Guru Yang Tidak Lagi Guru

TIMESINDONESIA, SUMENEP – ”GURU yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan Dewa dan selalu benar, dan murid bukan kerbau”. Itulah salah satu bait yang saya tangkap dari film Gie. Sebenarnya, saya ingin berlama-lama hingga tuntas nonton film tahun 2005 itu.
Bukan karena saya tidak pernah menonton. Pada tahun 2007 silam, saya pernah nonton bersama dengan teman-teman mahasiswa di Komisariat PMII Guluk-Guluk, Sumenep. Tapi waktu itu, saya belum suka nonton film.
Advertisement
Kini, bertepatan dengan Hari Guru Nasional 25 November 2016, ingin nonton kembali film yang disutradarai Riri Riza, dan dibintangi Nicholas Saputra yang berperan sebagai Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie dilahirkan di Djakarta, 17 Desember 1942 dan meninggal di Gunung Semeru, 16 Desember 1969 ketika masih berumur 26 tahun. Saya tidak begitu tahu tentang Soe Hok Gie. Buku catatan harian dia ”Catatan Harian Sang Demonstran” sudah tidak ada pada saya lagi. Dipinjam teman lalu tidak kembali.
Selama ini, guru selalu disanjung, dipuja dan dipuji. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Begitulah bahasa yang selalu dilontarkan untuk memuji dan menghormati guru. Apalagi, pemahaman kita, guru harus dihormati dan bahkan apapun perintahnya adalah kewajiban yang tidak bisa dibantah. Seakan titah guru adalah firman suci.
Sebaliknya, posisi murid atau siswa adalah objek. Murid harus mengikuti titah guru. Kebenaran ada ditangan guru. Murid tidak boleh membantah. Mengelak perintah guru adalah penghiatan. Instruksi guru adalah perintah raja. Jika menolak titah guru, nilai akan dikurangi, tidak naik kelas atau bahkan akan mendapat kekerasan, pukulan dan tamparan.
Suatu ketika, sewaktu saya duduk di bangku sekolah MA, saya memiliki teman kritis dan memiliki kemampuan diluar kemampuan teman-teman sekelas. Paling tidak, lebih cerdas dan pintar dibandingkan dengan saya. Setiap materi yang disampaikan oleh guru tidak sesuai dengan pikiran dia, pasti akan diprotes.
Namun, ke kritisan dia menjadi hilang setelah pada nilai ujian anjlok, jeblok dan turun drastis. Dengan kecerdasan dan kekritisannya, dia telah mempermalukan guru dalam kelas. Dasar guru pendendam, akhirnya nilai hasil ujian kelas pada rapor turun. Angka 9 menjadi 6. Semua materi pelajaran yang dipegang dia, nilai ujian menjadi turun.
Akhirnya, teman saya tadi tidak lagi berani memberontak, tidak lagi cerdas dan tidak lagi menyangkal dengan titah guru. Semua kata guru dia ikuti. Nah, kini nilai ujian di raport kembali naik. Sikap lugu telah menyebabkan nilai ujian pelajaran menjadi lebih baik.
Sikap berani membrontak pada kesewenang-wenangan, pada diri teman saya hilang. Sikap kritis yang selama ini tertanam, telah tumpul. Selain tumpul karena sifat dirinya yang bukan pemberani, juga telah ditumpulkan oleh guru kelasnya. Barangkali, dia lupa dengan Presiden Soekarno bahwa Indonesia menjadi bebas dan Merdeka karena keberanian Soekarno melawan penjajah, melawan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan.
Tetirah dari sang guru bukan lagi mengispirasi, sebaliknya justru menumpulkan daya imajinasi, kreatifitas. Guru berubah menjadi tongkat pukul atau penggaris yang membuat tangan merah. Lebih dari itu, menjadi semacam hantu menakutkan yang memaksa murid berselimut menggigil di kolong tempat tidur.
Lantas apa guna murid dengan keriangannya berangkat ke sekolah membawa pulpen, kertas dan gundukan cita-cita untuk dihaturkan ke guru? Barangkali guru perlu belajar mengidentifikasi ke-guru-annya, karena daya tawar guru bisa menjadi penyakit yang tumpul dan memandulkan.
Buang saja kurikulum basi yang tidak layak konsumsi itu, resapi masing-masing keunikan murid dan katakan, ”selamat datang para pelopor” seperti guru Laskar Pelangi. Guru bukan tumpukan buku berdasi dan bergincu menor.
Saya teringat kalimat Pramoedya yang tua itu, ”Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan,” sungguh manis bukan. Secara sederhana saya pahami bahwa kejujuran Pram tersebut harus dicecap baik-baik oleh guru sebagai manusia yang berpendidikan. Adil dalam arti yang sebenar-benarnya, proporsional.
Saya pikir proporsianalitas guru tidak harus memiliki kompetensi secara sungguh-sungguh dibidang yang ia empu, tapi harus mampu menciptakan suatu kondisi surgawi bagi para anak didik. Dimana murid bisa menaruh cita dan asa-nya, termotivasi dan bangga memiliki guru.
Ya, barangkali tidak banyak orang yang bangga kepada gurunya sendiri, bisa jadi saya juga demikian. Karena guru bukan lagi sebagai motivator ulung yang mampu menyihir para muridnya, guru bukan lagi guru yang asali.
Saya tidak punya solusi jitu untuk membalik keadaan ini, tapi setidaknya kita bisa menarik diri kita sendiri dari hiruk pikuk sistem dan kembali menjadi manusia bernurani. Yang memiliki cita dan mimpi-mimpi, kembali menjadi kecil. Karena guru sendiri adalah murid dari anak didiknya. Semoga kita bisa kembali bermimpi... Ah, andai saja. (*)
* Penulis Wartawan TIMES Indonesia di Madura
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |