Resensi

Satu Dasawarsa KH Nuruddin Musyiri, Ini Kiprahnya di Masyarakat, Pesantren dan Politik

Kamis, 12 September 2024 - 15:45 | 76.66k
KH Nuruddin Musyiri (FOTO; Dokumen keluarga)
KH Nuruddin Musyiri (FOTO; Dokumen keluarga)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Haul ke-10 KH Nuruddin Musyiri diperingati Kamis (12/9/2024) atau 8 Rabiul Awal 1446 Hijriah, di Ponpes Nurul Qadim, Desa Kalikajar Kulon, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jatim.

Pengasuh kedua Ponpes Nurul Qadim itu, wafat pada 30 Desember 2014 sekitar pukul 03.00 WIB, bertepatan dengan 8 Rabiul Awal 1436 Hijriah. 

Advertisement

KH-Nuruddin-Musyiri-bersama-KH-Maimoen-Zubair.jpg

KH Nuruddin Musyiri bersama KH Maimoen Zubair. KH Nuruddin pernah menjadi Majelis Syariah DPP PPP (FOTO: Dokumen keluarga) 

KH Nuruddin adalah menantu dari pendiri dan pengasuh pertama Ponpes Nurul Qadim, KH Hasyim Mino. Saat wafat dalam usia 80 tahun, ia meninggalkan enam putra dan putri dari pernikahannya dengan Ny. Hj Ummi Salamah, serta ribuan santri.

Sepuluh tahun berlalu, namun sosok KH Nuruddin Musyiri terasa tetap aktual dengan kondisi kekinian. Sepak terjangnya dalam mengayomi umat, perhatiannya terhadap santri dan pesantren, hingga dedikasinya yang tinggi terhadap perjuangan politik menjadi teladan bagi generasi kini.

“Beliau figur yang lengkap. Multitalenta,” kata KH Hafidzul Hakim Noer, putra bungsu dari KH Nuruddin Musyiri kepada TIMES Indonesia.

Bagi pimpinan Majelis Shalawat Syubbanul Muslimin ini, KH Nuruddin merupakan sosok yang luar biasa dalam melayani umat, punya perhatian terhadap santri dan pesantren yang tanpa batas, serta punya dedikasi kuat dalam perjuangan politik.

Bagaimana sepak terjang KH Nuruddin Musyiri dalam melayani umat, santri dan pesantren, serta politik?

KH Nuruddin dilahirkan di Kecamatan Tanggul, Kabupaten Jember. Meski lahir di Jember, ia merupakan keturunan Batu Ampar, Pamekasan, Pulau Madura. 

Ia mulai menapaki tanah Probolinggo ketika nyantri ke KH Moh Hasan Genggong, atau yang dikenal dengan KH Hasan Sepuh Genggong.

KH Nuruddin belajar ke KH Hasan Sepuh Genggong di Ponpes Zainul Hasan, Kecamatan Pajarakan, Kabupaten Probolinggo. “Nyantri ke Kiai Hasan sepuh selama lima tahun. Kemudian ngaji ke KH Hasan Saifouridzall,” kata Gus Hafidz.

KH Hasan Saifouridzall sendiri merupakan putra dari KH Hasan Sepuh Genggong. 

Pengayom Umat

Seperti namanya, KH Nuruddin menjadi suluh bagi umat. Sebagai pengasuh pesantren, ia tak hanya mendidik santri dengan pendidikan agama, tapi juga mengayomi masyarakat.

Gus Hafidz mengatakan, setiap hari ayahnya menghadiri tiga hingga empat undangan masyarakat. "Itu tepat waktu semua. Sulit ditiru," katanya. 

Dalam sebuah sambutan di acara Ponpes Nurul Qadim sekitar tahun 2013, KH Nuruddin mengaku tak pernah menyerah untuk menghadiri undangan masyarakat, meski medannya sulit dan jaraknya jauh. 

Disebutkan, Kiai Nuruddin pernah menghadiri undangan di daerah pegunungan dengan medan terjal. Jalan menuju lokasi acara hanya bisa dilewati motor.

Lebarnya sekitar 1 meter saja. Salah satu sisi jalan itu adalah jurang dalam. Seorang yang menemani beliau kala itu mengeluh dan berjanji tak mau mendampinginya lagi menghadiri undangan di daerah pegunungan. 

"Mateh kok satiyah! (Saya bisa mati sekarang!)," keluh pria yang mendampingi Kiai Nuruddin saat itu, sebagaimana diunggah akun youtube FR Channel Media. 

Mendengar keluhan tersebut, Kiai Nuruddin berujar. "Berjuang mon takok ka mateh, ye tak deddih! (Berjuang kalau takut mati, ya tidak akan jadi berjuang). "

Tirakat untuk Santri

Sebagai pengasuh pesantren, KH Nuruddin punya perhatian yang tinggi terhadap santri. Ia kerap menjalani tirakat untuk kesuksesan santrinya. 

Gus Hafidz bercerita, ketika Ramadan tiba, ayahnya bisa menghatamkan Al-quran hingga 41 kali dalam sebulan. 

"Al-quran ada di mana-mana. Jadi ketika bosan (membaca Al-quran) di satu tempat, ya pindah ke tempat lainnya," kenangnya. 

Waktu antara Subuh hingga Dhuhur membaca 10 juzz. Kemudian waktu antara Dhuhur hingga menjelang Maghrib membaca 10 juzz lanjutannya.

Lalu waktu selepas Tarawih hingga tengah malam membaca 10 juzz. Selanjutnya, dari tengah malam hingga menjelang subuh membaca 10 juzz lagi. 

Gus Hafidz mengaku pernah bertanya motivasi dari ibadah yang tiada henti itu.

"Engkok embeh ka santreh. Sambih niat nerakateh santreh (saya khawatir ke santri. Sambil lalu niat nirakati santri, Red)," jawab KH Nuruddin, sebagaimana disampaikan Gus Hafidz. 

KH Nuruddin juga dikenal istikamah shalat berjemaah. Untuk menjaga keistikamahan tersebut, setiap kali pergi, KH Nuruddin selalu mengajak seseorang untuk menemaninya agar tetap bisa shalat berjemaah selama dalam perjalanan. 

Tidak Anti Politik

KH Nuruddin Musyiri bukanlah ulama yang jauh dari politik. Baginya, politik menjadi bagian dari perjuangan agama. Beliau pun tulus dalam berjuang.

Gus Hafidz bercerita, terkait politik, abahnya sering ditawari uang hingga jasa untuk pembangunan dan pengembangan Ponpes Nurul Qadim yang diasuhnya. Tapi semua tawaran itu ditolak.

Merasa aneh dengan penolakan sang ayah, alumni Ponpes Lirboyo, Kediri pada tahun 1996-2005 ini pun bertanya.

Anapah mak etolak, Ba? (Ayah, kenapa kok ditolak?)”

Ella, Cong. Karena deggik bekal deddieh hamba kebaikan. (Jangan, Nak. Karena nanti akan menjadikan (kita, Red) sebagai hamba kebaikan,” jawab KH Nuruddin.

Bagi KH Nuruddin, pemberian uang atau jasa akan membuat penerimanya terpenjara. Merasa tak nyaman untuk menasihati atau mengkritik pemberi uang/jasa bila melakukan kesalahan di kemudian hari.

Terkait dengan pilihan politik, lanjut Gus Hafidz, KH Nuruddin pernah mendapatkan ancaman pembunuhan. Mobil yang dikendarainya juga pernah dilempar batu.

“Tapi beliau tetap gigih dengan pendiriannya,” ujar Gus Hafidz kepada TIMES Indonesia.

Suatu saat, KH Nuruddin pernah mengunjungi Gus Hafidz yang tengah belajar di Yaman. Pria kelahiran Januari 1985 ini belajar di Yaman pada era 2006-2009.

Negara paling selatan di Jazirah Arab ini dikenal sebagai negara miskin. Politik dan keamanan juga kurang stabil.

Dalam kunjungan itu, KH Nuruddin mencecar putra bungsunya tersebut dengan serentetan pertanyaan berkaitan dengan penyebab kondisi Yaman yang memprihatinkan.

Kepada sang ayah, kala itu Gus Hafidz menyebut kondisi tersebut disebabkan oleh politik, perebutan kekuasaan, hingga stabilitas keamanan.

KH Nuruddin setuju dengan semua yang disebutkan putranya itu, tapi dengan tambahan:

“Bukan itu saja. Di sini menjadi seperti ini karena ulamanya hanya fokus berdakwah dan agama. Sedangkan negara tidak dipikirkan,” terang KH Nuruddin, sebagaimana diceritakan Gus Hafidz.

Pada kesempatan itu pula, KH Nuruddin Musyiri meminta putranya untuk tidak antipati terhadap ulama yang terjun ke politik. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Muhammad Iqbal
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES