
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam pengertian Jawa, kata 'kahanan' sering kali dimaknai sebagai 'keadaan' atau 'kondisi' kehidupan.
Seseorang bertanya, kenapa hidup tidak bebas dari kebencian dan benturan?
Advertisement
Orang berbahagia menerima pujian dan sanjungan. Sebagian lain justru 'gila pujian', bahan dasar ambisi berkuasa secara membabi buta. Orang sedih atau marah jika mendapat penghinaan.
Barangkali pujian memang tak berdiri sendiri. Ia ada lantaran yang hina. Yang terpuji itu, berterima kasihlah pada yang terhina, karena yang terhinalah yang terpuji menjadi ada. Begitulah mungkin hakikat makhluk.
Dan hanya Tuhan Maha terpuji. Keterpujian yang mustahil terhina. Sebab sejatinya, pujian dan hinaan tak berlaku bagi-Nya. Ia berdiri sendiri (qiyamuhu binafsihi).
Tak ada pujian dan hinaan makhluk dapat sampai kepada-Nya. Dia tak membutuhkan pujian dan hinaan, tak seperti makhluk (laisa kamitslihi syai'un).
Segala hinaan pada-Nya hanya akan menimpa si penghina. Sehina apa pun hinaan pada-Nya 'tak menjangkau-Nya'. Dan segala pujian pada-Nya pun pada si pemuja.
Semulia apa pun bahasa manusia untuk memuja-Nya, 'tak mencapai-Nya'. Dia hanya menjangkau diri-Nya sendiri. Layakkah manusia jahat memuja-Nya? Layakkah manusia baik menghina-Nya?.
Segala kehinaan adalah milik makhluk lantaran kenyataan membuktikan ia lemah. Dan keterpujian makhluk hanyalah 'pinjaman-Nya'. Dia yang menciptakan dan mahaluhur. Kemanusiaan yang luhur adalah 'gerak-gerik'-Nya semata.
Sesungguhnya yang dipuja-puja menyimpan kehinaan. Dan yang dihina-hinakan menyimpan keterpujian. Memang demikianlah ciptaan, tak ada yang berdiri sendiri, tak ada yang bebas dari sebab-akibat, tak aksi tanpa reaksi, kata Newton.
Tapi, bagi yang memuarakan segalanya dalam pandangan-Nya, pujian dan hinaan sama saja, seperti adanya siang dan malam. Yang utama cuma berbuat sebaik-baiknya untuk manfaat. Atau 'melawak' agar orang ikut tertawa bahagia, sejenak melupakan keletihan hidupnya.
'Thariqat (jalan) kemanusiaan' tak lain hanya mengaliri hidup apa adanya, dengan segala tanggung jawab kemanusiaan. Tak lebih dari itu. Barangkali itulah makna kenapa manusia adalah hamba. Makhluk berakal yang punya kewajiban menyempurnakan nilai kemanusiaan dalam sejarah hidupnya, mengentas derita sesama, menciptakan kesejahteraan, dan mengarifi perbedaan-perbedaan dengan cinta.
Kata 'iqra' (bacalah), secara kaidah bahasa, adalah 'fi'il amr' (perintah). Uniknya, kata ini tak menerangkan adanya 'maf'ul bih' (obyek). Sehingga kata perintah bersifat 'am' (umum).
Dalam pandangan ilmu Balaghah (logika sastra), 'iqra' tak mutlak, ia adalah 'mu-qayyad' (bersyarat), makna 'membaca' bukanlah yang serampangan. Dengan kata lain, membaca yang membawa seseorang pada pengertian sejati terhadap dirinya dan apa saja yang menjadi obyek bacaan. Tentu tak dapat dipahami membaca belaka pada teks, tetapi juga keadaan. 'Kahanan' kata orang Jawa.
'Iqra' pun merupa gerak dari diam menjadi pergerakan. Ia pula berarti gerak 'peniruan' perilaku Tuhan melalui manusia yang dipilih-Nya sebagai utusan (rasul) menjadi 'uswah al-khasanah' (teladan luhur). Juga pergerakan dalam khazanah budaya, ilmu, peradaban yang menghayati diri (subyek) dalam pergulatan di luar diri (obyek) yang berarti mengandung nilai luhur kemanusiaan. Sehingga kalimat berikutnya adalah 'bismi robbikal ladzi khalaq' (dengan nama pendidikmu yang maha menciptakan). Kata 'robbi' sebagai 'murobbi', yang mendidik, menjaga, memelihara, mencukupi, mengayomi. Bukankah ini nilai luhur kemanusiaan yang diteladankan Tuhan melalui ayat-Nya?.
'Iqra' pun bermakna penghayatan dan pergerakan dari kesadaran diri sebagai manusia (al-insan) terhadap anekaragam warna dalam kehidupan yang mesra dan saling menyayangi, saling menyelamatkan.
Maka, kalimat berikutnya "khalaqal insana min 'alaq' (menciptakan manusia dari segumpal darah). Kesadaran terhadap asal penciptaan, diharapkan mencegah kesombongan agar kehidupan terhindar dari benturan.
Perang dan kebencian selalu didasari sifat sombong, angkuh, atau menolak kebenaran dan merendahkan sesama. Bukankah dengan demikian, belajar sebagai manusia adalah menyadari asal, mengarifi perbedaan, mengarifi 'kahanan' atau realitas tempat hidup?. Dengan begitu, manusia sebagai 'cermin-Nya' ngejawantah dalam ruang-waktu dan kehidupan bersama.
Tetapi, di tengah hujan, seseorang bertanya pada dirinya, ke mana kiranya air mengalir? Ada yang menjawab dengan berbisik, samudra.
Samudra luas tidak menyimpan kesempitan. Ia menyimpan kedalaman. Di kedalaman yang ada adalah ketenangan. Ajeg. Sedang di permukaan bergelombang keributan: angin, hujan, petir, badai.
Tidak ada satu pun di dunia ini yang tak dapat dipecahkan, kata Abu Nawas. Tak semua orang adalah Abu Nawas, tokoh masyhur yang kontroversial. Maka mengalirlah, bisik seseorang entah siapa. Budaya dan sejarah pun dialiri dengan keluhuran nama-nama-Nya sebagai perilaku insan. Mengaliri hidup bagai air, berhembus bagai angin, bergerak seperti ombak. (*)
Penulis : Taufiq Wr Hidayat (Sastrawan dan Budayawan Banyuwangi)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |