Kopi TIMES

Kiai Abdul Latief, Sosok Kiai Pejuang yang Tak Kenal Takut

Sabtu, 20 Januari 2018 - 10:30 | 296.01k
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: Dokumentasi TIMES Indonesia)
Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU. (FOTO: Dokumentasi TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Hampir semua tokoh pergerakan, ulama, politisi, pejabat, dan kalangan militer yang hidup di rentang waktu '60-an hingga '90-an mengenal nama Kiai Haji Abdul Latief Sudjak. Ia seorang ulama, politisi, pejuang sekaligus muballig kondang yang sangat berani. Perjuangannya yang tak kenal takut pada masa revolusi membuatnya menjadi tokoh yang pemberani menghadapi tekanan dari Orde Baru yang bengis di masanya itu.

Kiai Abdul Latief nama kecilnya adalah Abdul Rouf. Sebuah nama yang diberikan oleh Sayyid Abdullah bin Sholeh al-Habsy dari Pasuruan. Ia terlahir di Desa Kalibaru Wetan pada 7 Juli 1920 menjelang fajar subuh terbit. Putra dari Kiai Abu Sudjak dan Siti Sofwah merupakan anak yang dinanti-nantikan pasangan tersebut. Keduanya mengharapkan anak laki-laki setelah ketiga anak sebelumnya berjenis kelamin perempuan. Yaitu, Umamah, Juwariyah dan Khodijah.

Advertisement

Dari jalur bapak, Abdul Rouf masih memiliki darah biru yang tersambung dengan Keraton Ngayogyakarta Adiningrat. Sebagaimana termuat dalam Layang Kakancing Dalem Ngayogyakarta tertanggal 25 Mei 1987, bapak Abdul Rouf tersambung hingga ke Sultan Hamengku Buwono II. Tepatnya, Raden Mariya Abu Sudjak putra Raden Mas Khatifah K. Maja putra Raden Ayu Marsilah putra BRA. Martodiningrat putra KGP. Ap. Mangkudiningrat putra Sultan Hamengku Buwono II.

Sejak kecil sang kakek dari pihak ibu, KH. Abu Bakar Hasbullah telah memiliki firasat pada cucu lelakinya tersebut. Ia bakal tumbuh menjadi orang besar yang pemberani dan tak kenal takut menghadapi resiko apapun. Suatu hal yang tak aneh mengingat bibit yang tertanam didirinya adalah bibit-bibit bermutu. Satu sisi berasal dari bibit ningrat dan satu sisi yang lain memiliki bibit ahli ilmu agama (ulama).

Bibit yang baik pada Abdul Rouf semakin unggul tatkala dilengkapi dengan proses pendidikan yang baik. Tumbuh di kalangan keluarga terpelajar, ia pun memiliki akses pendidikan yang lengkap. Tak hanya pendidikan agama tapi juga pendidikan umum.

Pendidikan agama pada masa kecilnya lamgsung diajar oleh kedua orang tuanya. Sedangkan pendidikan umumnya ditempuh di Sekolah Rakyat Kalibaru Wetan. Setelah dianggap cukup dewasa, Abdul Rouf dipondokkan di Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh Hadratusysyekh KH. Hasyim Asyari.

Tak berhenti hanya di Jombang, Abdul Rouf setelah dari Jombang melanjutkan pendidikannya di Solo. Selain belajar di Pesantren Keprabon Wetan, ia juga belajar di Arabiyah Islamiyah School. Keduanya berada di Solo.

Ditambah lagi dengan belajar langsung kepada para ulama dan tokoh-tokoh besar yang hidup di zamannya. Ia mempelajari hal-hal yang tak ada di dunia pendidikan pesantren dan sekolah pada umumnya. Seperti halnya ilmu organisasi dan gerakan.

Sekembalinya ke Kalibaru, Abdul Rouf memulai pengabdiannya di Ranting ANO (Ansoru Nahdlatoel Oelama) Kalibaru Wetan. Dinilai sebagai kader yang mumpuni di badan otonom cikal bakal GP Ansor itu, ia dipercaya sebagai pengurus bagian penerangan di MWC NU Kalibaru.

Memasuki masa revolusi, Abdul Rouf pun turut angkat senjata. Ia menjadi pasukan Hizbullah di bawah kepemimpinan KH. As'ad Syamsul Arifin. Pasukan ini dikenal dengan pasukan kuda putih karena kendaraan yang biasa ditumpangi oleh pimpinannya, Kiai As'ad, adalah seekor kuda putih. Jangkauan perjuangannya mencakup sekeresidenan Besuki yang meliputi Banyuwangi, Jember, Situbondo dan Bondowoso.

Pada suatu saat segerombolan pasukan NICA, pasukan Belanda dan sekutunya yang ingin merebut kembali kemerdekaan Indonesia, menyatroni Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo. Pesantren Kiai As'ad yang kerap menjadi markas dan persembunyian para pejuang. Mereka bermaksud untuk menangkap Abdul Rouf dari Banyuwangi. Tentu saja Kiai As'ad menghalanginya.

"Tidak ada Abdul Rouf di sini," bantah Kiai As'ad pada pasukan penjajah itu.

Kala itu, Kiai As'ad tak bermaksud berbohong walaupun kepada musuh sekalipun. Karena sebelumnya Kiai As'ad telah mengubah nama Abdul Rouf menjadi Abdul Latief. Jadi, kalau mencari Abdul Rouf tidak ada, yang ada Abdul Latief.

"Ganti nama biar menjadi lebih berani," kurang lebih demikian pesan Kiai As'ad.

Sejak kejadian tersebut, namanya lebih populer dengan sebutan Abdul Latief Sudjak. Entah sugesti atau seperti apa, sejak itu pula keberanian dan kenekatannya semakin berlipat.

Keberanian itu semakin kentara ketika terjadi peristiwa-peristiwa besar di Republik Indonesia. Seperti saat meletusnya tragedi G30S/PKI. Ia menjadi Ketua Badan Kontak Komando Siaga (BKKS) Banyuwangi. Ia pada saat itu menjabat sebagai Ketua NU Banyuwangi. 

Saat terjadi penyekapan terhadap aktivis NU oleh anggota PKI di Kelurahan Temenggungan kala itu, Kiai Abdul Latief mengumpulkan massa yang sangat banyak di alun-alun depan Masjid Jami' Banyuwangi (kini menjadi Taman Sritanjung). Di atas panggung ia tanpa rasa takut berbicara lantang terkait upaya kudeta PKI. Di atas panggung itu pula ia membakar semangat para hadirin yang terdiri dari massa NU dan PNI itu, untuk menyerbu Temenggungan yang kala itu menjadi basis PKI dan sempat melakukan penyekapan pada kader-kader NU. Seketika itu pun massa bergerak dan mengobrak-abrik Temenggungan.

Kisah-kisah keberanian Kiai Abdul Latief berlanjut di masa Orde Baru. Di bawah rezim Soeharto ini, kebebasan politik warga NU direpresi sedemikian rupa. Partai-partai berlatarbelakang Islam difusikan menjadi satu di Partai Pembangunan Persatuan (PPP). Tak hanya sampai di situ, setiap kampanye yang dilakukan oleh PPP selalu saja dihalangi oleh aparat saat itu.

Jika PPP akan kampanye pada siang hari, maka massa PPP harus datang lebih awal. Karena jika datang waktu acara akan dihadang tentara yang menjaga di jalan-jalan menuju ke lokasi. Berbagai cara dilakukan untuk menghalangi. Terkadang juga melakukan sabotase saat kampanye. Seperti halnya larangan meminjam pengeras suara dan lain sebagainya.

Di saat kegentingan yang demikian, Kiai Abdul Latief tak kendur sedikitpun keberaniannya. Ia tetap lantang menyuarakan kebobrokan pemerintahan dibawah Orde Baru. Tak segan menyerukan memilih PPP, partai yang ia ketuai di Banyuwangi, dan melarang memilih Golkar, partai yang menjadi kendaraan penguasa kala itu.

Keberanian Kiai Abdul Latief mengkritik pemerintah saat itu pun membuat merah telinga  penguasa. Pada rentang waktu tahun 80-an, ia pun diseret kedalam jeruji besi atas tuduhan menghasut massa melawan pemerintah. Tentu saja tuduhan tersebut mengada-ada. Selang beberapa waktu ia pun dibebaskan.

Meski telah merasakan dinginnya sel penjara, tak menyurutkan keberaniannya. Ia tetap vokal mengkritik dan tak segan-segan melakukan kontak fisik ketika melihat hal-hal yang tak sesuai dengan pandangannya. Keberanian yang muncul atas doa leluhur dan ulama itu, terus ia bawa hingga Allah SWT memanggilnya. (*)

* Penulis  adalah  Ayung Notonegoro, penggiat di Komunitas Pegon yang bergerak dalam meneliti, mendokumentasi, dan mempublikasi sejarah dan hal ihwal tentang pesantren dan NU.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES