akhir. Siapa yang kuat, dia akan dikerubuti. Setelah kekuasaan luntur ramai-ramai ditinggalkan.
"Berlaku adagium usang, tak ada teman dan musuh abadi dalam politik, yang ada adalah kepentingan yang abadi.' Kepentingan yang menyatukan mereka, bukan persaudaraan sesama anak bangsa. Inilah yang menjadi sebab runtuhnya peradaban politik. Berpolitik tanpa 'fatsun'. Orang-orang inilah yang mencoretkan noda dalam politik, yang mempraktikkan 'politik muka ganda', tanpa dasar ideologi politik yang kuat," paparnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan keresahan itulah, ia menulis buku yang diberikan judul 'Politik Muka Ganda.'
Pria kelahiran 27 Mei 1953 ini menjelaskan, secara komprehensif, buku ini mengulas perihal peradaban politik, dari sejarah hingga praktiknya di banyak negara, khususnya di Indonesia. Dari zaman dulu, sampai kini di era digital.
"Dalam proses membangun peradaban politik itulah, banyak paradoks yang dilakukan oleh oknum- oknum politisi," katanya.
Mereka, kata dia, mempraktikkan 'Politik Muka Ganda', tanpa akar dan ikatan ideologi yang kokoh. Hanya kepentingan dan keuntungan sesaat, untuk diri dan kelompoknya saja, yang mereka perjuangkan.
Di mana ada kekuasaan, di situ mereka berpihak. Kekuasaan yang lama runtuh, mereka beralih ke kekuasaan yang baru. Tidak istiqamah dalam memegang prinsip ideologi.
"Artinya, masih ada secercah harapan. Kita ingin partai politik sebagai wadah persemaian aktor-aktor politik bisa mewujud menjadi lokomotif peradaban politik. Kader-kader yang masuk ke dalam partai, mesti ditempa sedemikian rupa, perlu ditanamkan ke dalam tubuh dan jiwa mereka nilai-nilai luhur ideologi yang menjadi spirit perjuangan partai," jelasnya.
Lebih jauh ia menyampaikan, ditanamkan pula, di dalam kebhinnekaan Nusantara ini, ada persaudaraan tunggal yang harus dijunjung tinggi. "Seberapa pun kita berbeda, tidak boleh saling bermusuhan, saling mencaci, dan saling mendengki," katanya.
Menurutnya, jika corak politik luhur ini menjiwa ke dalam perilaku para politisi Indonesia, itu berarti partai politik betul- betul mampu memainkan peran dalam mewujudkan peradaban politik di negeri ini.
Mereka mampu melahirkan kader-kader politik yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dalam politik, yang mengikatkan diri secara kuat pada ideologi partai. Tidak rapuh dan mudah terombang-ambing oleh arah angin politik.
"Tidak ada lagi 'politik muka ganda', yang ada adalah politik adiluhung, yang menempatkan kepentingan nasional bangsa Indonesia di atas kepentingan segalanya, di atas seluruh partikel kepentingan orang per orang ataupun kelompok per kelompok," ujar Yasonna H. Laoly. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Sholihin Nur |