Kopi TIMES

Jejak Intelektual Kiai Faqih Cemoro Songgon Banyuwangi

Jumat, 27 Oktober 2017 - 10:36 | 418.41k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi. (Foto : Dokumentasi TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap bulan Rabiul Awal atau biasa dikenal bulan Maulud karena bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, di Banyuwangi, Jawa Timur, begitu marak dengan perayaan tradisi endog-endogan. Yaitu, sebuah ritual peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, dengan menghias telur dengan bunga-bunga kertas yang indah berwarna-warni.

Meski terlihat sederhana, tradisi endog-endogan sarat dengan nilai-nilai filosofis. Nilai yang mendukung pesan-pesan dakwah ke Islaman. Ada pesan simbolik yang menggambarkan proses kelahiran Rosululloh. Seperti halnya potongan bambu yang dihias bunga dan buah endog (telur). Ini mengandung arti bahwa kelahiran Muhammad penuh berkah bagi semesta alam. Pohon bambu yang tak berbunga dan berbuah pun, pada saat kelahiran Nabi, semuanya berbunga dan berbuah. 

Advertisement

Di balik tradisi endog-endogan yang begitu arif tersebut, ada nama ulama kharismatik Bumi Blambangan. Ia adalah KH Abdullah Faqih asal Desa Cemoro, Kecamatan Songgon. Berkat pemikirannya dalam berdakwah yang memanfaatkan pendekatan tradisi, membuat masyarakat suku Osing, suku asli Banyuwangi, dapat menerima Islam dengan baik.

Tentu saja, pemikiran yang demikian dari Kiai Faqih tak terlepas dari latar belakang keilmuannya. Ia memahami ilmu agama tidak sebatas kulit, tapi hingga ke subtansi. 

Hal inilah yang coba dikupas dalam tulisan ini. Yaitu, menelusuri jejak intelektual Kiai Faqih.

Kiai Faqih dilahirkan di Dusun Pakis, Desa Balak, Kecamatan Songgon (Waktu itu, Pakis masih menjadi bagian dari desa Balak. Sekarang sudah menjadi desa tersendiri). Tepatnya pada Tahun 1878 M atau 1332 H, dari darah KH Umar Mangunrono atau bernama asli Raden Markidin. Ia adalah anak dari Sunan Murobah Banten dangan Ibu Raden Sayu Adawilah, putri dari keturunan Raden Mas Tholib atau Rempeg Jogopati. Dari jalur ayah inilah, Kiai Faqih mewarisi darah ulama sekaligus bangsawan.

Kiai Faqih Cemoro atau masa kecilnya bernama Mudasir itu merupakan sosok anak muda yang giat belajar. Sejak belia ia rajin menuntut ilmu serta tirakat. Melalui bimbingan ayahnya yang terkenal memiliki ilmu agama dan kanuragan yang pilih tanding, Mudasir kecil rajin berpuasa. Mulai dari puasa Senin-Kamis, puasa Daud, atau pun puasa pada hari Yaumul bith (tiap tanggal 13, 14, 15 Hijriyah).

Pada tahun 1887, kala itu Mudasir masih berusia sembilan tahun. Dia sudah memutuskan untuk berkelana mencari ilmu. Ayahnya, KH. Umar Mangunrono, tidak sempat lagi mengurus belajar buah hatinya. Ia sibuk melakukan perlawanan melawan penjajah Belanda yang bercokol di bumi Blambangan.

Dalam petualangan menuntut ilmu, Mudasir muda telah berkelana ke berbagai tempat. Saat usianya baru menginjak sembilan tahun, ia dengan seorang diri mengembara untuk berguru kepada Kiai Purwosono di Lumajang. Kurang lebih dua tahun, ia menuntut ilmu sekaligus mengabdi disana. 

Selain ke Lumajang, Mudasir muda juga pergi ke Lirboyo. Ditempat itu, ia berkeinginan untuk menuntut ilmu disebuah pesantren yang diasuh oleh ayahanda KH Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo. Ada kisah menarik saat mondok di sana.

Setelah menempuh perjalanan jauh, Mudasir tiba Pesantren Lirboyo saat tengah malam. Para santri dan pengurus pondok sudah bergegas untuk tidur. Mudasir menemui salah satu pengurus pondok, namun tak mendapat tanggapan yang memuaskan. Mudasir disuruh menghadap keesokan paginya. Bahkan, Mudasir tidak dipersilakan untuk beristirahat di kamar. Ia disuruh tidur di dapur.

Sekiranya pukul dua dini hari, sang pengasuh mengontrol pesantrennya. Beliau melihat bilik kamar-kamar para santri, mushollah, termasuk juga dapur. Saat itu, sang pengasuh terperanjat melihat seorang santri yang terlihat berada didapur. Ia sedang melaksanakan sholat tahajud dan merafalkan beberapa kitab tanpa membaca. Ia hafal. Sang pengasuh terheran dan kagum atas perilaku santri tersebut.

Keesokan harinya, seusai sholat Subuh, si pengasuh langsung memberi pengumuman kepada semua santri. "Siapa santri yang semalam tidur di dapur?," tanyanya.

Tak ada yang menjawab. Lalu, pelan-pelan, Mudasir angkat tangan dan mengakuinya.

Si Kiai lantas bertanya pada Mudasir perihal musabab ia tidur didapur. Berceritalah Mudasir akan tujuan dan maksudnya datang  ke tempat tersebut, sampai ia tertidur didapur. Mendengar cerita tersebut, si Kiai kembali bertanya pada para santri. "Siapa yang semalam menemuinya?," tanya Kiai.

Ketika ada salah seorang santri yang mengacungkan tangan, lantas Kiai Manab berpesan kepada semua santrinya. "Semua santri sebelum belajar kepada saya, belajar dulu sama beliau ini," begitu kira-kira ungkapannya.

Kisah tersebut melegitimasi akan bagaimana kecerdasan dan kegigihan KH Abdullah Faqih muda untuk menuntut ilmu. Keluasan ilmunya tak lantas membuatnya puas dan merasa angkuh. Ia tetap getol mencari ilmu, bahkan sangat keras.

Setelah itu, Faqih muda melanjutkan pengembaraannya ke Pasuruan. Disana, ia berguru kepada ulama besar asal Lasem yang bermukim di Pasuruan. Ulama tersebut adalah Kiai Siddiq yang kelak menetap di Jember. Dari Kiai Siddiq ini, banyak terlahir ulama besar. Baik secara biologis maupun ideologis. Diantara putranya, ialah KH. Achmad Siddik, Rois Syuriah PBNU periode 1984 - 1989.

Usai nyantri di Pasuruan, Kiai Faqih menyebrang ke Madura. Ia menuntut ilmu ke soko guru para ulama Nusantara, Syaikhona Kholil Bangkalan. Tak kurang dari sembilan tahun, ia menyerap ilmu dari waliyullah tersebut. 

Puas menuntut ilmu syariah, Kiai Faqih berkelana lagi menuntut ilmu hikmah. Tercatat ia singgah selama dua tahun di pesantren Kiai Sholeh Kaliwungu, Semarang. Lalu, setahun ke Kiai Syamsuri di Cirebon. Setahun kemudian ia berguru ke tanah kelahiran kakeknya, Banten. Tak tercatat kepada siapa ia berguru di bumi para jawara itu. 

Pada 1904, Kiai Faqih menyempurnakan ilmu dan juga rukun Islam ke tanah suci Mekkah. Di tempat kelahiran Islam ini, Kiai Faqih belajar lagi kepada Kiai Mahfud Termas (tentunya juga kepada para ulama lain sejamannya). Enam tahun lebih, ia tuntaskan dahaga ilmunya di tanah haram tersebut. 

Berbekal ilmu, spiritualitas, mentalitas, pengalaman dan jaringan Islam Nusantara yang telah dirangkai, mendorong Kiai Faqih untuk merintis pesantren di kampungnya. Ia memulainya sejak tahun 1911, namun baru mendapatkan legalitas dari Pemerintah Hindia Belanda pada 17 Agustus 1917. Pemberlakuan Ordonasi Guru menjadi rintangan administratif yang kerap mengkungkung pertumbuhan pesantren saat itu. 

Awalnya hanya dua tiga orang santri yang mengaji ke Kiai Faqih. Namun karena kealimannya, lambat laun Pesantren Cemoro mulai menarik minat masyarakat luas untuk belajar disana. Ratusan santri dari berbagai daerah, tidak hanya dari dalam Banyuwangi, juga turut berdatangan. 

Dari titik inilah, Kiai Faqih memulai pengabdiannya sebagai hamba Allah. Pengabdian bagi agama, bangsa dan umat manusia. (*)

Penulis adalah Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU di Banyuwangi.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES