Kopi TIMES

Membaca Sejarah Blambangan Versi Blambangan Sendiri

Minggu, 06 Agustus 2017 - 23:13 | 573.22k
Mas Aji Wirabhumi, Komunitas Banjoewangie Tempo Doeloe dan Blambangan Kingdom X-Plorer. (Foto : Dian Efendi / TIMES Indonesia)
Mas Aji Wirabhumi, Komunitas Banjoewangie Tempo Doeloe dan Blambangan Kingdom X-Plorer. (Foto : Dian Efendi / TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Membaca Balambangansch Adatrecht karya Dr.Y.W. De Stoppelaar (1927), dapat kita pahami, ternyata sejarah Blambangan “dipaksakan” harus bermula dari Arya Wiraraja oleh Brandes yang didukung oleh Muhlefenfeld, Stoppelaar, dan sebagainya.

Brandes tidak bisa membedakan antara Blambangan dengan Lamajang Tigangjuru-nya Arya Wiraraja!

Advertisement

Juga pendapat Brandes tentang Bhre Wirabumi. Ini Bhre Wirabhumi yang mana?, Brandes juga tidak tahu!. Kesalahan terbesarnya adalah menyamakan Mandala Wirabhumi dengan Kerajaan Blambangan dan Stoppelaar menyamakan Bhre Wirabumi dengan tokoh Menak Jinggo.

Kutipan tersebut malah membuat kita tidak menemukan sejarah Blambangan. Justru kutipan itu sebenarnya membahas Lamajang Tigangjuru, Mandala Wirabhumi, dan “melompat jauh” ke Kabupaten Banyuwangi.

  • Kontroversi Tentang Blambangan

Perlu dipahami, membaca sejarah secara kreatif adalah dengan menghimpun dan memperbandingkan data sejarah. Dimulai dari sumber yang paling utama, yaitu Batu Prasasti, kemudian sumber catatan (kitab atau lontar kuno sekualitas Negara-kertagama), baru kemudian cerita tutur serta serat atau babad Lokal.

Namun dalam mengkaji Sejarah Kerajaan Blambangan, selama ini kita hanya mengacu dengan referensi “kw-3”, berupa Babad, yakni; Babad Wilis, Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Serat Damarwulan (Serat Kandha), Babad Dalem, Babad Madura, Babad Bayu, Babad Blambangan Notodiningratan, dan yang sejenisnya, dimana hampir seluruhnya merupakan babad lokal yang ditulis diluar Blambangan dan oleh orang luar Blambangan.

Sejarah Kerajaan Blambangan hanya dikenal dari berbagai literatur cerita babad, serat, suluk, lontar di atas. Termasuk dari cerita tutur yang masih tertanam kuat dalam komunitas masyarakat Blambangan (di daerah Tapal Kuda), termasuk Jawa dan Bali.

Sangat sulit bagi kita menemukan sumber dari batu atau logam prasasti yang semasa dengan saat kejadian berlangsung. Jangankan awal masa Blambangan di era Kerajaan Majapahit (1352 M), bahkan cerita Agung Wilis di abad ke-17 pun sulit ditemukan.

Kesulitan ini dialami oleh seluruh pemerhati sejarah Blambangan pasca VOC menyita seluruh perbendaharaan literasi berupa lontar dan catatan lain milik Kerajaan Blambangan yang kemudian di bakar di wilayah Banger pada tahun 1773.

Sebagai salah satu sisa kejayaan sejarah Majapahit, Blambangan adalah wilayah yang paling banyak ditulis. Namun anehnya, hampir semua penulis literatur tentang Blambangan adalah ‘orang luar’ Blambangan.

Hampir semua tulisan tentang Blambangan ditulis di luar Blambangan, sehingga tak heran jika dikomparasikan satu sama lain akan terjadi banyak kontroversi di sana-sini. Seperti; (1) Memaksa Lamajang Tigangjuru sama dengan Blambangan; (2) Memaksa Kedhaton Wetan di Pamwatan (Porong, Sidoarjo) sama dengan Blambangan; (3) Memaksa Mandala Wirabhumi sama dengan Blambangan; (4) Menganggap Blambangan pernah memberontak dan melawan Majapahit dengan mempersamakan Perang Paregrek 1406 dengan Perang Banger 1433 dan munculnya tokoh mitos Menak Jinggo yang disebut sebagai raja Blambangan bergelar Bhre Wirabhumi (entah itu Bhre Wirabhumi I, II, III, atau IV); (5) Runtuhnya Majapahit Trowulan tahun 1478 dan larinya Brawijaya ke Blambangan mau menyeberang ke Bali; (6) Memaksa Kerajaan Panarukan sama dengan Blambangan dengan rajanya, Sontoguno yang katanya Nasrani itu; (7) Memaksakan bahwa Mataram pada zaman Sultan Agung pernah menaklukkan Blambangan secara keseluruhan; (8) Memaksakan bahwa Gelgel, Mengwi, Buleleng, bahkan Jembrana pernah menaklukkan dan menjajah Blambangan; (9) Memfitnah Kerajaan Mataram terlibat dalam Perang Bayu. Padahal Mataram runtuh tahun 1755 dalam Perjanjian Giyanti sedangkan Perang Bayu baru terjadi tahun 1771 atau 16 tahun kemudian.

Semua hal itu terjadi karena selama ini kita hanya mengetahui Sejarah Blambangan dari babad, namun kita tidak mengetahui sejarah babad itu sendiri. Dan dari semua kontroversi tersebut, jika kita komparasikan maka akan melahirkan satu tanda tanya besar. Kenapa sejarah Blambangan selalu disajikan sepotong-sepotong?.

Kita dengan mudah bisa melacak sejarah kerajaan-kerajaan lain secara lengkap dari A sampai Z, tapi tidak untuk sejarah Blambangan yang nyaris tidak utuh dan tak lengkap, selalu hanya sepotong-sepotong. Sejarah Blambangan yang sepotong-sepotong itu, sebenarnya untuk dibagi-bagikan kepada para pemesan dan mereka yang berkepentingan pada potongan-potongan sejarah itu. Tujuannya jelas, agar Blambangan jangan pernah bersatu dan jangan ada pihak yang mengenalkan kejayaan Blambangan pada generasi penerus.

Untuk memutus mata rantai sejarah yang akan diwariskan kepada generasi penerus, VOC sengaja memerintahkan tangan-tangan lokalnya untuk menulis dan menyebarkan sejarah Blambangan “palsu” yang baru. Maka dari itu, muncullah kisah-kisah kontroversial tentang Blambangan. Kerajaan Blambangan selalu diposisikan sebagai objek dan cenderung berperan sebagai pihak antagonis dalam sejarah daerah lain yang diungkap secara sekilas.

Dari sana, kita akan mendapati cerita-cerita sejarah Blambangan, dari Menak Sembar (1479-1489) sampai dengan Menak Kembar, Prabu Tawangalun II dan Prabu Agung Wilabrata (1655), atau selama ibukota belum bertempat di Macanputih, dapat dikatakan sebagai sejarah paling gelap dalam dunia kesejarahan di Jawa. Masa kekuasaan sembilan raja selama hampir dua abad yang nyaris tanpa catatan.

  • Sejarah Sumber

Pada tanggal 23 Maret 1767, Bendera Belanda berkibar di Teluk Pangpang, pelabuhan Internasional milik Kerajaan Blambangan di Selat Blambangan (kini Selat Bali). Setelah itu Perang Semesta Blambangan terjadi selama tahun 1767-1774, dan terus berlanjut hingga tahun 1815 dengan intensitas yang lebih kecil.

Tahun 1773, VOC yang telah menyita seluruh catatan khasanah ilmu dan informasi peninggalan Kerajaan Blambangan dalam ekspansi tahun 1767-1768, kemudian membakar-nya di Banger. Untuk memutus rantai sejarah generasi yang akan datang, VOC memerintahkan pada Bupati Banger, Tumenggung Djoyonegoro (1767-1804) agar menugaskan Purwasastra untuk menulis babad tentang Blambangan.

Lima tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1778, salah satu cicit Susuhunan Prabu Tawangalun II yang bernama Mas Serandhil (1713-1782) untuk pertama-kali menyampaikan kidung Suluk Balumbung kepada putera-puteranya di Gunung Dupa. Isinya adalah cerita sejarah Kerajaan Blambangan yang dia peroleh dari ayahnya, Mas Aji Suranatha (1691-1771), putera Pangeran Arya Gajah Binarong, putera Susuhunan Prabu Tawangalun II.

Setelah perlawanan Arya Galedak tahun 1815 di Puger, Belanda melihat semangat perlawanan para keturunan Blambangan akhirnya merasa perlu merubah total Sejarah Blambangan dengan tujuan untuk mematahkan semangat pejuang lokal. Banyak cerita legenda dan dongeng dibuat untuk mendeskreditkan Blambangan dalam bentuk Babad dan Serat.

Serat Damarwulan adalah sejarah paling menyudutkan Blambangan di abad ke-18. Di dalamnya dimunculkan tokoh Menak Jinggo, sosok antagonis bertubuh raksasa dengan kepala anjing yang lengkap dengan segala keburukan sikap dan moral seorang manusia. Semua itu jelas untuk lebih menyudutkan penduduk dan pejuang Blambangan agar semakin terpinggirkan dan dibenci sekaligus ditakuti karena dianggap bukan keturunan manusia.

Babad-babad tersebut banyak diedarkan pada abad 18 dan 19. Cerita-cerita tutur dibuat dan disebarkan melalui para pamancanggah menmen (pendongeng keliling). Setelah Generasi saksi mata banyak yang meninggal, maka generasi-generasi selanjutnya hanya mendengar cerita dari pendongeng keliling yang sengaja disebar kompeni. Akibatnya, muncul banyak versi tentang satu kejadian yang sama dalam Sejarah Blambangan yang di masa kemudian membingungkan generasi anak-cucu. Sejarah Blambangan lebih tepat dianggap tertutupi mitos dan kental dengan politik adu domba.

Belanda memang sengaja dan terus berupaya membangun sistem “kotak-kotak” etnis dan menumbuhkan perpecahan di masyarakat dengan adudomba atas nama agama, suku, dan kedaerahan. Padahal jika kita melihat dalam sejarah Blambangan secara utuh, Blambangan sebenarnya sangat menjunjung tinggi budaya pluralisme.

  • Menulis Sendiri Sejarah Kita

Sering, bahkan hampir selalu kita temui di berbagai diskusi sejarah, dimana orang Blambangan cinta mati dan membela mati-matian Blambangan. Tapi cara mencintai Blambangan itu menggunakan sumber sejarah yang didiktekan oleh musuh-musuh Blambangan yang mereka benci itu. Sangatlah lucu!, karena cara mereka membela Blambangan justru menggunakan sumber sejarah yang dahulu ditulis untuk menghancurkan Blambangan.

Dari sinilah saya anggap muncul fanatisme buta. Meyakini tapi tanpa tahu cerita itu sumbernya dari mana. Padahal fanatisme buta itulah justru yang paling banyak berperan dalam menyembunyikan, menutupi, menghapus, dan merubah sejarah kita.

Jika orang luar Blambangan menulis tentang Blambangan, pasti Blambangan jadi objek, bukan subjek. Blambangan jadi pihak antagonis dan Blambangan selalu menjadi pihak yang kalah atau buruk. Bahkan kemudian orang Blambangan pun ikut-ikutan memperlakukan sejarah mereka sendiri seperti itu. Apalagi membahas Hindu melawan Islam, Mataram melawan Blambangan, Madura melawan Blambangan, dan Bali melawan Blambangan.

Sepatutnya, sejarah kita haruslah versi kita sendiri. Bukan Babad Belanda, bukan pula Babad Lokal rasa Belanda yang penuh muatan adu domba antar suku, antar agama, dan antar daerah. Mumpung masih ada arsip-arsip di keraton-keraton, ada cerita tutur dari trah keturunannya. Mari kita buru dan temukan data-datanya. Kemudian kita tulis yang belum pernah ditulis.

Sejarah kita harus versi kita!

Penulis : Mas Aji Wirabhumi, Komunitas Banjoewangie Tempo Doeloe dan Blambangan Kingdom X-Plorer.

Bukunya yang terbaru ‘Suluh Blambangan’.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES