
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Waktu adalah uang, ia bahkan sama sekali jauh lebih berharga dari sekadar uang. Jika demikian, memberi waktu adalah memberi uang, memberi harapan, memberi hidup, memberi kasih, memberi elan dan etos, juga eros. Memberi waktu adalah memberi perubahan, memberi perubahan adalah memberi kebahagiaan, memberi kebahagiaan adalah menghadirkan Tuhan dalam tiap jengkal kehidupan.
Kebanyakan dari kita masih menganggap bahwa sang waktu itu polychronic alias terjadi berulang-ulang dan terus menerus oleh karenanya kita sering menunda-nunda: "Ah baru pukul 8, nanti saja jam 11; hari ini selasa, pekan depan juga masih ada hari selasa kok, santai saja, jodoh tidak ke mana!" Apakah skenario itu terdengar akrab bagi Anda? Tiba-tiba Anda mendapati diri Anda jomblo seumur hidup.
Advertisement
Waktu tidak polychronic, tetapi monochronic, ia hanya terjadi sekali, selesai, dan berganti waktu yang lain. Hari ini sabtu, bulan depan dan tahun depan juga ada sabtu, bahkan sejak ribuan tahun lalu, hari sabtu akan terus ada sampai Kiamat, tetapi sabtu tidak pernah sama, ia datang dengan peluang dan kesempatan berbeda.
Bukankah filsuf Yunani Herakleitos mengingatkan bahwa matahari itu baharu setiap hari, matahari selalu terbit dengan sinar, semangat dan harapan yang terus membaru. Pendek kata, manusia harus membiasakan diri dengan perubahan-perubahan. Jika waktu adalah keniscayaan, maka perubahan adalah satu kepastian. Jika Anda tidak melewati waktu, Anda akan dilewatinya begitu saja. Pada episentrum ini, waktu betul-betul membunuh siapapun yang lalai dan abai.
Sehari semalam atau 24 jam atau 1440 menit alias 86.400 detik acap kali kita sepelekan dengan menghabiskannya secara mubazir, sia-sia dan percuma. Padahal, dalam pandangan Tuhan, sehari sama dengan seribu tahun.
Betapa meruginya manusia yang tidak memanfaatkan waktu—bukan hanya sebaik mungkin, tetapi juga—untuk hal-hal terbaik. Apa sebab? Waktu sedemikian relatif, nilainya bisa sangat rendah dan tak berguna (useless) atau malah sebaliknya sangat mahal tak ternilai (priceless).
Mau bukti? Menunggu antrian kemacetan atau menunggu 5 menit di lampu merah terasa 5 tahun, sementara 5 jam bertapa di depan Bunda Miyabi serasa 5 menit saja, tetiba celana telah banjir.
Tetapi, abaikan soal bunda Miyabi dan ustadzah-ustadzah selangkangan lainnya yang amat digandrungi anak-anak muda milenial dan atau bocah tua nakal. Mari ikuti sejenak cerita pengantar buka puasa ini.
Al-kisah, seorang bocah jenius 10 tahun dengan khidmat mengikuti ayahnya untuk melaksanakan shalat Jum'at di masjid Baghdad setelah menempuh perjalanan jauh dari Rayy, Teheran, Iran (dahulu Persia). Duduk di shaf terdepan, anak kecil itu sangat terkesan dengan khutbah sang Khatib tentang kedermawanan.
Segara setelah usai shalat dan munajat, ia lari menghampiri sang Khatib: "terima kasih atas khotbah yang mencerahkan, tetapi bisakah kita memberi tanpa uang?" Dengan senyum hangat, sang Kiai menjawab, "Nak, pertama-tama saya ingin berterima kasih karena di usia belia, kau sudah ingin memberi dan berbagi. Itulah akhlak para Nabi, yang dengan niat itu saja berarti kau telah memberi."
Ketika bocah lugu itu bertanya apa maksudnya, sang Imam kembali menjelaskan, "kenyataan bahwa kau telah berpikir untuk memberi, kau telah diridhai Tuhan, Nabi dan para kekasih-Nya. Yang Mahakaya akan membuka banyak pintu, yang semakin kau memberi, semakin banyak kau mendapatkan, yang kau berikan takkan pernah habis dan hilang!" Lagi-lagi anak kecil itu mempertanyakan bagaimana caranya, tak terasa dialog mereka ini ditonton orang banyak, disimak oleh khalayak, orang-orang mengurungkan niatnya untuk beranjak.
"Berikan waktumu, Ananda. Waktu lebih berharga dari segala jenis harta yang kita peroleh dari bertani, berdagang dan menambang. Berikan waktumu dengan cara mendengarkan orang-orang yang sedang butuh teman, kesepian di tengah ramainya hidup ini."
"Caranya?"
"Pertanyaanmu adalah pertanyaan para filosof, Nak. Semoga kelak Tuhan menganugerahkan hikmah (filsafat) melalui akal dan hatimu. Begini, Anakku, sesekali datanglah ke Rumah Sakit, ajaklah para pasien berbagi kisah meraka, dengarkan dengan khidmat, simaklah baik-baik, suapi salah seorang dari meraka, seka keringat mereka, layani pasien-pasien lepra, campak, cacar dan kusta itu sebagaimana kau ingin dilayani jika sakit, sebab mereka sudah tidak butuh uang, mereka hanya butuh kesembuhan, lebih dari itu mereka butuh teman. Tuhan memberkatimu, Nak!"
Setelah berterima kasih dan cium tangan, anak kecil itu segera menghambur mengajak orang tuanya ke Rumah sakit. Di sana, sang bocah meminta diantarkan menuju bangsal pasien-pasien yang sudah kronis dan pengidap penyakit yang akut.
Ia segera mendekati perempuan tua, menyalami dan duduk di sampingnya. Wanita tua itu menangis tersedu-sedu, terisak menumpahkan endapan-endapan tangisnya dari masa lalu. "Ceritakan kepadaku mengapa engkau menangis, Nek?"
Sembari mengelus kepala sang bocah, Nenek itu mulai bercerita, "Aku menangis bahagia, Nak. Tuhan telah mengabulkan doaku tadi malam. Aku memohon agar Tuhan mengirimkan seorang kekasih-Nya untuk menemani dan menghiburku pada saat-saat terakhirku sebelum meninggal.
Dan, benar saja, Dia mengirimmu ke mari. Aku sangat beruntung, Nak. Kaulah malaikat yang menampakkan diri." Kedua manusia itu berpelukan erat, terisak dalam tangis yang berat, bersyukur sembari menghayati dan menyelami makna air mata.
Keesokan harinya, ia bergegas mengunjungi perempuan tua itu lagi, sayangnya perawat Rumah Sakit mengabarkan bahwa wanita uzur itu telah berpulang ke hadirat Tuhan, meninggal dengan senyum paling indah subuh tadi, sembari menitipkan sepucuk surat untuk sang bocah ajaib. Sambil tertunduk lunglai, karena merasa bersalah tak sempat lama melayaninya, ia membaca surat itu: "Untuk temanku satu-satunya, terima kasih telah mencerahkan hidupku, terima kasih telah meluangkan waktu yang paling berharga, terima kasih karena menjadi jawaban dari doa-doaku. Tuhan memberkatimu, Nak."
Kini, bocah 10 tahun itu telah mendapatkan kebaikan berupa doa sang Khatib/Imam dan perempuan tua hanya dengan bertanya (ilmu) dan melayani (amal). Ia bertanya tentang ilmu kepada sang Imam dan lalu mengamalkannya kepada pasien tua. Inilah cara sederhana mendialogkan ilmu dengan kehidupan. Sang Bocah, Imam, dan Pasien tua terhubung dalam enerji bernama cinta: cinta untuk berbagi, berbagi waktu.
Nah, siapakah bocah jenius itu? Dia adalah Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi atau dikenal sebagai Rhazes di dunia Barat, filsuf Islam, bapak rasionalisme, dokter, ahli farmasi, kimiawan, penyair, ilmuwan dan sarjana yang sangat prolifik, wafat pada 313 H/925 M.
Kemudian, siapakah Imam/Pengkhotbah itu? Ia adalah Hunayn bin Ishaq, gurunya ar-Razi di bidang kedokteran. Karya-karya monumental ar-Razi antara lain: Kitab Al-Hawi, al-Judari wal Hisbah, Doubts of Galen, La Médicine Spiritualle, dll. Selama menjadi dokter dan direktur Rumah Sakit al-Muqtadari Baghdad, ia tidak pernah memungut biaya dari semua pasien.
Banyak pandangan-pandangan visionernya yang disalahmengerti, misalnya teori lima kakal dan pemikirannya bahwa tanpa wahyu dan Nabi pun manusia bisa mencapai Tuhan dengan akal budinya. Kelak, para faylasuf yang datang kemudian sangat terinspirasi olehnya. Memang, sedikit keharuman selalu menempel pada tangan yang memberi mawar, sementara durinya hanya akan dimiliki oleh para pembenci.(*)
*Penulis, Ach Dhofir Zuhri, Ketua Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi Malang
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Ahmad Sukmana |