Kopi TIMES

Toleransi sebagai Gaya Hidup Muslim

Rabu, 28 Juni 2017 - 12:03 | 173.35k
Rachmat Kriyantono, PhD
Rachmat Kriyantono, PhD
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Allah berfirman di QS 2: 213: “Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu, (setelah timbul perselisihan) Allah mengutus para nabi menyampaikan kabar gembira dan peringatan. Dan diturunkan-Nya bersama mereka kitab yang mengandung kebenaran untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.

Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri.

Advertisement

Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”

Satu umat: Satu ajaran dan satu jenis penciptaan

“Umat yang satu” dapat bermakna dua, yakni (1) Umat satu keturunan, seperti tampak dari makna QS 49:13, yakni manusia diciptakan dari seorang laki-laki (Adam a.s) dan seorang perempuan (Hawa) untuk menjadi berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar dapat saling mengenal satu sama lain.

Tafsir Ibnu Katsir (h. 495-496) menyebut manusia diciptakan dari satu jiwa, yakni Adam dan Hawa. Dari sisi ketanahannya dan dari sisi kemanusiaannya, manusia sama dengan Adam dan Hawa.

“Allah membuat sebaik-baiknya segala sesuatu yang Dia ciptakan dan Dia memulai penciptaan manusia dari tanah” (QS As-Sajadah: 7; Baca juga Thaha:55).

Tetapi, manusia bertingkat-tingkat dari sisi keagamaan, yakni ketaatan kepada Allah dan kepatuhan kepada Rasul. Penciptaan manusia dari diri yang satu (Adam) dan pasangannya (Hawa) juga dijelaskan di QS 4: 1. (2) Umat satu ajaran, seperti disebut di QS 2: 213 di awal tulisan ini.

Tafsir Ibnu Katsir (h. 410-411) menjelaskan makna “manusia itu satu umat”: Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa antara Adam a.s dan Nuh a.s berselang sepuluh generasi, semuanya berpegang syariat Islam.

Kemudian umat berselisih, juga ada yang beribadah pada berhala, patung, dan menciptakan sekutu-sekutu selain Allah, sehingga Allah mengutus para nabi untuk memberikan kabar gembira dan peringatan (baca juga QS Hud, 11: 2).

Sehubungan dengan Firman Allah: “Manusia itu adalah umat yang satu”, Abdur Razzak berkata: Mu’ammar memberitahukan kami, dari Qatadah:

“Mereka semua dalam petunjuk kemudian berselisih, maka Allah mengutus para nabi, nabi yang pertama kali diutus adalah Nuh a.s.” Umat manusia pada saat itu menganut agama yang dibawa Adam a.s, tapi akhirnya mereka menyembah berhala, maka Allah mengutus Nuh a.s kepada mereka. Karena itu, Allah menurunkan Surat 2: 213 di atas.

Terkait QS Al-Isra’: 17: “Dan berapa banyak kaum setelah Nuh yang telah Kami binasakan..” (Artinya, kaum-kaum itu ingkar sehingga dihukumNya). Diperkuat juga di QS Yunus, 10: 18-19, yakni kemusyrikan (menyembah selain Allah SWT) itu hal yang baru ada setelah sebelumnya tidak ada karena manusia itu dulunya berada dalam satu agama, yakni Islam.

Menurut kaum Muslim, seperti ditulis di tafsir Ibnu Katsir, contoh perselisihan itu: ada kelompok orang menetapkan Sabtu/Sabat sebagai hari suci dan Baitul Maqdis sebagai kiblat sedangkan orang-orang yang lain menetapkan Minggu sebagai hari suci dan Masyriq sebagai kiblat, lalu Allah memberikan petunjuk umat Muhammad bahwa Jum’at hari suci dan Ka’bah sebagai kiblat; Mereka berselisih tentang Ibrahim a.s.

Sekelompok orang menganggap Ibrahim itu melakukan ajaran mereka sedangkan kelompok lainnya menganggap Ibrahim melakukan ajaran mereka, Allah pun memberikan petunjuk umat Muhammad bahwa Ibrahim itu hanif (lurus, benar) dan muslim (berserah diri kepada Allah) (QS 3:65-68), bukan melakukan ajaran kelompok2 itu; Nabi SAW mengikuti agama Ibrahim a.s yang hanif (QS An-Nahl 123).

Mereka juga berselisih tentang Isa a.s. Ada kelompok orang yang tidak mengakui Isa a.s dan menuduh ibundanya (Siti Maryam/Mary/Maria) berzina sedangkan kelompok orang yang lain menjadikan Isa a.s sebagai sesembahan dan anak Tuhan/Tuhan. Allah mengajarkan dan memberi petunjuk umat Muhammad bahwa Isa a.s diciptakan dengan kalimah-Nya dan ditiupkan ruh dari-Nya.

Rabi bin Anas berkata: mereka masih menganut ajaran yang dibawa oleh para rasul dan berada dalam tauhid yang hanya beribadah kepada Allah sebelum perselisihan tersebut terjadi. Mereka semua berada dalam tauhid yang hanya beribadah kepada Allah SWT semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mereka mengerjakan shalat dan menunaikan zakat. Jadi, mereka tetap menjalankan perintah yang pertama sebelum terjadi perselisihan, juga menjauhkan perselisihan (Baca juga QS Al-Baqarah, 2: 87; Hud, 11: 110).

Mereka ini adalah sebagai saksi bagi umat manusia pada hari kiamat kelak, saksi bagi kaum Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Syu’aib, dan keluarga Fir’aun, bahwa para rasul mereka telah menyampaikan risalah kepada mereka, tetapi mereka mendustakan para rasul tersebut. Dan Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus. Bukti lain satu umat, yakni perintah sholat dan membayar zakat yang dilakukan Muslim saat ini juga diperintah Allah untuk bani Israil (QS Al-Baqarah, 2: 43).

Jika Allah menghendaki tentulah semua manusia di bumi menjadi beriman (QS 10: 99-100; An-Nahl: 9) alias menjadi umat yang satu ajaran. Tetapi, itu tidak dilakukanNya. Allah hanya memberi pilihan manusia untuk mau beriman atau tidak, memilih kehidupan duniawi atau akhirat karena manusia adalah makhluk berpikir (QS Al-Isra’ 18-20).

Seandanya Allah menghendaki niscaya manusia dijadikan satu umat saja, tetapi, tidak dilakukanNya sebagai ujian manusia terhadap anugerahNya. Karena itu manusia diminta berlomba dalam kebajikan (QS Al-Maidah: 48). Manusia yang memilih keselamatan akhirat maka harus beriman kepadaNya (Baca juga Al-Kahf 29 dan 110).

Hal ini juga konsisten dengan fakta sombongnya iblis yang berjanji akan membawa manusia kepada kesesatan. Kemampuan berpikir ini yang menjadi alat untuk dapat mengikuti/memilih petunjukNya agar dapat terhindar dari godaan iblis.

Satu umat, dapat dikatakan sebagai satu umat ajaran yang satu, yakni dari Tuhan yang satu. Tuhan yang satu inilah yang mampu membuat tata alam semesta dan kehidupan berjalan teratur. Bayangkan jika Tuhan ada dua, mungkin yang satu menginginkan matahari terbit dari timur sedangkan satunya meminta matahari terbit dari barat.

Alam semesta pun tidak berjalan harmoni. Allah SWT pun sudah mengatakan “Seandainya pada keduanya (di langit dan bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya telah binasa…” (QS. Al-Anbiya’, 21: 22). Tuhan pun mengutus nabi hanya menyebarkan satu ajaran, yaitu satu satunya agama dari Tuhan yang satu itu (seperti di dalam QS. Al-Baqarah, 2:213).

Bagaimana sikap muslim?

Dalam QS Al-A’raf: 87, Allah sudah mengatakan bahwa ada golongan yang beriman, tapi, ada juga yang tidak beriman kepada ajaranNya. Muslim pun diminta bersabar menghadapinya serta menyerahkan kepada Allah sampai Allah memberikan keputusan. DIA lah sebaik-baik pengambil keputusan. Tugas Muslim hanya ikhtiar mengingatkan dan mengajak dengan cara-cara komunikasi (dakwah) yang baik.

“Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama karena telah jelas kebenaran dari keburukan” (QS. 2: 256). Manusia bebas memilih untuk beriman atau sesuai keinginannya, tetapi, semua pilihan yang telah diambil memiliki konsekuensi yang harus diterima (QS 18: 29).

Cara mengajak menganut Islam pun dengan bijaksana, yaitu dengan “hikmah dan pengajaran yang baik” (QS.16:125).

Dalam QS 6:108, sifat toleransi ini diperkuat dengan perintah kepada Muslim untuk tidak memaki atau menghina sesembahan nonmuslim. Karena itu hindari fitnah, mengejek, menghina, mengolok-olok dan memecah belah umat. “Berkata baik atau diamlah,” kata Nabi SAW dan serahkan semuanya kepadaNya.

Bersabar dan menyerahkan kepada Allah adalah wujud keyakinan Muslim bahwa “Kebenaran itu dari Tuhanmu” (QS 2:147; Al-Kahf: 29), dan DIA pemilik kebenaran mutlak. Selain itu, juga hakikat arti kata Muslim. Islam berasal dari kata Arab ‘salam, ‘slim’, ‘aslam’ yang artinya ‘selamat dan berserah diri kepada Allah swt’. Orang yang berserah diri kepada Allah Yang Esa disebut Muslim (QS. 2: 130-132).

Muslim sekarang juga harus selalu ingat peristiwa sejarah tentang jiwa toleransi umat Muslim terdahulu. Umat Islam diajarkan menjunjung toleransi terhadap umat lain terkait kehidupan dunia asal tidak memerangi agama Islam dan mengusir umat Islam dari negerinya (QS.60:8).

Sifat toleransi ini juga ditulis oleh Amstrong (2006), yakni orang-orang umat agama lain tidak pernah diminta oleh Muslim untuk pindah agama ke Islam setelah nabi SAW wafat, tetapi, mereka diizinkan mempraktikkan agama mereka dengan bebas di kerajaan Islam.

“Islam does not force people to accept its belief, but it wants to provide a free environment in which they will have the choice of beliefs. What it wants is to abolish those oppressive political systems under which people are prevented from expressing their freedom to choose whatever beliefs they want, and after that it gives them complete freedom to decide whether they will accept Islam or not.” (Qutb, 2006, h. 65-66).

Ketika kejayaan Islam di era kekhalifahan Bani Abbasiyah, yang berpusat di Baghdad, jatuh pada 1258 tidak berpengaruh signifikan terhadap hubungan yang terjalin di antara pemerintahan Islam yang memisahkan diri (bekas daerah taklukannya). Umat Islam dapat menikmati kebebasannya dalam beremigrasi dari satu daerah ke daerah lain dalam wilayah negara Islam.

Jatuhnya pemerintaahan Islam terbesar (Bani Abbasiyah) tidak membuat melemahnya peradaban di negara-negara bekas taklukannya, namun, tampak lebih kokoh. Karena pemerintahan Abbasiyah tidak menerapkan kebijakan kesatuan politik yang terpusat, tetapi, kesatuan agama, seperti kesatuan yang dibangun melalui adzan yang serentak, satu arah-satu hati kea rah Mekkah dalam sholat dan ibadah haji. Bahasa Arab pun menjadi Bahasa agama, ilmu pengetahuan (Basya, 2015, h 51-52).

Menjaga Tingginya Toleransi Muslim di Indonesia

Alhamdulillah, umat Muslim Indonesia sekarang termasuk umat yang bertoleransinya tinggi. Jawa Pos memberitakan bahwa toleransi umat Islam dalam kehidupan beragama di Indonesia sudah menggembirakan.

Berita itu menyebut Menteri Luar negeri Republik Ceko terkesan dengan toleransi ini, yaitu ketika Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal, dua tempat ibadah besar, berada di tempat yang berdampingan dengan baik dan kendaraan umat Kristen diperbolehkan diparkir di halaman Masjid Istiqlal saat ibadah Natal (Jawa Pos, 27/2/2016).

Sepasang pengantin yang akan melaksanakan pemberkatan di Gereja, dijaga dan diberikan jalan oleh peserta aksi 112 dari umat Islam terkait kasus Ahok (yang diduga menista agama). Tetapi, toleransi bukan berarti saling bergantian menghadiri dan melakukan ibadah antar-agama meskipun dengan alasan penghormatan, karena hal itu menyangkut ibadah.

Batasan Toleransi

Islam menyuruh umatnya untuk saling menghormati bukan hanya sesama Muslim tapi juga nonmuslim. Tetapi, toleransi ini tidak berlaku pada dua hal, yaitu aqidah dan ibadah. Jika nonmuslim beribadah dan merayakan hari raya agamanya, umat Islam tidak boleh mengganggu dan harus menghargai, begitu pula sebaliknya.

Batasan toleransi, yaitu tidak ada toleransi dalam aqidah dan ibadah itu, secara umum disimpulkan di QS. 109: 1-6: “Katakanlah (Muhammad), wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah, untukmu agamamu dan untukku agamaku.

”Allah SWT itu Esa, tiada yang menyerupai-Nya, tiada beranak dan diperanakkan (QS. 112: 1-4), dan tidak ada Tuhan selain Allah, adalah inti aqidah Islam.

Tidak ada toleransi juga dalam hal aqidah. Bahkan Allah SWT menganggap kafir orang yang berkata bahwa sesungguhnya Allah itu dialah Almasih putra Maryam (QS. 5: 17) dan membuat Allah murka (QS. 19: 88-93) karena hal ini termasuk mendustakan ayat-ayat Allah (QS. 5: 10).

Umat Islam diajarkan menjunjung toleransi terhadap umat lain terkait kehidupan dunia asal tidak memerangi agama Islam dan mengusir umat Islam dari negerinya (QS.60:8).

Toleransi sebagai Gaya Hidup Menjaga Kesatuan Bangsa

Jadi, dalam perspektif Muslim, umat manusia ini satu ajaran, tetapi, berbeda-beda agama sebenarnya juga bagian dari keputusan atau perencanaan Allah. Perbedaan agama hanya salah satu perbedaan karakter manusia dalam rencana Allah yang lain untuk menguji sikap dan gaya hidup Muslim. Perbedaan karakter lain adalah perbedaan suku, etnis, budaya maupun ras.

Seperti frmanNya: “Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat, 49: 13).

Di Indonesia, perbedaan-perbedaan itu dikenal dengan istilah SARA (Suku, Agama, dan Ras). Sebenarnya, SARA itu keniscayaan yang sudah direncanakanNya (ditakdirkan) untuk Bangsa Indonesia. Apalagi, bangsa kita ini terdiri dari 13 ribu pulau lebih, dengan seribu lebih etnis dan ratusan bahasa daerah, enam agama resmi serta ratusan aliran kepercayaan.

Jadi, SARA itu bersifat netral, tergantung motif yang menulis atau memperbincangkannya, bisa mengarah positif atau negatif terhadap keberagaman kita. Berbicara SARA itu boleh-boleh saja, bukan tabu, tergantung konteks komunikasi dan cara penyampaiannya yang tidak saling hina, fitnah atau mengolok-olok serta adu domba.

Kuncinya, membicarakan SARA harus selalu diiringi sikap toleransi terhadap keberagaman SARA itu sendiri. Toleransi mesti menjadi nilai-nilai yang terinternalisasi dalam diri kita dan ditunjukkan dalam perilaku sehari-hari menjadi sebuah gaya hidup, baik dalam interaksi sosial maupun interaksi virtual di media sosial. Toleransi bukan diartikan penyeragaman atau peleburan keberagaman, tetapi, harus diartikan sebagai sikap menghargai keberagaman dalam kesederajatan dengan tidak mereduksi perbedaan itu sendiri.

Dalam berbicara SARA, kita harus memiliki “Cara pandang tentang diri dan lingkungannya, dengan mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah dalam perilaku bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta memahami jati diri sbg bangsa dan berperilaku sesuai falsafah bangsa dengan dasar kesatuan dan kesatuan.

Kita harus saling menghormati kepada tetangga atau kelompok-kelompok lain sebagai sesama manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam negara kita. Sebagai manusia, Allah sudah menakdirkan karakter-karakter beragam.

Tetapi, keberagaman karakter ini bukan membuat keberagaman hak dan kewajiban. Sebagai manusia ber-Tuhan dan sebagai manusia warga negara, setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama, yakni beriman dan bertaqwa kepadaNya serta mengimplementasikan keimanan dan ketaqwaan ini dalam perilaku berbangsa dan bernegara. 

Gaya hidup toleransi ini sangat diperlukan untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Banyak persoalan bangsa yang muncul akhir-akhir ini karena terkait SARA.

Persoalan ini makin berpotensi membesar akibat kemajuan teknologi internet, seperti facebook, WA, Instagram, atau pun path. Munculnya media online yang menyebarkan informasi-informasi hoax dan false (palsu) makin memperkeruh persoalan SARA ini.

Jika tidak diantisipasi secepatnya, dikhawatirkan mengancam keutuhan bangsa melalui terjadinya perang budaya (culture war), konflik etnis dan agama, perlakuan dan atau kebijakan diskriminatif, hubungan eksploitatif, bias (perlakuan tak adil yang tak disengaja), prasangka/stereotipe negatif, kesalahpahaman, marjinalisasi, dan kekerasan fisik/simbolik.

Kita harus hati-hati karena karena sudah terjadi di beberapa negara, yakni runtuhnya beberapa negara, seperti Uni Soviet dan Yugoslavia, yang pecah menjadi beberapa Negara kecil. Betul kata Samuel P. Huntington (1993) bahwa “sebenarnya konflik antar peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).”

Idul Fitri sebagai Wujud Toleransi

Idul Fitri adalah momen penerapan toleransi. Saat Idul Fitri (Lebaran) adalah momen silaturahim dan ukkuwah antar-manusia, bukan hanya antar-sesama Muslim, sesama suku, etnis maupun ras, tetapi juga antar-beda agama, beda suku, beda etnis dan beda ras.

Di Bali, misalnya, pecalang (keamanan adat Bali) turut menjaga keamanan dan ketertiban ibadah sholat idul Fitri. Non-muslim juga ikut mudik dan beranjangsana dengan umat Muslim dan saling memaafkan.

Idul fitri juga mungkin momen setahun sekali bagi kerabat untuk dapat bertemu setelah sibuk bekerja yang terkadang berjauhan tempatnya. Hal ini membuat wajar jika sebagian masyarakat kita memaknai Lebaran sebagai saling memaafkan, meski semua tahu maaf-memaafkan dapat dilakukan kapan pun (tidak harus menunggu lebaran) dan lebaran pun bukan hanya berisi maaf-memaafkan.

Lebaran adalah sarana instrospeksi diri setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan, yakni apakah kita telah memanfaatkan ibadah puasa dengan baik sehingga kembali ked lam jat diri yang suci (fitri/fitrah).

Kita mungkin selama ini sering memaafkan secara virtual lewat handphone atau media sosial, tetapi, bertemu langsung tatap muka lebih mampu menstimuli emosi jiwa untuk saling mengasihi.

Budaya mudik dan bermaaf-maafan termasuk halal bihalal memang tidak diatur secara langsung/tersurat dalam Al-Qur’an dan Hadits, tetapi budaya mudik ini juga merupakan wujud ajaran-ajaran Rasulullah: untuk bersilaturahim dengan orang tua, kerabat dan sobat, untuk saling bermaafan, untuk saling membantu (misal budaya berbagi rezeki uang dan baju ke sanak keluarga), untuk berbakti kepada orang tua, baik yang masih hidup atau meninggal (ziarah kubur).

Tentu, perwujudannya sesuai budaya masyarakat kita. Budaya ini yang sesuai kearifan kita sebagai masyarakat yang "guyub rukun, rukun agawe sentosa-crah agawe bubrah".

Saya kira, budaya ini membangun Islam yang khas Nusantara, yang mungkin tidak ditemui di negara lain. Yang penting esensi ajaranNya tetap terjaga, yakni menjalankan ibadah puasa Ramadan dengan baik dan tidak mengisi Lebaran dengan berhura-hura.

Mudik dan mohon maaf lahir batin selama lebaran, adalah sarana menjalankan ajaranNya. Jika dakwa diartikan kegiatan mengomunikasikan ajaran Islam, sedangkan "communication is culture, culture is communication" (Edward T Hall), maka wajarlah jika Wali Songo berdakwa dengan pendekatan budaya sehingga membuat Islam lebih dapat diterima (tanpa paksaan) oleh masyarakat kita yang saat itu banyak beragama Hindu-Budha dan animism-dinamisme.

Hal ini juga sesuai dengan QS Ibrahim: 4: "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya agar dia dapat memberi penjelasan kepada mereka". "Berbicaralah kepada manusia sesuai kadar akal mereka" (HR Muslim). Itulah mengapa wali songo berhasil menyebarkan Islam dengan mengadopsi budaya yang tetap selaras menjaga esensi ajaranNya.

Indahnya mudik untuk menjalankan ajaranNya. Jika kita niatkan silaturahim kepada bapak dan ibu serta sanak kerabat, inshaAllah barokah.

Allah SWT mengajarkan berbuat baik kepada bapak dan ibu dengan memelihara mereka di usia lanjut, berkata baik, tidak boleh membentak, merendahkan diri kepada mereka dan selalu berdoa "Ya Allah sayangilah bapak-ibu seperti mereka menyanyangiku sewaktu kecil" (QS Al-Isra’, 17:23-24).

Mudik juga diniatkan berbagi rezeki kepada kerabat, fakir miskin dan orang yang dalam perjalanan (QS 17-26). Mungkin orang tua dan anak, sanak kerabat dan teman berbeda agama, suku, dan etnis. Allah pun tidak menyebut dalam berbagai firmanNya bahwa silaturahim hanya untuk sesama agama, suku, dan etnis.

Tetapi, jaganlah kita berniatkan mudik untuk pamer diri dan menghamburkan harta untuk hal-hal yang tidak semestinya. Dilarang menghambur-hamburkan harta secara boros. Orang boros itu saudara setan, dan setan selalu ingkar kepada Tuhannya (QS 17:26-27).

Jika selama mudik belum dapat berbagi rezeki untuk membantu maka kita diajarkan memberi ucapan yang lemah lembut kepada mereka (QS 17:28), asal jangan pelit dan jangan terlalu pemurah (QS 17-29).

Oleh Rachmat Kriyantono, PhD (CakRK)
Ketua Program Studi S2 Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES