Kopi TIMES UIN Malang

Carilah Ilmu Agama Bersama Guru, bukan dengan Google

Sabtu, 29 September 2018 - 08:37 | 189.00k
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Yunus. Dosen Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Malang. (Grafis: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANGFENOMENA akhir zaman ditunjukkan dengan banyak orang yang mencoba memahami ilmu agama dari membaca literatur yang ada di Google. Mesin pencari ini mampu menyediakan berbagai pengetahuan tentang agama lengkap dengan dalil dan pendapat yang berbeda. Era milineal dengan gampangnya menyediakan itu semua tanpa menghadirkan sosok seorang guru. Sehingga yang terjadi adalah munculnya “ustad gadungan” atau “persilihan pendapat/ debat” antara mereka yang paham betul dengan mereka yang baru tahu tentang persoalan itu dari sumber yang didapat di Google.

Menuntut ilmu disyariatkan oleh Agama. Hukumnya wajib ain. Artinya berdosa jika dengan sengaja meninggalkan proses pencarian ilmu. Meskipun perintah ini untuk ilmu agama, tetapi hemat penulis semua ilmu yang mendukung untuk beribadah kepada Allah SWT wajib untuk dicari. Oleh karenanya ada beberapa syarat agar ilmu yang diperoleh bermanfaat, barakah, dan memberi kemanfaatan kepada orang lain.

Advertisement

Seperti yang disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa ada enam perkara yang harus disiapkan oleh para pencari ilmu. Yaitu, cerdas, semangat, sabar, modal (uang), guru, dan waktu yang lama. Dianatara enam perkara itu fokus saya di memilih guru yang tepat.

Memilih guru dalam proses pencarian ilmu sangat dianjurkan. Guru yang harus dicari adalah orang yang lebih ‘alim lebih wira’i (orang yang mampu menjaga dari perkara haram), dan dianjurkan lebih tua usianya, agar ketadziman senantiasa terjaga. Dulu, tradisi ini senantiasa dijaga. Orang tua yang akan memondokan putra putrinya selalu mencari rujukan siapa kyai yang memimpin pondok pesantren itu. Bagaimana kealiman dan kewira’ian guru (kyai) yang akan dituju. Hal ini bisa dilakukan dengan mencari informasi dan bermusyawarah dengan orang yang lebih tahu. Mengapa ini penting dilakukan karena guru akan mengantarkan manusia kembali kepada Rabnya.

Kesalahan mencari guru akan menjerumuskan kepada hal-hal yang dilarang oleh agama meskipun kedok yang dibangun adalah belajar agama. Imam Al Ghazali pernah menyampaikan ada dua orang yang ditakutin didunia ini, pertama ulama yang tidak amanah, dan dokter yang tidak menjalankan tugas dengan baik. Ulama yang tidak amanah lebih bahaya dari mereka yang tidak amanah tapi bukan dari kalangan ulama. Karena ulama memahami agama tapi tidak menjalankan agama dengan baik. Begitu juga dengan dokter yang tidak amanah, dia akan mengobati pasiennya yang justru akan membahayakan pasiennya.

Kondisi ini berbalik dengan kondisi kekinian. Kidz zaman now atau generasi milineal lebih sering lari ke google dari pada besimpuh dihadapan guru. Google memang menyediakan segalanya tapi bersimpuh dengan guru tentu akan memberikan dampak yang berbeda. Setidaknya dari beberapa hal seperti berikut ini.

Pertama, belajar dengan guru maka guru akan senantiasa mendoakan murid-muridnya. Doa guru istijabah untuk kemuliaan ilmu yang dipelajari. Sementara google tidak mampu menyediakan ruang transenden untuk mendoakan pembacanya. 

Kedua, adanya ikatan batin anatara guru dengan murid. Ikatan batin tentu akan melestarikan kemuliyaaan ilmu yang dipelajari. Hadirnya guru dihadapan murid akan memberikan nuansa yang berbeda. Guru akan menjelaskan ilmu tidak hanya transfer pikiran, tetapi juga transfer rasa. Ada rasa yang dirasakan, dan guru bisa membahasakan sesuai dengan kapasitas murid yang dihadapi. Berbeda dengan Google yang tidak bisa melihat siapa yang dihadapi. Google tidak bisa mengfilter informasi yang pas dengan pembacanya. Selain itu pengguna Google tidak bisa menjalin komunikasi bathin dengan penulis yang tulisannya terunggah di Google. 

Ketiga, belajar agama tentu harus bertahap. Dari yang mudah menuju hal yang lebih kompleks. Seperti yang disampaikan oleh Sayyidina Ali, bahwa menuntut ilmu butuh waktu yang lama. Perbedaan pandangan ketika belajar fiqh misalnya, guru dapat menjelaskan beberapa pandangan yang ada. Berbeda dengan ketika kita berhadapan dengan Google. Tidak adanya kurikulum di Google seringkali pengguna tidak bisa membedakan apakah persoalan yang dihadapi itu mudah atau sulit, pada tingkat apa, bagaimana menyikapi perbedaan yang ada. Seringkali interaksi pengguna dengan Google hanya sekedarnya tanpa betul-betul mendalami apa yang sedang dipelajari.

Ketiga hal tersebut hanyalah sedikit dari pertimbangan betapa pentingnya menuntut ilmu dengan guru. Selain itu berguru langsung juga mendapati teman yang banyak. Teman seperguruan dapat membantu kesulitan  selama menuntut ilmu. Teman yang baik akan mengantarkan kejalan yang benar. Begitu sebaliknya, teman yang tidak benar akan mengantarkan pada kemungkaran.

Akhirnya, mencari ilmu adalah pekerjaan yang mulia dan agung yang tentu akan banyak ditemukan kesulitan dan rintangan. Tapi atas petunjuk Allah SWT semua itu akan terlewati dengan baik. Oleh karenanya mencari ilmu dengan diikhtiarkan terlebih dahulu mencari guru yang ‘alim dan wira’i adalah hal yang penting. Diera milineal informasi yang disediakan di Google bukan tidak penting, tapi menjadikan rujukan Google tanpa menghadirkan sosok Guru sungguh akan menjerumuskan pencari ilmu itu sendiri. Semoga kita terus memiliki Guru sepanjang hayat dihati kita masing-masing. Aamiin. Wallahuaklam bis shawab. (*)

 

* Penulis Muhammad Yunus, Dosen Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Malang (Unisma Malang)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES