
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bagi kita yang bergelut dalam kerja tim, maupun kerja kreatif yang membutuhkan tim solid, membangun kerjasama tentu saja membutuhkan seni tersendiri. Menumbuhkan simpati, visi dan gelombang semangat yang sama, tentu tidak sekedar rumusan logis, namun juga menjadi seni kepemimpinan. Lalu, bagaimana seni membangun tim kerja (teamwork) yang terdiri dari ragam generasi?
Tema yang ringan tapi cukup aplikatif bagi kita selaku pekerja dan para penikmat dunia HRD (Human Resource Departmen) dan manajemen. Bagi para manajer level menengah dan atas saya pikir tulisan ini bisa menggambarkan situasi kekinian kantor masing-masing.
Advertisement
Saya mencoba berpijak dari tingkat kepuasan kerja, menurut Susilo Martowardoyo 'kepuasan kerja pada dasarnya merupakan salah satu aspek yang mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya dimana ia akan merasa puas dengan kesesuaian antara kemampuan ketrampilan dan harapannya terkait pekerjaan yang ia hadapi'. Semakin puas pekerja dengan kondisi existing maka tingkat turn over juga semakin sedikit, walaupun variabel turn over terbesar tetap pada gaji dan take home pay karyawan.
Tantangan Kerja Tim
Realitasnya tingkat kepuasan kerja hari ini dalam tren yang menurun, ini dihadapi tidak hanya di dunia birokrasi [dalam hal ini, PNS dan BUMN]. Ranah swasta yang katanya menyenangkan pun juga terkena imbas serupa, bahkan di Amerika pun tingkat kepuasan kerja berada dalam titik terendah dalam dua dasawarsa terakhir. Tren penurunan tingkat kepuasan kerja ini tentunya dapat menimbulkan masalah di kemudian hari jika tidak dikelola dengan baik. Lalu, apa hubungan tingkat kepuasan kerja dengan Generasi X Y Z ? Mari kita lihat satu persatu.
Generasi X bisa kita definisikan sebagai generasi yang lahir pada kurun 1965-1980. Generasi X ini periode dimana orang mulai mengenal PC, Video Games, TV Kabel dan internet. Mereka mulai mulai mengenal musik rock punk, dan paham dunia pergerakan dimana pemberontakan terhadap sistem mulai jadi bahan pemikiran. Ciri yang menonjol dari generasi ini adalah kerja keras dan loyalitas, plus kemampuan adaptasi yang tinggi sehingga mereka bisa menyesuaikan diri dan tangguh menghadapi segala situasi.
Generasi Y sering dikenal dengan sebutan generasi millenial, secara periode generasi ini lahir antara 1980-1995. Pola generasi ini mulai dipengaruhi oleh teknologi komunikasi yang mereka pakai. Instan messenger, social media, game online menjadi bagian yang tak terpisahkan. Mereka mulai terhubung satu dengan yang lain secara online, eksistensi [terkenal] mulai menjadi kunci dimana youtube dan facebook menjadi saluran utama. Ciri utama generasi ini mereka lebih terbuka komunikasinya, pandangan politik dan sensitifitas terhadap isu-isu publik sudah jadi makanan keseharian.
Generasi Z disebut juga dengan iGeneration, mereka lahir di atas tahun 1995-2000an. Sejak lahir mereka sudah melek internet, smartphone, gadget canggih dan akses dunia maya sudah jadi bagian yang tak terpisahkan. Mereka cenderung multitasking dan mengkoneksikan semua aktifitas dalam satu waktu. Ada catatan pada generasi ini dimana mereka cenderung kurang berkomunikasi secara verbal, egoisme dan individualis lebih menonjol, dan biasanya cenderung instan dan kurang sabaran.
Terlepas perbedaan dan karakteristik khusus yang melekat, ada titik temu di antara 3 generasi tersebut yakni mereka sama-sama manusia. Jadi, pimpinan atau manajer selaku pihak yang mengelola aktifitas di tempat kerja bisa menggunakan pendekatan 'manusiawi' untuk mengelola tim multi generasi.
Untuk membuat senang para generasi X cobalah kita lihat beban pekerjaan mereka, kesesuaian antara target kerja dan benefit 'a la carte' menjadi parameter kunci. Sementara untuk membuat happy generasi Y sederhana saja, jujur dan terbukalah pada mereka, perlakukan mereka sebagai teman plus tingkatkan kompetensi pengetahuan teknologi di tempat kerja dan perangkat yang tersedia.
Sementara, generasi Z ini butuh pendekatan khusus. Atau, dalam bahasa sistem pola, yang harus dilakukan menggunakan pendekatan inklusif di mana kita harus lebih melihat secara individual dalam menyesuaikan ritme kerja dengan solusi yang sedemikian rupa.
Tentu, harus pula kita sadari ada yang selalu imanen dalam setiap komunikasi antar manusia. Yakni, empati, saling berbagi, tolong menolong, saling motivasi, dan kolaborasi akan tetap menjadi infrastruktur abadi dalam hubungan antar generasi. Semua yang sifatnya 'batiniah' akan tetap menjadi faktor kunci yang mampu menerabas lintas generasi, sebagaimana ungkapan para ahli hikmah 'al adabu fauqal ilmi' -- etika dan sopan santun itu mendahului ilmu dan pegetahuan.
Last but not least, dalam mengelola tim multi generasi keseimbangan antar generasi X, Y dan Z menjadi titik temu yang harus diperhatikan oleh semua pihak. Mari kita lakukan yang terbaik dalam porsi masing-masing, confidence without ego, dan mau untuk terus belajar serta meningkatkan kompetensi diri. Walaupun itu semua menjadi tantangan.
*Hasan Chabibie, Pengelola Pendidikan di Pesantren Baitul Hikmah, Jakarta.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Munawir Aziz |
Publisher | : Rochmat Shobirin |