
TIMESINDONESIA, MALANG – SETIAP orang menjalani hidup berdasarkan filsafat hidupnya. Sederhananya, masing-masing orang berpikir, bertutur dan tentu saja berbuat berdasarkan pandangan hidup atau prinsip yang selama ini dianggap benar.
Filsafat hidup inilah yang menentukan tujuan dan kualitas hidup manusia. Dengan demikian, tanpa prinsip, hidup adalah melangkah ke arah hilang arti, disorientasi; merapatkan damba pada sikap putus asa, binasa--mautun fi hayatih (mati justru selagi masih hidup).
Advertisement
Masih segar dalam ingatan kita betapa Michael E. Hart menempatkan Nabinda Muhammad Saw sebagai orang paling berpengaruh dari 100 tokoh dunia sepanjang sejarah.
Hal ini tentu saja tidak berlebihan jika ditelisik dari integritas moral dan rekam jejak perjuangannya yang masih berdenyut hingga kini ke seluruh penjuru bumi, bukan semata sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai teladan dan rahmat bagi semesta.
Telah jamak diketahui bahwa Kitab Suci merepostase akhlak Nabi Muhammad SAW, setidaknya beliau adalah pribadi dengan moralitas nan agung mempesona. Bahkan, untuk moralitas itulah, ia diutus, yakni memanusiakan manusia di satu sisi dan "memanusiakan" Tuhan di sisi lain--filsafat profetik.
Memanusiakan manusia adalah menjunjung tinggi kemanusiaan, memanusiakan Tuhan berarti memantulkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan. Inilah warisan terbesar sang Nabi. Lantas, bagaimanakah "jurus-jurus" beliau dalam membangun (ke)manusia(an) dan peradaban?
Saya ingin menempatkan jurus Nabi yang pertama adalah Jurus Tangan Kosong. Anda tahu, puncak ketajaman sebilah pedang bukan semata ketika menebas pohon, membelah bongkah batu atau bahkan baja tanpa menciptakan efek gerak sama sekali meski mata pedang telah melewatinya, dan beberapa detik kemudian batang pohon atau bongkahan batu tumbang dan terbelah. Bukan itu!
Aneh memang, justru helai rambut dan lembut kapas adalah ujian tertinggi bagi ketajaman pedang. Lho kok bisa? Bisa kok!
Mula-mula letakkan mata pedang menghadap ke atas, lalu jatuhkan kapas, jika arah kapas tak berubah ketika menyentuh mata pedang, tetapi kemudian terbelah, maka pedang sungguh-sungguh tajam. Demikian memang, kekerasan yang mencapai puncak menjadi kelembutan, dan kelembutan tak bisa dikalahkan oleh kekerasan.
Anda tahu, air nan tenang tak bisa dilukai pedang, udara yang lembut tak dapat ditusuk parang dan kelewang.
Tetapi, ketahuilah Kisanak! Seorang pendekar dengan pedang yang terhunus panjang adalah pendekar amatir. Makin sakti orangnya, makin pendek pedang dan tombaknya, makin digdaya sang pendekar, justru makin tak bersenjata alis tangan kosong andalannya.
Filosofi tangan kosong adalah tangan yang jujur apa adanya, tak menggenggam apa-apa, tak dibebani apa-apa. Seperti udara, tangan kosong tak punya musuh dan memang tidak cari musuh, karena segala jenis senjata akan gagal menusuk udara.
Sang Nabi tak bisa dilukai dan apalagi disakiti, sebab maafnya tak terperi, kebesaran jiwanya tak bertepi. Ia adalah sumur tanpa dasar, samudera cinta-kasih. Ia adalah moralitas itu sendiri. Dan, kita sepakat bahwa akhlak adalah puncak segala ilmu, senjata pamungkas.
Dengan jurus tangan kosong, Anda tak bisa dikalahkan oleh segala jenis senjata, sebab Anda adalah "senjata" Tuhan itu sendiri, dan Tuhan tak bisa dikalahkan (wa maa nahnu bi masbuqiin).
Dengan tangan kosong pula, Anda bebas dari segala tipu daya kaya-miskin, lolos dari semua perangkap jabatan dan obsesi duniawi. Inilah keteladanan sang Nabi yang patut kita warisi dan kita mewariskan ke setiap generasi di tengah gelegak zaman edan ini. (*)
*Penulis adalah Dhofir Zuhry, pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah, Presidium Ilmuwan Muda di Johann Wolfgang von Goethe-Univesität, Jerman. Buku terbarunya ORGASME akan terbit dalam 5 bahasa.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rochmat Shobirin |