Membumikan Nilai-Nilai Kemanusiaan ala Gus Dur

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – KH Abdrurrahman Wahid atau yang populer dipanggil Gus Dur, sudah Sembilan tahun lalu meniggalkan kita. Namun jejak pemikiran dan perjuangnnya dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan masih kuat terasa di tengah-tengah kita.
Gus Dur sempat memimpin negeri ini sekalipun hanya sekitar dua tahun setelah dilengserkan dari kursi kepresidenan. Dalam pemerintahannya, Negara dalam keadaan genting, terjadi kerusuhan, gerakan separatis, konflik berbau Sosial, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) menyelimuti suasana bangsa.
Advertisement
Namun berkat kesungguhan dan kelincahan dalam menahkodai politik bangsa ini akhirnya satu-persatu masalah bangsa teratasi dan Indonesia pun tetap utuh.
Tepat pada tanggal 30 Desember 2009 Gus Dur menghembuskan nafas terakhirnya. Ucapan belasungkawa pun muncul dari berbagai lapisan masyarakat baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Hingga kini, tempat persinggahan mendiang Gus Dur ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai kalangan agamawan, suku, etinis dan golongan. Seolah-seolah mereka ingin mencari secercah cahaya dari mendiang Gus Dur.
Gus Dur adalah sosok pemimpin yang kompleks, mulai dari kemampuan agama, pemikiran keislaman, politik hingga budaya. Pemikiran dan sepak terjangnya hingga kini masih terus dihembuskan oleh masyarakat, terutama kelompok Gurdurian (pengikut Gus Dur).
Diantara pemikrian Gus Dur yang cukup relevan dalam kondisi bangsa saat ini adalah keberpihakannya pada kalangan minoritas, kelompok lemah dan pinggiran. Makanya tidak heran jika Gus Dur diterima oleh semua kalangan.
Berbasis Pada Nilai-Nilai Kemanusiaan
Belakangan, kita cukup terkuras dengan maraknya tindakan-tindakan intoleransi yang makin menguat di kalangan masyarakat. Tindakan tersebut bermunculan di dunia maya maupun dunia nyata, seperti bulliying, sikap arogan, antipasti bahkan melawan hukum dan main hakim sendiri.
Sikap intoleransi tersebut disinyalir akibat perbedaan paham keagamaan, latar belakang suku, agama, dan golongan. Hal yang menghawatirkan sekaligus menjadi ancaman bagi keutuhan bangsa.
Terkikisnya rasa toleransi di masyarakat terjadi bukan hanya pada kalangan masyarakat awam, tapi justru kalangan terpelajar. Di berbagai kampus aroma gerakan intoleransi pun menguat.
Kejadian ini tentu tidak bisa dibiarkan demi keutuhan bangsa. Fenomena inilah yang menjadi keprihatitan Gus Dur dalam politik kebangsaannya, sehingga ia dengan keras melawan gerakan yang merongrong kesatuan.
Sosok Gur Dur yang nyentrik dan bersahaja, bukan hanya melawan intoleransi tapai rela mengorbankan jabatannya demi keutuhan bangsa. Tidak heran jika beliau bukan hanya diterima di kalangan umat Islam yang nota bene seagama, tapi juga pemeluk agama lain, suku, budaya dan lapisan masyarakat lainnya. Bahkan sampai hari ini kuburan (maqbarah) beliau ramai dikunjungi oleh berbagai kangan masyarakat.
Bukti nyata keberhasilan Gus Dur dalam membangun kesetaraan dan egalitarianism yang melahirkan sikap toleransi yang utuh.
Di Negara yang beranekaragam seperti Indonesia, potensi perpecahan sangat tinggi, apa lagi dengan munculnya beragam paham yang eksklusif, anti dialog dan merasa paling benar sendiri.
Paham tersebut terus digulirkan di tengah-tengah masyarat melalui doktrin keagamaan yang monolog dan tekstual. Proses doktrinasi dan transimisi paham keagamaan tersebut di gulirkan secara sistematis dan terstruktur, sasarannya bukan hanya kalangan masyarakat awam tapi juga kaum terpelajar yang nonabene paham keagamaanya sangat minim.
Harus diakui, bahwa yang muncul di permukaan, sikap intoleransi ini seringkali muncul dari oktom umat Islam. Sementara meraka adalah golongan mayoritas ketimbangan golongan agama yang lain.
Pada sisi ini Gus Dur meyadari bahwa toleransi harus diserukan pihak mayoritas. Pada sisi lain paham keagamaan dan aliran di tubuh umat Islam sangat beragama. Pada posisi inilah umat Islam harus bisa menjadi pelindung bagi kalangan minoritas. Sekalipun masalah tersebut sangat konpleks dan tidak mudah.
Maka menjadi wajar – kalau tidak dikatakan sebuah keharusan - jika Gus Dur selalu meyuarakan pembelaannya terhadap kalangan minoritas, masyarakat pedalaman dan rakat pinggiran yang selalu jadi korban diskriminasi dan tindakan intoleransi.
Pada konteks ini Gus Dur tidak lagi melihat perbedaan agama serta latar belakang identitas golongan tapi lebih melihat pihak mana yang jadi korban tindakan intoleransi akibat cara pandang dan tindakan yang salah.
Jadi pembelaannya bukan karena kesamaan latar belakang, suku dan agama tapi lebih karena rasa kemanusiaan dalam memperjuangan keadilan. Sebab yang meyoritas dan minoritas, pinggiran mapaun perkotaan memiliki hak sama untuk mendapatkan perlakukan yang setara di muka hukum maupun di lingkungan sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Cara pandang yang diktriminatif, melihat pihak lain sebagai musuh karena perbedaan paham dan latar belakang inilah yang menjadi musuh Gus Dur. Hal yang barangkali kurang kita sadarai karena cara pandang yang parsial dalam melihat perbedaan.
Biasanya tindakan distrimatif cenderung lebih dipengaruhi karena paham keagamaan. Sehingga mengukur orang lain dengan cara pandangnya sendiri, tak jarang dengan perspektif teologis-normatif. Cara pandang yang cukup sempit yang pada gilirannya adalah munculnya klaim kebenran (truth claim) dan menghukumi pihak lain dengan ukuran-ukuran teologi yang dianut.
Di sini, akhirnya perdedaan menjadi malapetaka, sebab semua harus tunduk dengan pemahaman keagamaan golongan tertentu. Adalah konsekwensi logis jika kemudian yang muncul kepermukaan adalah narasi kafir, haram, murtad, syirik, surga dan neraka.
Secara kuantitas, kelompok-kelompok intoleransi relatif kecil, tapi cukup menguras perhatian karena mengancam kenyaman dalam pergaulan sosial. Sebenarnya secara dasariah golongan mayoritas, elit politik, konglomerat, dan pemodal memiliki potensi yang kuat menindas yang minoritas, minoritas secara kuantitatif maupun kualitatif.
Oleh krenanya Gus Dur selalu menampilkan keberpihakannya pada mereka yang berpotensi ditindas menyaurakan pentingnya kesetaraan dengan cara pandang kemanusiaan.
Artinya Gus Dur memposisikan orang lain, baik golongan yang berbeda dengan dirinya secara keyakinan maupun latar belakang dilihat kedudukannya sebagai manusia, sebagai manusia Indonesia yang memiliki hak yang sama dan kebuhuhan dasar yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang adil, rasa aman dan nyaman dalam pergaulan antar sesama.
Tidak melihat orang lain karena idintetitas agama, suku, dan paham keagamaanya. Sebab menurut Gus Dur hal itu adalah amanat konstitusi yang harus diperjuangkan.
Kebebasan berekspresi, berpendapat, beragama, bertindak, berkeyaninan, berpaham dan beraliran, belakangan selalu dipermasalahkan.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat dimusuhi oleh Negara, kebebasan beragama dan berkeyakinan dimusuhi golongan mayoritas, kesetaraan hukum dan anti distrikmikasi hukum diberangus oleh oknom yang tidak bertanggungjawab.
Pada konteks ini posisi Gus Dur menjadi jelas yakni pembelaannya kepada pihak lemah atau meraka yang senagja dilemahkan. Artinya pembelayaan beliau sudah malampuai sekat-sekat agama, suku, ras dan golongan.
Akhirnya beragamnya label yang ditempelkan kepada sosok Gus Dur, muali dari sebutan sebagai Guru Bangsa, Bapak Bangsa, Kiyai Nyentrik, negarawan dan sebagainya, harus dipahami sebagai gamabaran sosok pribadi yang kompleks dan pluralis.
Lontaran-lontaran dan tulisannya yang selalu segar dan menyentuh banyak kalangan menggambarkan sosoknya yang sangat kuat pembelaannya dalam mempertahankan keutuhan bangsa dan kecintaannya terhadap NKRI dengan basis nilai-nilai kemanusiaan dan konstitusi.
* Penulis, Ainul Yaqin, Dosen Universitas Nurul Jadid, Pegiat pada kelompok kajian Comics Probolinggo
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Rochmat Shobirin |
Sumber | : TIMES Probolinggo |