Mengembalikan Khitah Dangdut, Sebuah Perspektif Buku Karya Mahfud Ikhwan

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Mulai dari kepikiran hingga melahirkan sebuah karya adalah obsesi yang dilakukan oleh Mahfud Ikhwan penulis buku “Kepikiran Dangdut dan Hal-Hal Pop Lainnya” dalam diskusi bedah buku di Bait Kata Center Mojosongo, Diwek, Jombang, Sabtu (23/03/2024) malam.
Diskusi yang dipandu oleh Abi Utomo sebagai moderator menjadi makin menarik setelah Mahfud Ikhwal penulis buku yang tinggal di Yogyakarta tersebut menyampaikan riset dan pengalamannya bersentuhan dengan dangdut melalui buku kumpulan esai.
Advertisement
Sudah kali keempat, lelaki kelahiran Lamongan, Jawa Timur itu membagikan pengalaman dan berbagi ilmu tentang karya bukunya di kota santri dengan membawa karya-karya yang segar untuk menambah khasanah pengetahuan di bidang sastra.
Diskusi sastra yang didakan oleh Bait Kata Center merupakan agenda rutin dan menarik para pegiat sastra Jombang untuk terus menjaga aktivitasnya di era lagu “ambyar” sekarang ini.
Haris Muhtadi, pengelola perpustakaan umum dan KB (Kelompok Bermain) mengatakan bahwa ia memiliki ide menarik untuk mewarnai pergerakan sastra di Jombang, salah satunya adalah diskusi buku sastra dengan mendatangkan Mahfud Ihkhwan.
“Mahfud Ihkwan adalah salah satu sastrawan yang turut membersamai dan mewarnai aktivitas komunitas sastra di Jombang. Para pegiat sastra di Jombang selalu terbuka dengan ide atau gagasan para penulis dari luar Jombang untuk dapat didiskusikan secara hangat dalam bincang sastra,” katanya saat memberikan sambutan.
Sementara itu, Binhad Nurrohmat, pengulas dan seorang sastrawan juga mengaku tertarik dengan buku kumpulan esai Mahfud Ikhwan yang dibedah pada edisi Ramadan ini.
Menurutnya, dangdut merupakan sebuah genre musik yang memiliki pangsa pasar tersendiri di belantara industri musik Indonesia. Menurut Binhad, dangdut menjadi persoalan serius apabila sudah digulirkan menjadi sebuah karya sastra.
“Hal remeh-temeh seperti dangdut yang seharusnya hanya sekedar “dijogetin” malah berubah menjadi diskusi serius dan aneh namun penting untuk tidak dileawatkan,” paparnya.
Menurutnya, saking pentingnya dangdut, sudah seharusnya ada seseorang yang menuliskannya melalui sebuah karya buku dan rekam jejak tertulis lainnya, terlebih Indonesia adalah rumah kelahiran dangdut itu sendiri.
Dangdut telah menjadi sebuah komoditas yang sangat penting di masyarakat Indonesia untuk kebutuhan instrumental pendengaran sehari-hari. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa dangdut merupakan genre musik kelas menengah ke bawah, kini dangdut mampu membuka sekat-sekat sosial yang ada di masyarakat.
“Semua itu secara tidak langsung disahkan oleh peristiwa diundangnya penyanyi dangdut cilik Farel Prayoga ke istana negara oleh Jokowi dalam acara memperingati hari kemerdekaan,” ungkapnya.
Kemudian, Mahfud Ikhwan sang penulis buku tersebut menerangkan jika sekat-sekat sosial yang tercipta dalam kultur musik dangdut kini mulai hilang dan menjelma sebuah genre yang digemari oleh berbagai kalangan.
“Meskipun sebagian orang masih menganggap dangdut merupakan genre musik yang identik dengan kata “erotis”, faktanya dangdut telah bermetamorfosa menjadi musik kegemaran masyarakat yang tak mengenal batas usia,” jelasnya.
Menurutnya, kini telah banyak upaya-upaya untuk memurnikan dangdut kembali seperti pada masa kejayaan Roma Irama yang terkenal dengan kesantunannya dan memiliki lirik-lirik yang bermakna untuk mengajak dalam kebaikan.
Sedikit sekali para penyanyi maupun pencipta lagu yang menciptakan lagu seperti gaya-gaya Rhoma Irama sebagai bentuk pemurnian kembali dangdut Indonesia. Bahkan, karya yang diciptakan cenderung memiliki lirik-lirik yang sedikit profan.
“Terlepas dari sosok dan kebesaran nama Rhoma Irama, sebenarnya industri musik Indonesia tidak melahirkan epigon-epigon yang membuat musik dangdut semakin tumpang tindih dalam disiplin bermusik,” tambah Mahfud menjelaskan.
Lebih mendalam, menurut Mahfud, justru rentetan sejarah tentang musik dangdut begitu runtut sanadnya walaupun klaim tersebut disampaikan secara verbal namun bukan secara disiplin bermusik sama seperti kiblatnya.
“Pengakuan Denny Cak Nan bahwa kiblat bermusiknya adalah Didi Kempot yang sebenarnya dikenal sebagai penyanyi Campur Sari bukan dangdut, merupakan pengakuan hanya persolan figur semata bukan persoalan genre musik,” jelasnya.
Namun kenyataannya, pada masa keemasan Didi Kempot, musik yang dibawakan mulai menyentuh ranah “dangdut” atau sebagai genre yang berbeda dari sebelumnya yang pernah dibawakan. Bukan mustahil mengembalikan dangdut kembali pada jalur yang murni seperti dangdut ala Rhoma Irama yang cenderung memiliki estetika makna lirik yang dalam.
Namun akan menjadi sulit jika melihat perkembangan zaman yang bahkan ungkapan-ungkapan dalam dangdut jauh lebih terkenal dibandingkan dengan lagu itu sendiri seperti “bukak titik jos” dan “mangku purel”.
Bukan seharusnya mengangkat citra dangdut sebagai musik yang santun (tidak fulgar), malah justru mendorong musik dangdut ke dalam air comberan. Tidak dapat dipungkiri bahwa ungkapan-ungkapan tersebut juga dijadikan masyarakat sebagai hiburan atau candaan yang selalu ada di setiap zamannya dan sesuai dengan perkembangan musik dangdut tersebut.
“Keberhasilan Musik dangdut menyentuh berbagai kalangan sudah sepatutnya dirayakan dengan bijak sebagai langkah upaya menjaga citra bangsa menjadi bangsa yang bermartabat,” ucapnya. (*).
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |