Kopi TIMES

Tuhan Tidak Berjudi

Rabu, 31 Mei 2017 - 10:21 | 35.62k
 Ach Dhofir Zuhri, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi Malang
Ach Dhofir Zuhri, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi Malang
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Merupakan kompensasi paling indah dalam hidup bahwa tidak ada manusia yang secara tulus mencoba menolong dan melayani orang lain tanpa menolong dan melayani dirinya sendiri. Bagaimana tesis itu bisa dibuktikan kebenarannya? 

Jika Anda seorang pendidik (misalnya), apa yang mula-mula Anda siapkan sebelum mengajar? (1) Menyiapkan materi atau bahan ajar, otomatis Anda menggali dari banyak sumber dan literatur. Lalu, untuk meningkatkan kepercayaan diri, (2) Anda melatih dan mempraktikkan bahan ajar itu untuk diri Anda sendiri agar tersimpan dalam alam bawah sadar.

Advertisement

Akhirnya, Anda mendapat tiga keuntungan sekaligus dengan (3) berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada murid-murid Anda yang tanpa Anda sadari mereka telah terinspirasi dan termotivasi untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Lantas, apa substansi dari kebaikan? Atau sebaliknya, apakah kebaikan yang paling substansial?

Sebuah seruling bukanlah seruling sebelum ditiup, pun juga lonceng bukanlah lonceng sebelum Anda membunyikannya, demikian pula lagu, ia bukanlah lagu sebelum dinyanyikan dengan merdu, cinta yang bertakhta di sanubari Anda tidak untuk didiamkan begitu saja, sebab cinta bukanlah cinta sebelum Anda memberikannya pada yang lain.

Praktis, kita selalu dan akan terus butuh orang lain sebagai obyektivasi cinta, bukan karena mereka adalah orang lain, justru karena mereka adalah kita. Bukankah tak jarang kita merasa asing dengan diri kita sendiri, seolah kita mendapati diri sendiri sebagai orang lain, lantas? 

Gott würfelt nicht, demikian surat Albert Einstein kepada Niels Bohr pada 4 Desember 1926. Artinya, Tuhan tidak bermain dadu, Dia bukan Penjudi—yang mempertaruhkan diriNya dan atau nasib ciptaanNya demi ambisi tertentu. 

Tuhan adalah keniscayaan yang pasti, bahkan Ia adalah kepastian itu sendiri. Dan, kabar baiknya, manusia bisa mendekatiNya dengan akal budi, dengan saintek dan pencapaian ilmiah rasional mutakhir lainnya. 

Demikian memang, Kitab Suci melarang segala bentuk perjudian, meski manusia sangat maniak dan keranjingan. Nasib sengaja dipertaruhkan dan dilotre, Anda tentu masih ingat bagaimana Drupadi rela telanjang sebagai taruhan judi dalam kisah epos Mahabharata.

Eksesnya, berjibun-jibun pemalas akut dan pengkhayal yang kronis terus lahir di meja judi, lebih-lebih kalau perjudian itu terjadi di gedung-gedung parlemen, di mana nasib 255 juta rakyat Indonesia sangat bergantung. Inilah white colour crime (kejahatan kerah putih), kejahatan para elit politik yang kerap mempertaruhkan nasib rakyat demi perut dan kelamin meraka sendiri.

Nah, jika cinta bukanlah cinta sebelum kita memberikan pada yang lain, bagaimana dengan gelombang ujian? Bukankah Tuhan—demi stabilitas dan dinamika sunnahNya—juga dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap segala bentuk ketidakadilan yang menggunting pun juga kesenjangan dan kekacauan yang di mana-mana kian meruncing? Belakangan, pandangan jagad manusia memberi justifikasi bahwa itu semua adalah ujian, cobaan dari Tuhan.

Dan, sayangnya ujian tak pernah selesai, terus menjalar, bak cendawan di musim hujan. Lulus dari satu ujian, cobaan yang lebih berat telah menanti-manantang. Semantara itu, acapkali kita dapati bahwa Tuhan tidak berpihak pada kaum tertindas, Ia seakan tutup mata pada mereka yang justru menghamba dan relijius. Tak jarang, Tuhan malah memberi kemenangan kepada para bandit dan garong, ini juga ujian?

Dalam hemat penulis, sebenarnya Tuhan tidak menguji hamba-hambaNya, justru Dia menginginkan manusia agar terus menempa dan senantiasa membangun diri. Ujian adalah hadiah dari Tuhan sebagai pendewasaan diri dan kematangan sikap. 

Nah, jika Tuhan telah mengetahui—bahkan Maha mengetahui—hasil akhir atau nilai seorang hamba, mengapa Ia masih perlu menguji? Bukankah ini perbuatan yang sia-sia? Bukankah dengan rentetan ujian justru akan semakin banyak spekulan pan penjudi dadakan? Tidak, Tuhan tidak sedang menguji makhluk-Nya, Dia (dengan ujian itu) hanya ingin kita melihat dan menyaksikan sendiri kualitas diri kita. Kalau buruk segera lakukan perbaikan, dan jika ternyata baik ditingkatkan. Rupa-rupanya ciri pribadi yang visioner adalah dia yang cepat meninggalkan keadaannya saat ini.

Jika demikian, apa bedanya penjudi dengan petarung? Bukanlah keduanya sama-sama menghasrati kemenangan? Hm, petarung dan pekerja keras cenderung mengejar cahaya dengan menempuh bahaya, tetapi penjudi hanya mengejar bayangan dan kepalsuan belaka. 

Pada episentrum ini, mengapa justru para pemuka agama, pseudo ulama dan pejabat publik yang gelap mata dan terus berlomba memperbudak diri? Apakah mereka juga penjudi? Itu pertanyaan yang sulit dihindari!

Apakah Tuhan (berjudi dengan) menciptakan kegelapan? Tidak, Tuhan hanya menciptakan cahaya, kegelapan ada karena manusia malas dan lalu gagal menggapai cahaya, menggamit pencerahan. Tuhan hanya menciptakan cinta, lantas benci itu ciptaan siapa, bikinan China? Kebencian adalah gelar bagi cinta yang disakiti, kasih yang dicederai. 

Nah, dengan memberi dan menyebarkan cinta, Anda tidak hanya membantu orang lain untuk menemukan cahaya, tetapi pada saat yang sama, Anda telah menyelamatkan diri sendiri dari gulita. Benarkah?

Ada dua cara untuk menyebarluaskan cahaya, yakni dengan menjadi lilin atau menjadi cermin yang memantulkannya. Kabar baiknya, Anda bisa menjadi keduanya. Anda bisa menggunakan kekuatan cinta untuk diri Anda sendiri seraya menciptakan mata rantai yang menghubungkan Anda dengan manusia dan semesta melalui cinta universal, kebaikan, kasih dan penghargaan terhadap segala perbedaan. Kepada meraka yang berbeda dengan kita, biarkan mereka riang gembira dengan warnanya masing-masing! Anda tidak perlu menjadi penjudi dengan menghakimi mereka.(*)

*Penulis, Ach Dhofir Zuhri, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Sukmana

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES