
TIMESINDONESIA, JAKARTA – SEPAK BOLA bukan semata pertandingan olah raga. Sepak bola faktanya telah jauh melangkahi garis demarkasi lapangan tempat ia semestinya dimainkan. Atmosfernya yang hanya berlangsung dalam tempat dan waktu yang terbatas, memiliki pengaruh yang jauh lebih luas serta efek sejarah yang begitu panjang.
Sejarawan Jerman Joachil Fest pernah menulis, bahwa embrio Jerman modern lahir dalam masa 90 menit pertandingan Jerman Barat melawa Hungaria pada Piala Dunia 1954. Setelah tercabik-cabik akibat kekalahan pada Perang Dunia 2, Jerman mengalami kehancuran 'luar dalam'. Kebanggan mereka hilang sebagai sebuah bangsa, hingga melihat bendera kebangsaanpun tak lagi mencuatkan senoktah cinta di dada mereka.
Advertisement
Namun, kemenangan Jerman atas Hungaria di laga final dengan skor 3-2 telah mengubah sejarah mereka di kemudian hari. Karena di lapangan itulah, nasionalisme Jerman kembali lahir. Kebangaan dan identitas sebagai bangsa ditemukan kembali. Itulah "The Miracle of Berlin" momentum yang telah melahirkan kembali Jerman modern.
Dengan demikian, sepak bola telah menjelma menjadi instrumen pembentuk sejarah peradaban dunia. Tidak heran jika Inggris 'mati-matian' memperjuangkan hak 'paten' sebagai negeri asal sepak bola. Bagi mereka, sepak bola bukan semata kesenangan. Sepakbola harus dimaknai sebagai a way of life, kata Bob Paisley, legenda ternama Liverpool sebagaimana dikutip Adam Powley dan Robert Gillin dalam Shankly's Village: The Extraordinary Life and Times of Glenbuck and Ist Famous Footballing Sons. Di lain ungkapan, saat menggambarkan tempat kelahirannya, Durham, dekat Sunderland, Paisley mengidentifikasinya sebagai 'tempat dimana batu bara menjadi raja dan sepak bola menjadi agama' (Powler).
Keyakinan bahwa sepak bola lebih dari sekedar olah raga tampaknya juga diamini oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Secara retoris, Gus Dur menulis "dari hal-hal seperti ini, bukankah kita akan diperkaya dalam pemahaman kita tentang kehidupan manusia, oleh sesuatu yang terjadi di lapangan sepak bola?" (Kompas/18/07/94).
Bagi Gus Dur sepak bola mengajarkan banyak hal. Lapangan sepak bola menjadi miniatur yang menggambarkan proses kehidupan yang dijalani manusia. Sebagai jalan hidup, sepak bola menyediakan sekian banyak referensi yang bisa lebih memperkaya khazanah kehidupan kita.
Karena itulah, kita sering menemukan bagaimana anasir sepak bola secara subtil terefleksikan dalam beberapa 'bahasa' yang ditunjukkan Gus Dur. Hal ini menunjukkan bahwa Gus Dur menginsafi fleksibilitas unsur-unsur sepak bola yang bisa digunakan dalam menjelaskan berbagai fenomena kehidupan yang lebih kompleks. Demikian juga sebaliknya, sepak bola menjadi wilayah yang ramah dijamah oleh berbagai perspektif 'dunia luar' yang secara langsung tak terkait dengannya.
Di samping politik, dalam banyak analisis sepak bola-nya, Gus Dur memiliki perhatian yang khusus terhadap urgensi kemampuan memimpin (leadership) pelatih sebagai nahkoda yang akan mendeterminasi bagaimana pertandingan berjalan dan berakhir dengan kemenangan atau kekalahan. Sisi leadership yang Gus Dur dieksplorasi begitu mendalam dalam setiap analisis sepak bola yang dia lemparkan, sangat mudah kita temukan dari karakter kepemimpinan yang diterapkannya.
Gus Dur percaya, eksistensi pelatih menjadi faktor paling menentukan. "Disini hanya ada satu orang pertama', demikian tulis Gus Dur mengutip Alf Ramsey perihal vitalnya keberadaan pelatih sebagai pemimpin dalam sebuah tim
Kepemimpinan ala Gus Dur
Gus Dur setidaknya mengetengahkan tiga kapasitas yang harus dimiliki seorang pelatih sebagai pemimpin, sebagaimana ketiganya juga dapat diterapkan dalam dunia kepemimpinan secara luas.
Pertama, pemimpin harus cermat membaca situasi dan kondisi yang dihadapi untuk menentukan taktik dan strategi bermain yang akan diterapkan. Dalam taktik perang klasik, Sun Tzu mengetengahkan prinsip 'tanah' yang melambangkan kemampuan untuk membaca kekuatan lawan, medan pertempuran, serta peluang kemenangan.
Dengan bahasa yang berbeda, taktik klasik tersebut juga digunakan Gus Dur dalam serangkaian analisa sepak bola yang dibuatnya. Pembacaan terhadap 'medan' pertandingan dan karakter lawan secara cermat akan melahirkan taktik dan strategi 'bermain' yang bisa diandalkan. Ketika mengulas betapa Brazil yang superior hanya mampu memetik kemenangan tipis 1-0 atas Swedia pada Piala Dunia 1994, Gus Dur menyindir alibi Carlos Alberto Parreira saat menyebut faktor kecemerlangan penjaga gawang Swedia, Ravelli sebagai benteng yang menghalangi timnya meraih kemenangan besar. Padahal, 'Ravelli hanyalah salah satu dari mata rantai pertahanan ciptaan Svensson tersebut', tulis Gus Dur memuji kejeniusan pelatih Swedia Tommy Svensson.
posisi Gus Dur, bukan pemain yang menentukan jalannya pertandingan. Kejeniusan pelatih di luar lapangan dalam merancang strategi dan taktik permainan itulah sejatinya yang akan 'mentakdirkan' hasil akhir pertandingan. Karena itulah, mudah kita memahami kenapa ada banyak pemain bintang dunia yang lantas pudar kebintangannya saat mulai beralih menjadi pelatih.
Kedua, seorang pelatih harus tepat mengukur kemampuan pemain sehingga organisasi permainan yang diterapkan bisa berjalan efektif. Organisasi permainan yang ideal akan lahir mana kala pelaih sebagai pemimpin jeli meletakkan skill dan gaya bermain masing-masing pemain secara proporsional. Sederhananya, the right player on the right place.
Kapasitas inilah yang berhasil melambungkan Dic Advocaat sebagai pelatih briliah di antara deretan pelatih lainnya pada Piala Dunia 94, yang mampu membaca karakteristik kemampuan para pemain Belanda sehingga berhasil menerapkan pola permainan 'pola acak' (random patterns) yang sulit dibaca lawan. Dalam pembacaan Gus Dur, pelatih ini menginginkan Belanda menjadi tim yang terbangun dengan kekuatan merata di seluruh sisi. Istilah Gus Dur, 'orderdil yang dapat dipertukarkan' (interchangable parts).
Sementara kapasitas ketiga, seorang pelatih, akan halnya pemimpin dalam arti luas, harus dibekali kemampuan diskresif di mana pada masa-masa genting, dia harus berani mengambil keputusan yang tepat. Kecermatan membaca lawan serta kejeniusan membangun organisasi pemain, kadang harus buyar ketika terjadi situai tak terduga yang memaksa perubahan skenario permainan secara cepat.
Dalam situasi demikian, selama 90 menit pertandingan yang berlari begit cepat, mentalitas seorang pelatih akan diuji. Berfikir jernih dalam keadaan genting, tentu tidak mudah dilakukan. Namun seorang pemimpin, harus dibekali kematangan mengatasi hal-hal insidentil semacam itu.
Gus Dur mencontohkan ujian kematangan seorang pelatih dalam menghadapi situasi extraordinary, dalam sosok Arrigo Sachi dan Carlos Parreire saat Italia bertemu Brazil di final Piala Dunia 94. Kedunya dinilai gagal menghadirkan permainan yang sensasional untuk sekelas final kompetisi akbar. Hasilnyapun mengecewakan, bermain dalam tempo rendah cenderung monoton dan berakhir dengan skor kaca mata sehingga harus ditentukan lewat babak penalti.
Bagi Gus Dur kedua pelatih adalah contoh dari minusnya kemampuan mengambil keputusan secara tepat pada saat-saat yang menentukan. Ada kehati-hatian yang berlebihan dalam dirinya, lebih tepatnya psikologi ketakutan yang biasa dihadapi setiap pemimpin pada situasi-situasi kritis. Ketidakmampuan mengatasi psychology of fear inilah yang membuat keduanya gagal menghadirkan sepak bola atraktif di penghujung kompetisi.
Kapasitas tersebut lahir dari analisis Gus Dur atas situasi yang lahir di tengah lapangan. Namun tidak salah jika mereplikasinya dalam konteks kepemimpinan yang lebih luas. Karena sepak bola, sekali lagi kata Paisley, (to be seen) not just as a recreation but as a way of life. (*)
* Penulis : Hasanudin adalah CEO Lagasport dan Calon Anggota DPRD Jatim Dapil Situbondo-Bondowoso-Banyuwnagi
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |