Kopi TIMES Indonesia Mencari Kota Santri

KH Hasyim Muzadi: Penghulu Kaum Santri dan Abangan

Senin, 03 April 2017 - 22:17 | 120.81k
Wahyu Widodo, Protolan Santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Wahyu Widodo, Protolan Santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
FOKUS

Indonesia Mencari Kota Santri

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Dari hati ke hati kita sandingkan gema “Allahu Akbar” dan pekik “Merdeka” dalam satu tarikan nafas” (Hasyim Muzadi, 2004).

Kiprah Hasyim Muzadi banyak diulas oleh pelbagai sarjana lintas disiplin, baik ihwal keseharian (bahasa humoris, organisatoris, pengasuh pesantren) hingga pemikiran moderatnya di aras internasional. 

Advertisement

Tulisan ini akan mengulas warisan pemikiran Abah Hasyim (selanjutnya disebut AHM) --  adalah panggilan khas santri-santri beliau. Secara literal, ia bermakna ‘Bapak kami’ atau pengasuh dan pengayom kami,sedangkan santri diibaratkan sebagai anak-anaknya--yang mencoba menyatukan dua kelompok besar di Indonesia, yakni kaum santri dan abangan. 

Gagasan ini pernah di-ikhbar-kan (launching) tatkala beliau berdampingan dengan Megawati pada Pilpres 2004 yang berlaga melawan SBY-JK. Karena kekurangan suara, ide  ini kandas bersamaan dengan kekalahan mereka pada palagan pilpres 2004.

Padahal ide besar ini menarik untuk diteruskan dan diupayakan oleh generasi yang akan datang. Selain itu, kekalahan Mega-Hasyim pada pilpres 2004 adalah penanda penting kalis dan luluhnya politik aliran-- konsep aliran diciptakan oleh Antropolog Clifford Geertz untuk menggambarkan struktur sosial dan politik desa di daerah etnis Jawa pada awal zaman kemerdekaan. Geertz tinggal di Pare, Jawa Timur, selama dua tahun, 1952-1954.

santri3iDtc.jpg(ILUSTRASI: Santri. (Foto: Dok/TIMES Indonesia)

Istilah aliran diperkenalkan kepada dunia ilmiah pada 1959 dalam tulisan yang berjudul The Javanese Village (Desa Jawa), yang diterbitkan dalam sebuah buku, “Local, Ethnic, and National Loyalities in Village Indonesia” (keterikatan local, etnis, dan nasional di Indonesia Pedesaan). 

Ringkasnya, aliran menuntut pola-pola yang tetap (fixed pattern), pola politik nasional yang ajeg supaya hubungan sosial mereka lebih teratur (Liddle,2000:138-140) --, dan kemenangan gerakan populisme hingga sekarang (Mujani, 2015). 

Dikotomi Santri dan Abangan

Diskursus santri dan abangan telah dipaparkan oleh Geertz (1960) melalui studi yang mendalam dalam Religion of Java. Studi ini sebenarnya mencoba memetakan kecenderungan politik masyarakat Jawa secara antropologis menjelang Pemilu pertama pada tahun 1955. 

Geertz (1960:126-127) memerinci perbedaan santri dan abangan, salah satunya santri mempunyai kecenderungan mementingkan dokrin dan ritual (syariah), sedangkan abangan lebih mengutamakan kedekatan ruhani melalui serangkain kegiatan tradisi: slametan, bersih desa, dan lain-lain.

Kecenderungan pilihan politiknya pun berbeda, santri lebih berafiliasi ke NU, Masyumi, sedangkan abangan kecenderungan berafiliasi ke PNI dan PKI. Ricklefs (2007), dalam Polarizing Javanese Society: Islamic and Other Visions (C. 1830-1930), mengatakan bahwa polarisasi itu terus terjadi bahkan hingga mencapai titik klimaks pada peristiwa 1965. 

Studi teranyar juga mengatakan bahwa kontestasi santri dan abangan masih berlanjut di pedesaan Jawa (Permana, 2010), dan “ketegangan antara santri dan abangan masih tersisa” (Yulianto, 2013).

Atas dasar kesadaran sejarah itulah AHM-- tokoh yang hidup dalam peralihan zaman (akhir 1966, dan peralihan Orba ke Reformasi), maka kesadaran sejarah republik ini tertanam kuat, termasuk hubungan mesra PNI dan NU sebelum 1945 maupun pada masa Demorasi Terpimpin (kemungkinan) mempengaruhi pemikiran AHM. 

Selain itu, pada tahun 1970an AHM memiliki hubungan dekat dengan kelompok nasionalis, misalnya AHM sering mengisi acara di GMNI dan dekat dengan pengurus PDI di Kota Malang--pada pemilu ingin mencoba mengikis dikotomi tersebut sebagaimana tertuang dalam Pidato Deklarasi Capres dan Cawapres PDIP tertanggal 6 Mei 2004 berikut kutipan lengkapnya:

“Sebagai seorang agamawan sekaligus pengasuh pesantren, saya bertekad agar bergabungnya Ibu Megawati dengan saya merupakan bagian dari proses pengikisan dikotomi santri-abangan. Kita mengetahui bahwa sebagian besar warga PDIP adalah orang Islam Pedesaan. Sementara warga NU-pun kebanyakan tersebar di desa-desa, termasuk para ulama, sehingga bergabungnya Ibu Megawati dengan saya bukan hanya berorientasi pada pembentukan struktur pemerintahan, tetapi juga bertujuan memperkuat kultur yang lebih menjamin kokohnya persatuan di kalangan rakyat Indonesia (Muzadi, 2004:7)”.

situbondo-kota-santriKOTWs.jpg(ILUSTRASI: Santri. (Foto: Dok/TIMES Indonesia)

Secara gamblang, AHM menjelaskan bahwa pencalonannya tersebut mempunyai misi yang luhur,yakni tidak hanya sekedar merebut kekuasaan, tetapi juga mengikis dikotomi santri versus abangan. Selain itu, dalam ceramahnya beliau menggunakan istilah umatan ijabah untuk merujuk santri, dan umatan da’wah untuk merujuk abangan (pendukung Megawati). 

AHM merepresentasikan dirinya sebagai keterwakilan kaum santri, sedangkan Megawati representasi kaum abangan. Kalangan santri disebut umat ijabah karena mereka telah lebih dulu menerima  ajaran Islam dan melaksanakan doktrin Islam dalam keseharian. 

Maka, orang yang sudah tercerahkan berkewajiban menuntun kaum yang belum tercerahkan tersebut, yakni kaum abangan sehingga  mereka disebut dengan kaum da’wah—sekelompok masyarakat yang membutuhkan uluran pencerahan Islam. 

Mengapa ide besar ini kandas, dan bahkan tidak ada upaya untuk melanjutkan? Padahal belum tuntasnya pembangunan Indonesia saat ini bersumber dari dua aliran besar ini belum guyub.

Misalnya, belum tuntas dan terbengkalainya rekonsiliasi peristiwa1965, toleransi antar-umat beragama yang hari ini mencapai kadar yang rawan-mengkhawatirkan, hubungan agama formal dan aliran kepercayaan di Indonesia, dan masih banyak lagi.

Untuk menjawab ini, setidaknya ada dua alasan: pengikisan dikotomi santri dan abangan memang mendapatkan momentumnya pada pilpres 2004, tetapi basis kultural yang pernah mempunyai luka lama tidak bisa dikawinkan dengan serta-merta apalagi dengan waktu singkat tatkala kampanye pilpres.

Perkawinan itu membutuhkan syarat (condition sine qua non), setidaknya, antar-keduanya saling menghargai bagaimana kalangan santri menghargai tradisi yang dianut oleh abangan, dan santri mulai menengok kearifan lokal dalam kitab primbon misalnya.

santri-2nbVF4.jpg(ILUSTRASI: Santri. (Foto: Dok/TIMES Indonesia)

Sebaliknya, abangan harus juga menghargai syariat kaum santri, misalnya, salat. Tidak malah diejek: “senthak-senthuk koyok senam wae”. Ejekan ini umum dilakukan abangan pada santri karena abangan lebih memilih ibadah yang soliter melalui manekung (meditasi). 

Alasan kedua, gagasan besar tersebut tidak dilanjutkan pada tataran operasional praktisnya. Hal ini jamak-lumrah kita temui bahwa kekurangan Kiai dan Pesantren seringkali memiliki ide besar, tetapi kebingungan untuk diterjemahkan dalam langkah praksis.

Hal itu disebabkan karena Kiai dan Pesantren tidak memiliki laboratorium gagasan—tempat mengolah pikiran yang bersifat abstrak untuk diturunkan dalam tataran praksis--. Warisan pemikiran yang belum purna ini menjadi tanggungan santri dan anak ideologis AHM untuk mewarisi gagasan besar ini, dan menuntaskan serta memurnakan pada masa yang akan datang. Tidak menutup kemungkinan ke depan ada pesantren yang mengkaji Serat Gatolotjo dan Darmogandul dengan ditembangkan layaknya bait-bait Alfiyah dan Imrithi dengan bahar yang runtut nan indah.

Sebaliknya, orang Kejawen menghayati dengan khusuk aforisma-aforisma Ibnu Athoilah dalam Kitab Al-Hikam sebagaimana kekhusukan mereka mengkidungkan puja-mantra dan puja-samadi.

AHM: Penghulu Kaum Santri dan Abangan

Apa yang bisa dipetik dari pemaparan di atas, AHM berpikiran sintetik dan ekletik. Hal ini terefleksikan dalam langkah konkret. Misalnya AHM ingin mengkawinkan Pesantren Mahasiswa dan Ma’had Aly. 

Pesantren mahasiswa berasal dari mahasiswa umum non-keagamaan yang masih minim pengetahuan agamanya, sedangkan Ma’had Aly berasal dari Pesantren Salaf yang dalam kategori mumtaz (pengetahuan nahwu dan shorf-nya mumpuni, dan wawasan fiqhnya lengkap). 

Keduanya disatukan dalam satu pesantren agar keduanya saling belajar.Pola pikir yang sintetik dan ekletik ini pula, kemungkinan, yang mendorong AHM mengkawinkan santri dan abangan. Sayangnya, penghulunya sudah ada, tetapi pengantinnya enggan untuk berumah tangga.

Selamat beristirahat dengan tenang Abah seraya mendengarkan para santrimu mendaras Kalam Tuhan dengan cengkok yang indah, dan engkau lelap dalam larut dzikir yang khidmat.

Izinkan kami menuntaskan darmabaktimu. Lahul fatihah…. (*)

*Penulis adalah Wahyu Widodo, Protolan Santri Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang 2002-2006, dan peneliti pada Pusat Studi Pesantren dan Pemberdayaan Masyarakat (PSP2M) Universitas Brawijaya.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES