Zarkasy Djunaidi, Kiai Banyuwangi Panutan Gus Dur

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – “Saya diperintahkan oleh lima orang sesepuh saya. Itu saja. Kalau mereka memerintahkan apa saja, masuk api, (ya) masuk api,” demikian KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam sebuah talk show di salah satu acara televisi nasional, Kick Andy.
Kelima orang sesepuh itulah, menurut Gus Dur, yang menjadi rujukannya dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Baik saat ia memutuskan maju menjadi presiden, maupun saat ia dengan legawa lengser dari kursi presiden.
Advertisement
Meskipun terus didesak oleh Andy F. Noya, presenter acara talk show tersebut, Gus Dur tetap bungkam, siapa sosok lima sesepuh tersebut. Meski demikian, bukan berarti cucu pendiri Nahdlatul Ulama itu, tak pernah membukanya sama sekali.
Suatu waktu, saat mengisi acara peringatan hari jadi ke-47 Yayasan Pendidikan dan Sosial Nahdlatul Ulama (YPSNU) di Surabaya, pada Ahad, 26 Agustus 2001, Gus Dur mengungkapkan empat diantara kelima sesepuh tersebut.
“Ada empat ulama Jawa Timur yang saya tidak kuasa menolak perintahnya, kalau mereka yang memerintah, saya tak akan berani membantahnya,” ungkap Gus Dur.
Ternyata, satu dari empat ulama Jawa Timur tersebut, ada nama KH. Zarkasy Djunaidi Banyuwangi (Tiga Kiai Khos, Ainur Rofiq Sayyid Ahmad). Penyebutan nama Kiai Zarkasy oleh Gus Dur sebagai salah seorang ulama yang menjadi panutannya, bukanlah hal yang mengherankan. Antara keduanya dikenal memiliki hubungan yang spesial. Hampir setiap kali datang ke Banyuwangi, ia menyempatkan diri untuk mampir ke Pesantren Bustanul Makmur, Genteng yang menjadi kediaman Almarhum Kiai Zarkasy.
Tentu saja, Gus Dur menempatkan putra pertama pasangan Kiai Djunaidi Asmuni dan Nyai Sholihah itu sebagai orang panutannya, bukanlah hal yang sembarangan. Jika melihat dengan seksama sosok dan kiprah dari kiai kelahiran Nampere, Galis, Pamekasan, Madura, pada 5 Februari 1942, tak salah Gus Dur patuh kepadanya.
Kiai Zarkasy dikenal sebagai seorang kiai yang terdiri dari perpaduan alim sekaligus wara’, ahli ibadah sekaligus aktif di organisasi sosial kemasyarakatan. Perpaduan tersebut, menjadikan sosoknya layak menjadi panutan. Dari sisi keilmuwan, Kiai Zarkasy merupakan perpaduan dari hasil pendidikan formal dan juga pesantren.
Sekolah formal ia tempuh hingga lulus Pendidikan Guru Agama (PGA). Sedangkan di pesantren, selain belajar kepada ayahandanya langsung, juga menempuh pendidikan di Pesantren Lasem di bawah asuhan Kiai Ma’sum, Kiai Mansur dan Kiai Baidlowi. Juga pernah nyantri di Pondok Poncol, Salatiga yang diasuh oleh KH.Ahmad Asy’ari. Ia juga pernah belajar kepada Kiai Zubair di Pesantren Al-Anwar, Sarang dan kepada Kiai Juaini di Tretek, Kediri.
Amaliah ibadah Kiai Zarkasy juga diakui banyak orang sebagai seorang yang rajin. Sholat lima waktu tak pernah dijalani tanpa berjamaah, bacaan aurad (wirid-wirid) senantiasa diamalkan tiap usai sholat Dluha, khatam al-Qur’an seminggu sekali, serta membaca Tafsir Jalalain setiap hari adalah sebagian amaliahnya yang banyak diketahui orang. Belum lagi amaliah-amaliah ibadah yang tak banyak diketahui.
Rajinnya beribadah, juga diiringi dengan aktivitas sosial kemasyarakatannya yang padat dan dirintisnya sejak belia. Ia tercatat pernah menjadi Ketua PC IPNU Blambangan pada dekade 60-an. Juga pernah menjadi Ketua PAC GP Ansor Genteng. Kemudian, ia aktif di kepengurusan PCNU Banyuwangi. Mulai jadi jajaran Ketua Tanfidziah hingga menjadi Rois Syuriah PCNU Banyuwangi (1991-2001). Ditambah aktifitasnya saat berkiprah di MUI Banyuwangi maupun di IPHI Banyuwangi.
Keunggulan Kiai Zarkasy juga ditunjang dengan sikapnya yang pengayom dan dermawan. Dua sikap ini, membuat ia digandrungi oleh masyarakat. Baik dari kalangan masyarakat awam hingga para kiai, umat Islam sendiri maupun non-muslim, pejabat sipil ataupun militer, semuanya menaruh hormat kepadanya.
Bukti kedekatan Gus Dur dan bagaimana pengaruh Kiai Zarkasy kepada masyarakatnya, terlihat saat terjadi saat ada upaya pelengseran Gus Dur dari kursi presiden Republik Indonesia. Di bawah Laskar Pembela Gus Dur, ribuan demonstran di Banyuwangi melakukan aksi blokade. Pelabuhan Ketapang dan jalur Gumitir ditutup paksa. Sontak saja, arus transportasi dari Jawa ke Bali maupun sebaliknya, tersendat.
Situasi semakin mencekam, saat para demonstran tak bisa dikendalikan oleh para stakeholder yang ada. Para pejabat maupun para kiai tak mampu meredam emosi massa yang tak rela Presiden kebanggaannya dilengserkan dengan cara-cara yang tidak konstitusional dan keji tersebut.
Mendengar situasi yang semakin runyam di ujung timur Pulau Jawa itu, Presiden Gus Dur dan juga Ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi menghubungi Kiai Zarkasy. Keduanya meminta tolong untuk meredakan gelombang demonstrasi yang berpotensi merugikan banyak pihak itu. Kiai Zarkasy yang saat itu, sedang menderita sakit yang cukup kronis, memaksakan diri untuk bangkit. Ia dengan dibonceng sepeda motor, menembus dinginnya malam sejauh 40 kilometer menemui ribuan massa di Pelabuhan Ketapang.
Di sana, Kiai Zarkasy disambut dengan hangat oleh massa yang sebagian besar jama’ahnya tersebut. Ia berpidato singkat dan meminta para demonstran membubarkan diri. Tak dinyana, massa yang sempat tak terkendali itu, bisa dengan mudahnya membubarkan diri. Tak sampai berhenti di sana, Kiai Zarkasy segera bertolak ke Gumitir yang berjarak kurang lebih 60 KM dari Ketapang. Kondisi sakit tak ia hiraukan. Ia kembali menemui massa dan memintanya bubar.
Pasca kejadian tersebut, karisma Kiai Zarkasy semakin diakui oleh banyak pihak. Lebih-lebih oleh Gus Dur. Dalam sebuah acara di Lapangan Maron, Genteng, bertepatan pada 10 November 2001, Gus Dur diundang oleh Kiai Zarkasy untuk menjadi pembicara utama. Di hadapan ribuan warga Nahdliyin Banyuwangi, Gus Dur kembali mengakui kepatuhannya kepada bapak delapan anak itu.
“Jika saja ada lautan api dari Jakarta sampai Banyuwangi, maka saya akan seberangi agar saya bisa menghadiri acara ini, menemui saudara saya, Kiai Zarkasy ini,” ungkap Ketua PBNU tiga periode tersebut.
Ternyata, ungkapan Gus Dur yang demikian dalam dan disampaikan sembari terisak tersebut, menjadi sebuah pertanda, bahwa pertemuan tersebut, adalah pertemuan terakhirnya. Tak sampai sebulan, kiai kharismatik di Bumi Blambangan itu, menghembuskan nafas terakhirnya. Tepat pada Ahad pagi, 2 Desember 2001. (*)
* Penulis adalah Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |