Fatamorgana Gelar Akademik

TIMESINDONESIA, JAKARTA – PERNYATAAN Prof. Mahfud MD, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara di Sindonews.com Sabtu, 30 September 2017 patut menjadi renuangan bersama, khususnya para akademisi dan pejabat terkait. Mahfud menulis bahwa proses pendidikan yang super cepat dan instan tak lebihnya sebagai peternakan doktor serta pembibitan koruptor.
Konteks tersebut terjadi khususnya pada jenjang magister dan doktor yang mereka berambisi mendapatkan gelar demi kehormatan fatamorgana. Hemat saya pernyataan Mahfud tersebut dapat dibenarkan setidaknya tiga alasan.
Advertisement
Pertama, program doktor merupakan jenjang pendidikan tertinggi dalam strata jenjang pendidikan yang ada. Seperti diketahui bahwa jenjang pendidikan diawali dari jenjang pendidikan dasar, jenjang pendidikan menengah, dan jenjang pendidikan tinggi dengan varian stratanya: sarjana, magister, profesi, dan doktoral.
Dalam setiap jenjang ini setiap lulusan harus mempunyai tiga kompetensi utama yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan sebagaimana diamanahkan di UUD 1945 dan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
Artinya adalah semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang maka sesungguhnya semakin matang tiga domain kompetensi tersebut. Karena ini berbanding lurus mengingat penyelenggaraan pendidikan yang selalu memperhatikan perkembangan psikologi anak dan kematangan kogniif mereka.
Jika kemudian bertolak belakang maka layak mendapat pertanyaan kenapa itu terjadi. Jangan-jangan jenjang yang dilaluinya tidak dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Kedua, setiap jenjang pendidikan sudah diatur sedemikian rupa lewat kurikulum. Kurikulum disusun untuk mempermudah melakukan evaluasi atas pencapaian peserta didik dalam mengenyam pendidikan pada setiap jenjang pendidikan tersebut.
Dalam setiap kurikulum baik pada jenjang pendidikan dasar dan menengah sampai pendidikan tinggi sudah diatur mulai dari profil lulusan, capaian pembelajaran, isi, proses, sampai pada system evaluasinya. Pada konteks perguruan tinggi, maka kita kenal saat ini dengan nama Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
KKNI ini merupakan penjenjangan kualifikasi sumber daya manusia Indonesia yang menyandingkan, menyetarakan, dan meintegrasikan sector pendidikan dengan sector pelatihan dan pengalaman (sumber dari Kemristekdikti).
Tujuan utama penyusunan KKNI ini adalah penyetaraan setiap lulusan yang telah mencapai capaian pembelajaran (learning outcomes) dengan Negara-negara yang sudah bersepakat untuk menjalankan KKNI tersebut. Artinya adalah lulusan dari Indonesia darimanapun asal perguruan tingginya dapat disamakan dengan mereka lulusan perguruan tinggi dari Negara-negara yang sudah bersepakat menjalankan KKNI ini.
Jika proses ini disalahgunakan dengan mengambil jalan pintas maka sejatinya mereka yang melakukan telah menodai keberadaan Indonesia ini sendiri. Artinya adalah ini merupakan bentuk penghinaan kepada Indonesia. Maka saya setuju jika pelakunya ditindak tegas.
Ketiga, ketidakjujuran dalam proses pendidikan sejatinya adalah pelanggaran tentang hidup itu sendiri. Apa jadinya jika proses mencari ilmu mereka nodai. Jikalau mereka pada akhirnya menjadi pejabat Negara sebenarnya mereka menodai diri sendiri.
Benar apa yang dikatakan oleh Mahfud MD bahwa peternakan doktor, pembibitan koruptor benar adanya. Dua variable kontinyus ini sebenarnya berkorelasi tinggi dengan pernyataan semakin tidak jujur seseorang dalam mengenyam pendidikannya, dapat diprediksi bahwa mereka pada nantinya akan menjadi koruptor. Jalan pintas demi kesuksesan semu, demi popularitas untuk keuntungan sesaat telah membutakan mata batinnya sehingga itu terjadi.
Revitalisasi Penjaminan Mutu
Penjaminan mutu adalah tugas seorang hamba yang beriman. Penjaminan mutu berarti berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jika mutu tetap saja maka menurut agama berarti merugi. Penjaminan mutu menuntut system untuk terus berbuat baik. Penjaminan mutu merupakan komitmen bersama (internally driven).
Jika kasus yang dimaksud oleh Mahfud itu betul-betul terjadi pada perguruan tinggi negeri dijantung ibu kota Indonesia, maka refleksinya sebenarnya tertuju pada penjaminan mutu itu sendiri. Seperti kita ketahui penjaminan mutu dapat dilakukan secara internal maupun eksternal.
Jika kasus tersebut (super cepat menjadi doktor) betul-betul terjadi maka sebenarnya penjamintan mutu eksternal yang dilakukan oleh setidaknya BAN PT dibawah Kemristekdikti patut dipertanyakan juga. Bagaimana bisa tidak diketahui sampai berlarut-larut.
Tidak untuk mencari kambing hitam, ada patutnya kita merenungkan kembali pencarian ilmu kita dalam sebuah perguruan tinggi. Saat ini memang digandrungi untuk menyematkan gelar akademik didepan atau dibelakang nama kita. Apalagi sejak system pemilihan langsung kepala daerah gelar akademik seakan-akan menjadi daya jual tersendiri untuk meraup suara dan dukungan rakyat.
Jika itu yang terjadi buat apa sekolah tinggi-tinggi. Bukannya itu fatamorgana. Ada dan tiadanya sama saja tidak berdampak terhadap perubahan kehidupan.
Orang berpendidikan bukanlah semata mereka yang mempunyai gelar akademik tertentu. Orang berpendidikan adalah orang berilmu yang dicirikan mampu membersihkan hati (tazkiyatun nufus) dan mampu mengajarkan kapada orang lain serta mampu membaca ayat-ayat Allah SWT. Semoga niat kita dalam sekolah senantiasa dibimbing oleh Allah SWT, Aamiin.. (*)
* Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris, Wakil Dekan III FKIP Universitas Islam Malang
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Sholihin Nur |