Kopi TIMES

Ibu: "Jimat" Kehidupan

Minggu, 23 Desember 2018 - 12:12 | 482.21k
Suheri, dosen di STAI At-Taqwa Bondowoso (Foto: TIMES Indonesia)
Suheri, dosen di STAI At-Taqwa Bondowoso (Foto: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BONDOWOSOADA seorang anak yang mengeluhkan kekurangan orang tuanya. Datanglah dia pada seorang Kiai. Dia katakan, "Ibu saya itu orangnya kuno dan tidak berpendidikan. Akibatnya, saya merasa teraniaya menjadi anak". Lalu, dengan tenang sang Kiai mengatakan, "Tulislah semua keburukan ibumu!". Kemudian ditulislah keburukan-keburukan ibunya, Ibuku Pemarah, Kurang perhatian, Suka "ngatur-ngatur", Pelit, suka menyalahkan, pendendam, pilih kasih, tidak adil dan sebagainya. Setelah selesai, Sang Kiai pun berkata.... "sekarang, tulislah secara jujur apa saja jasa dan pengorbanan ibumu….!"

Akhirnya si anak merenung, segudang pengorbanan dan kebaikan terlintas dalam benaknya. Hatinya merasakan energi pengorbanan yang sangat besar bahkan nyawa menjadi taruhannya. Sewaktu diperutnya, menyiksa ibu bahkan mengisap darah darinya, kesulitan tidur, berdiri, berjalan terasa berat, bahkan berbaring terasa sakit.

Advertisement

Saat tiga bulan pertama mual menyiksanya, muntah karena ada kita di dalamnya. Ketika hendak lahir ke dunia, yang Ibu pikirkan adalah anaknya, bahkan bila harus ada pilihan pengorbanan nyawa. Dia lebih memilih keselamatan anaknya dari pada dirinya. Nyawanya tidak berharga dan direlakan demi senyum dan kebahagiaan anaknya sebagai penyambung darah dagingnya.

Setelah lahir yang ditanya keselamatan anaknya. Dirinya, fisiknya yang dulu dibanggakan tidak lagi berarti dibanding sang anak. Tangisan anak adalah senyumnya, satu persatu jari saya dihitung dan dibelainya meski rasa sakit masih terasa.

Ketika sang anak terus menulis pengorbanan ibunya, tak terasa linangan air mata tak terbendung menetes dalam catatannya.  Semakin menyadarkan bahwa untaian pengorbanan ibunya tak sebanding dengan catatan keburukannya, kebaikan yang telah ia perbuat untuk memuliakan ibunya, sama sekali tidak ada harganya. Ternyata selama ini ia membeli pengorbanan ibunya dengan harta, jabatan, pangkat dan nama besarnya. Semakin ia ingat kebaikan Ibunya, menyadarkan bahwa sikapnya selama ini, terasa seperti ada hantaman Gada membentur jiwanya.

Mari kita renungkan bersama, pada waktu bayi, tidak mengenal siang dan malam kita bangun, ngompol dan merepotkan sesuka hati. Padahal, Ibu hampir tidak tidur semalaman. Rasanya beliau tidak rela bila ada seekor nyamuk yang mengganggu kita, bahkan kita seenaknya tidur dipangkuannya. Sedangkan beliau tidur dikursi dengan kondisi duduk.

Ketika kecil kita mulai bertingkah nakal, tetapi beliau bahagia memamerkan dan membanggakan kita pada tetangga dan temannya. Seolah menghapus penderitaan dan beban yang dipikulnya, padahal hutang kemana-mana demi memenuhi asupan susu atau kebutuhan kita, kadang hutang untuk membeli sepatu dan pakaian layak untuk kita.

Saat menjelang sekolah keduanya dengan begitu semangat peras keringat, banting tulang mencari nafkah dan mengumpulkan biaya pendidikan kita, meski harus dengan dicicil pada tetangga, harapannya agar kita bisa setara dengan teman-teman yang lain. Asal keduanya bisa melihat kita bisa tertawa dan bahagia, sudah cukup membayar rasa perih karena lapar, rasa lelah karena kurang istirahat, dan derita karena harus menangung malu hutang pada tetangga. Meski hakikatnya mereka menahan lapar, namun terasa puas asal anak-anaknya bisa kenyang.

Namun, kenyataannya tidak sedikit bakti pada keduanya mengecewakan. Semakin dewasa, mata menatap sinis keduanya. Jangankan mencium tangan Ibu, untuk sebuah senyumpun kadang berat untuk melakukannya. Bahkan ucapan dan sikap kita mengiris hati dan perasannya. Na'udzubillah.

Dengan mudahnya anak menyuruh orang tuanya, padahal beliau bukan pesuruh atau pembantu. Padahal tenaga, pikiran, keringat dan darahnya habis untuk memperjuangkan kesuksesan anak-anaknya. Lebih parah lagi bila sampai menitipkan keduanya ke panti jompo. Ini sangat tercela. INGAT!!! Bila dzalim pada keduanya, hukuman Allah Cash diberikan NO Credit.

Mestinya, di usia senja kesempatan kita merawat dan membalas keduanya, Allah sedang memberi kesempatan Ridha dan Rahmat  pada kita melalui bakti pada keduanya. Meski balasan kita tidak akan pernah sepadan.

Dawuh KH M. Imam Hasan, seandainya separuh dunia ini milik kita dan digunakan untuk menebus kebaikannya tidak akan pernah cukup menggantikan kebaikannya. Bahkan nyawa kita juga menjadi penebus pengorbanannya, tentu tidak akan pernah cukup melunasinya.

Beruntunglah, siapapun yang orang tuanya masih ada, karena bila Bapak atau Ibu sudah terbungkus kain kafan, kita tidak bisa lagi mencium tangan atau menatap wajahnya. Kita harus menata tekad untuk berbakti pada keduanya, dan minimal tidak menorehkan goresan luka dihatinya.

Membahagiakan keduanya tidak cukup dengan harta, jangan beli orang tua dengan harta. Karena di usia senja harta tidak membahagiakan dan menentramkan jiwanya, cukuplah bakti dan kemuliaan akhlak pada keduanya, untuk mengobati rasa penat dalam perjalanan hidupnya.

Sosok orang tua memang tidak selalu ideal sesuai harapan kita, Dawuh Guru saya "Orang tua ibarat Qur'an Rusak" (meski analogi ini tidak tepat 100%). Dibaca tidak bisa, namun bila dibuang bisa kualat. Kalau dawuh KH. Mas Achmad Syaifi Faroid "Jadikan Orang Tuamu Sebagai Jimat" karena untaian do'a-do'anya pada kita tidak ada hijab antara dirinya dengan Allah swt.

Seperti apapun, keadaan orang tua kita syukuri, bila melihat kekurangan-kekurangannya maka kita harus berada di barisan utama untuk menutupi aibnya, agar beliau selamat dari kehinaan atas kekurangannya.

Bagaimana darah dagingnya melekat dalam diri kita. Bila keduanya belum sholeh atau sholehah kita yang harus mati-matian memohon kebaikan keduanya, bila kedua bergelimang dosa maka kita yang harus berjuang keras supaya dosanya diampuni Allah swt. Kalau kedua belum ta'at kita yang harus membuktikan bahwa diri kita sedang berjuang keras menuju arah ketaatan itu.

Setiap orang berproses, ada yang awalnya kurang ilmu, namun lambat laun ilmunya bertambah. Jadi, kita harus sikapi kekurangan orang tua kita dengan cerdas dan kelapangan hati. Bagaimanapun juga, tidak ada manusia yang sempurna. Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk memuliakan kedua orang tua kita, khususnya ibu. Amin. (*)

* Penulis Suheri adalah dosen di STAI At-Taqwa Bondowoso, tenaga pendidik di Pondok Pesantren Alhasani Allathifi Bondowoso.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES