
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Salah satu kasus hukum yang terus diberantas namun tidak pernah hilang ialah kasus korupsi. Kasus hukum yang satu ini seperti tidak pernah ada matinya. Setiap tahunnya muncul dengan pelaku yang baru. Banyak koruptor yang telah masuk penjara seakan tidak membuat para koruptor yang lain takut.
Tindak pidana korupsi di Indonesia seakan menjadi hal yang lumrah terjadi. Hamper semua sektor lembaga tinggi Negara sarat dengan kasus korupsi tak terkecuali lembaga penegak hukum.
Advertisement
Kasus korupsi yang teranyar adalah kasus E-KTP. Tak tanggung-tanggung kasus ini dikeroyok puluhan pejabat tinggi Negara. Mulai dari eksekutif hingga legislatif. Kondisi ini tentu saja sangatlah memprihatinkan mengingat bangsa ini tengah berjuang bangkit dari keterpurukan ekonomi.
Tapi pada saat yang bersamaan, elit bangsa ini merongrongnya. Sebelum kasus E-KTP mencuat ke permukaan, bangsa Indonesia terlebih dahulu dikejutkan oleh sekandal Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Pasalnya, hakim MK yang seharusnya menjadi benteng terakhir penegakan hukum, malah tersandung kasus hukum.
Adalah sebuah ironi ditengah pemerintah berusaha untuk mengembalikan kepercayaan publik pada hukum, justru hakim MK tersandung sekandal kasus suap. Kalau kita kaji lebih prihal penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, ialah tidak lepas dari sistem penyelenggaraan negara yang amburadul, kompensasi PNS yang tergolong rendah, pejabat yang serakah, law enforcement tidak berjalan, hukuman yang ringan terhadap koruptor atau tidak adanya penegakan hukum yang tegas, pengawasan yang tidak efektif, tidak ada keteladanan pemimpin, dan budaya masyarakat yang sangat kondusif untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Penegakan Hukum Sebagai Problem
Apa sebenarnya yang terjadi dengan bangsa ini? Menurut hemat, saya yang menjadi problem adalah penegakan hukum itu sendiri. Mengapa? Karena penegakan hukum di negeri ini masih cenderung tebang pilih.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa vonis hukum tindak pidana korupsi yang terkesan tidak sebanding dengan perbuatannya. Kemudian, banyak kasus suap dan jual beli hukum di internal penegak hukum menjadi problem dasarnya.
Sehingga fenomena judicial corruption tersebut sudah pasti mempersulit proses penegakan hukum di Indonesia karena para penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktek korupsi. Dalam kondisi yang demikian, sehingga sulit diharapkan bisa ikut menciptakan pemerintahan yang baik atau good governance.
Penegakan hukum hanya bisa dilakukan apabila lembaga-lembaga hukum (hakim, jaksa, polis dan advokat) bertindak profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip good governance.
Kemudian, semboyan justice for all (keadilan untuk semua) telah didistorsi oleh penegak hukum menjadi justice not for all (keadilan untuk tidak semua).
Mengapa demikian, hal ini juga tidak bisa dilepaskan dari rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa dan advokat ) serta judicial corruption (korupsi di lembaga peradilan) yang sudah terlanjur mendarah daging sehingga sampai saat ini sulit sekali diberantas.
Prinsip equality before the law (kesamaan di depan hukum) tidak lagi menjadi roh penegakan hukum. Keberadaan hukum di negeri ini terkesan tajam kebawah kepada rakyat miskin tetapi tumpul keatas terhadap mereka yang mempunyai uang. Sudah lebih setengah abad bangsa ini merdeka, namun kasus hukum belum bisa diselesaikan dengan baik.
Penegakan hukum yang cenderung tebang pilih masih menjadi momok dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Padahal kita tahu bahwa penegakan hukum memiliki fungsi yang sangat krusial dalam menyelesaikan problematika sosial dan menciptakan kesejahteraan sosial.
Penegakan hukum yang lemah, secara tidak langsung berarti telah memberikan ruang pada oknum-oknum tertentu untuk melakukan kejahatan. Sebaliknya, jika penegakan hukum kuat dan tegas, maka tujuan berbangsa dan bernegara akan terwujud.
Sebab, dalam negara demokrasi, penegakan hukum merupakan hal yang sangat krusial. Dan Indonesia, merupakan negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Dimana hukum seyogianya senantiasa harus mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa, yaitu tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial.
Kembali Pada Roh Hukum
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan, tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Sudah saatnya bangsa ini kembali pada roh hukum itu sendiri.
Karena penegakan hukum yang berkeadilan akan menciptakan suasana masyarakat yang damai tenteram dan sejahtera. Hukum perlu dikembalikan kepada fungsinya yakni sebagai salah satu pilar demokrasi, dan bukan sebagai alat kepentingan pribadi.
Evaluasi dan reformasi yang subtansial mutlak harus dilakukan terhadap penegak hukum dan lembaga hukum. Karena penegakan hukum yang tidak bertumpu pada keadilan akan menjadi biang dari segala permasalahan disintegrasi bangsa.
Secara materil, hukum sebanarnya telah sesuai dengan kehidupan masyarakat. Tapi pihak-pihak yang berkepentingan baik secara politik, ekonomi seringkali memanfaatkan marwah hukum untuk melanggengkan misi kepentingannya.
Kemudian, perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran yang hierarki dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan moralitas ditubuh para penegak hukum.
Fungsi hukum perlu dikembalikan pada posisinya yakni sebagai pondasi tegaknya supremasi hukum yang akan bermuara pada kesejahteraan sosial dan kesetaraan hidup masyarakat.
Karena baiknya penegakan hukum di Indonesia, baik pula untuk bangsanya dan buruknya penegakan hukum di negeri ini, maka buruk pula konsekuensi yang akan diterima oleh masayarakat dan Negara. Wallahu A’lam(*)
*Penulis adalah Mushafi Miftah, yang kini aktif di Commonity Of Critical social reserach dan Pengajar Metodologi Penelitian Hukum di IAI Nurul Jadid
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Sukmana |