Kopi TIMES

Arus Balik Kebijakan Ekonomi Indonesia

Rabu, 18 Januari 2017 - 06:16 | 86.63k
Miftahul Arifin (Grafis: TIMES Indonesia)
Miftahul Arifin (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – AWAL tahun 2017 mayarakat dikejutkan dengan kebijakan ekonomi pemerintah, dimana dalam paket kebijakannya menaikkan BBM non Subsidi, Tarif Dasar Listrik (TDL) bagi pengguna 900 VA dan kenaikan Biaya adiministarasi BPKB, STNK sebesar tiga kali lipat dari sebelumnya.

Hal ini sangat berimplikasi langsung dengan masyarakat khususnya masyarakat menegah kebawah. Kebiiakan ini tentu menimbulkan berebagai polemik ditengah masyarakat, dengan kenaikan BBM saja akan menyebabkan kesenjangan sosial semakin luas, apalagi ditambah dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik 900 VA yang penggunanya adalah masyarakat ekonomi kelas menengah kebawah.

Kebijakan pemerintah (Jokowi-JK) hari ini telah membuat kesenjangan semakin luas, jurang kemiskinan terus bertambah, masyarakat dibuat resah dengan situasi kebijakan paket ekonomi yang tidak pro rakyat kecil.

Teori lingkaran kemiskinan yang pernah dilontarkan oleh Ragnar Nurkse mengatakan bahwa Negara-negara berkembang miskin dan tetap miskin karena produktivitas kerjanya rendah.

Karena rendahnya produktivitas, maka penghasilan seseorang juga rendah, yaitu hanya cukup memenuhi kebutuhan konsumsinya yang  minim.  Oleh sebab itu mereka tidak bisa menabung karena pendapatan tidak berbanding lurus dengan pengeluaran.

Pada dasarnya tanpa kenaikan BBM, Tarif Dasar Listrik dan kenaikan Administarasi surat  kendaran bermotor dengan kondisi perekonomian Indonesia hari ini sudah tentu sangat memberatkan masyarakat, ditambah lagi minimya lapangan pekerjaandan dan upah yang tidak sebanding dengan beban kerja sudah dirasa cukup berat oleh masyarakat terus ditambah dengan kenaikan-kenaikan yang lain yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat.

Anehnya pemerintah dalam masalah ini seolah saling lempar tanggung Jawab. Jokowi mempertanyakan kanaikan tarif STNK tiga kali lipat, Kapolri mengatakan Kenaikan Biaya BPKB dan STNK bukan dari Polri dan Sri Mulyani juga mangatakan Biaya urus surat naik kendaran bukan usulan dari Mentri Keuangan.

Jika yang terjadi demikian terus siapa yang punya kebijakan menaikkan itu semua? Tidak mungkin masyarakat dan kaum buruh punya kebijakan itu. Tetapi yang jelas ini bukti dari ketidak becusan pemerintah dalam mengelola Negara.

Kebijakan yang dibuat pemerintah adalah cermin pemerintahan yang dikuasai antek  kapitalisme. pengaruh Cost Politik yang sangat tinggi menjadikan  pemilik modal diberi kekuasan mendanai perhelatan politik tanah air.

Akhirnya, bisa menggarap lahan strategis dipemerintahan, mereka mempunyai agenda terselubung yang ujung-ujungnya proyek APBD dan APBN. Kekusaan merupakan lahan empuk untuk berbisnis, kepentingan individu ataupun kelompok sangat tercermin dari pola pemerintahan Razim Jokowi-JK yang lebih mementingkan pemilik modal dari pada rakya atau dengan kata lain pelayan pengusaha daripada pelayan rakyat.

Maka tidak heran di era melenium ketiga ini siapapun bisa jadi apa saja, termasuk pejabat kalau sudah dikehendaki pengusaha dan penguasa politik dengan jaringan setannya. Entah itu preman, pelacur, ataupun bromocarak lainnya kalau sudah dikehendaki akan terjadi, ibarat di Negeri sulap yang dengan sekejab bisa jadi apa saja.

Kekuasan dan penegakan hukum dikuasai dan dipelaralat kekuatan-kekuatan modal (Capital Power). Nilai-nilai moral dan kemanusian tergerus oleh kepentingan politik yang berorentasi kekuasan dan material.

Bisa dibayangkan dalam sebuah Negara jika para penguasanya sudah kehilangan akal sehatnya dalam menentukan kebijkan, maka Negara tersebut kehilangan marwahnya sebagai Negara berdaulat.

Kalau boleh jujur para para pemilik modal bagaikan raja yang dengan leluasa mendekti penguasa dan mempermaikan hukum se-enaknya. Inilah yang dirasakan rakyat hari ini dengan kebijakan-kebijakan Jokowi yang mencerminkan  masih kuasai oleh kekuatan arus kapitalisme.

Terjebak Hutang Laur Negeri

Seperti kita ketahui bersama bahwa untuk keluar dari lingkaran kemiskinan Indonesia memerlukan modal dari Negara luar. Sejak masa orde baru Indonesia terjebak dengan pembangunan model kapitalis karena bertolak dari modal finensial.

Dalam konsep modal finensial ada dua bentuk yaitu hutang luar negeri dan investasi modal asing. Dalam konsep arsitektur perbangkan Indonesia yang disusun BI, Bank-Bank harus menanamkan modalnya secara mendadak, sehingga memicu terjadinya “Internasionalisasi” dalam dunia  perbankan Nasional.

Karena kebutuhan modal yang sangat besar perbankan Nasional tidak mampu menenuhinya, akhirnya yang terjadi melakukan marger atau dengan terpaksa menjual sahamnya ke pasar dunia yang dikuasai oleh Negara-negara kapitalis.

Kita telah melihat apa yang terjadi bahwa Bank-Bank Swasta Nasional terkemuka harus pindah tangan ketangan asing,seperti; Bank BCA, Bank Danamon dan Bank Niaga bahkan Bank BRI hampir terjual ke tangan asing seperti BUMN lainnya, Indosat dan Telkom.

Oblikasi (surat berharga) pun tidak lepas dari tangan asing, 70 persen saham dan oblikasi Indonesia dikuasai oleh asing. Apalagi sekarang ini Jokowi mengizinkan Asing memiliki properti di Indonesia dengan merevisi Peraturan Perintah (PP) Nomor 41 tahun 1996. Maka dapat dipastikan beberapa tahun yang akan datang penduduk asli Indonesia akan tersisih di Negerinya sendiri.

Melihat Indonesai yang belum terlepas dari hutang piutang luar Negeri, hegemoni kekuatan asing mencengkram Indonesia begitu kuat sampai tidak bisa keluar dari kungkungan dan intervensi ekonomi kapitalistik.

Pembangunan infrastuktur selalu mengandalkan investor asing jarang sekali investor lokal terlibat dalam pembangunan infrastuktur, entah mungkin Rezim Jokowi-JK Melihatnya investor asing lebih menjanjikan padahal sebenarnya akan berimplikasi waktu jangka panjang.

Dalam sistem ekonomi kapitalisme memberikan raung seluas-luasnya kepada yang kuat untuk menang yang pada akhirnya melahirkan praktek monopoli. Akibatnya pasar tidak berjalan secara baik dan sehat karena harga ditentukan dan didominasi oleh perusahaan, sehingga menyebabkan pendapatan yang tidak berimbang yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.

Hutang luar Negeri Indonesia terus bertambah, berdasarkan rilis beberapa media bahwa hutang luar Negeri di tahun 2016 mencapai 4.219 Triliun bertambah dari tahun sebelumnya.

Sungguh angka yang fantastik. Dengan dalih pembangunan infrastruktur dan difisit pendapatan pemerintah menganggap bahwa solusi terbaik untuk pembanguan adalah hutang luar negeri dan ini yang dilakukan razim Jokowi-JK.

Padahal masih banyak solusi tanpa harus melakukan hutang luar Negeri seperti apa yang dikemukan oleh Sjafruddin Prawiranegara untuk mengimbangi hutang luar Negeri yang begitu besar pemerintah bisa menciptakan anggara berimbang tanpa hutang luar Negeri karena penghasilan divisa dan penerimaan pemerintah migas mencukupi untuk membiayai anggran rutin maupun pembangunan dalam suatu anggaran yang ramping dan efisien alias pasak tidak lebih besar tiang.

Kembali Pada Ekonomi Kerakyatan

Munculnya Revolusi Industri memicu terjadinya paham sekularisme, sejak saat itu berkembang paham pemisahan agama dan Negara, mereka melihat keduanya tidak ada kaitannya,  bahka jika Agama dan Negara tidak dipisahkan akan rancu dalam sistem sosial masyarakat.

Agama dan Negara mempunyai kajian dan dunia masing-masing yang tidak mugkin disatukan. Pandangan sekularisme berkembang pesat di Negara-negara Eropa bahkan berpengaruh juga pada sistem perekonomian.

Pemisahan agama dan kehidupan ekonomi tidak datang begitu saja. Senada apa yang dikatakan Adam Smith bahwa sejarah perekonomian modern dan ekonomi konvensional serat dengan pesan moral spiritual. Ilmu ekonomi bagian dari moral sains.

Paham ekonomi kapitalis  dan paham ekonomi sosialis menempatkan manusia pada individualistik dan materialis, dimana keduanya sudah sangat jauh mempengaruhi perekonomian Indonesia, orentasi keduanya menempatkan manusia pada falsafah individualisme-liberalisme dan materialisme-sosialisme.

Akibatnya menciptkan dunia yang menempatkan manusia pada posisi diluar fitrahnya. Sebagai Khalifah fil Ardy manusia mempunyai peranan penting dalam sistem tata kelola sosial budaya dan ekonomi, oleh karena itu dimensi yang terdapat pada diri manusia harus berjalan seimbang antara spiritual dan sosial supaya tidak terjadi krisis dalam berbagai bidang kehidupan.

Pandangan kajian-kajian ekonomi tidak boleh lepas dari aspek spiritual, bingkai kajian ekonomi dalam perspektif agama akan lebih indah dan menarik karena akan melihat segala sesuatunya berdasarkan asas kemamfaatan bersama bukan hanya individualistik dan kelompok tertentu.

Kesadaran kolektif yang dipengaruhi oleh nilai spiritual akan mampu menjaga keseimbangan dalam tatanan sosial masyarakat. Apa yang dikatakan AM Syaefuddin yang dikutip dari Gunar Myrdal, Eugene Lovell, E.F. Schumacher mengutkan “Bahwa meniadakan hubungan kajian ekonomi dengan nilai-nilai moral humanis merupakan suatu kekeliuran yang besar dan tidak bertanggung jawab dalam menjaga keselamatan umat manusia.

Dalam kontek Indonesia salah satu tokoh yang menantang ekonomi kapitalis-liberalisme dan ekonomi sosialisme-marxisme  adalah Moh Hatta kedua sistem ekonomi tersebut menurutnya akan membawa manusia pada pendewaan dirinya (anthropo-centrism) sehingga menggeser peran Tuhan sebagai pusat dan penentu dalam kehidupan sebagaimana dalam paham ekonomi liberalism kapitalisme.  Bahkan mereka tidak mengakui eksistensi Tuhan.

Pembangunan ekonomi Indonesia harus kembali pada khittohnya  yaitu ekonomi kerakyatan. Ekonomi yang pembangunannya melibatkan masyarakat dengan tanpa mengesampingkan pasar.

Konsep ekonomi kerakyatan akan menyelamatkan Indonesia dari paham  ekonomi kapitalisme dan liberalisme yang selama ini telah menggurita dalam sistem perekonomian Indonesia. 

Kembali pada ekonomi kerakyatan akan menempatkan Indonesia pada ekonomi yang lahir dari budaya  bangsanya sendiri, karena dalam sejarahnya lahirnya ekonomi kerakyatan adalah jawaban dari  gagalnya konsep ekonomi sebelumnya yang mengesampingkan semangat egaliter Koperasi.  

Ekonomi kerakyatan sendiri menurut Fadli Zon sangat dipengaruhi oleh tiga jenis tradisi yaitu tradisi Minangkabau yang merupakan ciri khas budaya Indonesia, dimana Hatta lahir dan besar di Minangkabau, Tradisi Islam dan Tradisi Eropa.

Ketiga tradisi tersebut oleh Hatta  diramu sedemikian rupa sehingga lahir Konsep Ekonomi Kerakyatan dengan budaya asli Indonesia sebagai penguat dalam pembangunannya.(*)

*Penulis adalah Miftahul Arifin, Ketua HMI Cabang Malang Bidang Perguruan Tinggi, Kemahasiswaan dan Kepemudaan

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES