Kopi TIMES

Kebencian = Kebodohan

Rabu, 30 Januari 2019 - 22:46 | 178.97k
M. Deden Ridwan (Grafis: TIMES Indonesia)
M. Deden Ridwan (Grafis: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, .... Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa..." (Al-Maidah: 08)

SAUDRAKU, ayat di atas mesti kita renungkan bersama. Pesannya sangat mendalam. Sangat universal. Terasa aktual dengan situasi-kondisi bangsa saat ini.

Advertisement

Bahkan ayat tersebut  bisa menjadi landasan fundamental dalam bertindak di tengah keragaman  keyakinan, aliran, suku, dan bangsa. Pun perbedaan pandangan dan sikap politik. Supaya  kita tetap sejuk, sehat, damai. Tak mengorbankan persahabatan. Apalagi persaudaraan kebangsaaan kita.

Sebenarnya sah-sah saja kita berbeda pendapat. Menyetujui atau menolak suatu pendapat. Karena perbedaan itu selalu hadir pada level dan konteks apa pun. Sunnatullah. Bahkan perbedaan itu selalu membawa rahmat. Asal sikapnya itu dibangun atas dasar paradigma ilmu-pengetahuan yang cukup kuat. Tanpa dasar ilmu-pengetahuan itu, saya khawatir, justru akan muncul sikap "kebencian buta."  

Jika hal itu benar-benar menguat sangatlah berbahaya. Karena sikap seperti itu bukan saja sulit berlaku "adil" terhadap kelompok yang kebetulan berbeda dengan kita. Tapi juga akan mematikan akal sekaligus hati kita. Kalau sudah begitu, maka kebenaran, informasi, dan pengetahuan apa pun yang datang dari luar/sumber yang berbeda dan bertentangan dengan keyakinannya akan selalu saja ditolak. 

Akibatnya, "syahwat" mengalahkan akal sehat. Kegilaan mematikan kewarasan. Orang-orang "waras" sulit ditemukan. Manusia-manusia "gila" malah gentayangan. Itu fakta. Apalagi di era post-truth: orang-orang "kuper" berkhutbah  di mimbar medsos, bak seorang demagog. Bergemuruh. Menggebu-gebu. Mencaci-maki. Ya, apalagi kalau bukan jualan agama, surga, dan hoaks.

Jika kita berhadapan dengan orang-orang seperti itu, ruang diskusi menjadi tertutup. Pun tidak ada gunanya sama sekali. Hampa. Jika sudah begitu, umat Islam akan menjadi semakin jumud (terbelakang), bersumbu pendek, dan menularkan api kemarahan merajalela di mana-mana. Tanpa dasar atau argumen rasional. Minus sikap lembut dan bijak. Kemaafan dan kelapangan jiwa tak bisa lagi mengatasi kemarahan. Menyedihkan. Memalukan.

Padahal konsep "salimul aqidah" (keyakinan yang kuat dan benar)—sebagaimana acap kali disuarakan secara lantang oleh kelompok “Islamis” itu—dasarnya adalah ilmu, bukan kebencian. Persaudaraan, bukan permusuhan. Keadaban, bukan kebiadaban. Karena esensi beragama itu sesungguhnya memuliakan sesama manusia.

Akidah/iman yang berbasis ilmu itu akan melahirkan dan menentukan kualitas amal/akhlak kita. Tapi kini  muncul persepsi bahwa orang yang berakidah lurus dan  kuat itu seolah justru ditandai dengan cara menjelek-jelekan, bahkan mengafirkan, orang/kelompok lain, bahkan sesama muslim.

Ini tentu pemahaman yang sangat keliru. Tentu saja, saya tidak sedang membela kelompok tertentu, terutama Syiah yang sering jadi "kutukan". Karena, bagi saya, Sunni-Syiah itu hanyalah produk/konstruksi sejarah saja. Ya, teologi itu sebuah konstruksi sosial-politik. Perdebatan itu sudah selesai. Kontra-produktif. Kini kita seharusnya berpikir dan bertindak melampaui itu semua. Produk-produk pemikiran atau ajarannya yang berbeda sebagai fakta sosial kita hormati dan hargai saja.

Soal mut'ah, misalnya, jelas saya tidak setuju. Tapi saya bisa memahaminya secara emik: landasan hukum soal itu menjadi wilayah perdebatan yang pro-kontra. Saran saya, supaya objektif, coba selami konsep mut'ah itu sebagaimana ulama Syiah memahaminya. Prinsip ini bisa menjadi pedoman sekaligus panduan praktis: bagaimana kita hidup di tengah-tengah keragaman.  

Tentu dalam pandangan saya, kalau mereka membolehkan pasti dengan persyaratan yang ketat alias tidak sembrono. Yang jelas, bagi saya, mut'ah itu atau ajaran Syiah lainnya tidak bisa jadi alasan untuk mengatakan bahwa Syiah itu di luar Islam. Sehingga, dengan alasan apa pun, kita tidak dibenarkan untuk mengutuknya. 

Saudaraku, perlu ditegaskan, bahwa salah satu landasan terpenting beragama/berislam itu adalah ilmu. Dengan ilmu, kita dituntut untuk bersikap lebih arif dan bijak, terutama dalam menyikapi perbedaan. Maka, tidak aneh dalam Islam, penghargaan terhadap ilmu itu begitu tinggi. Otomatis ilmu menempati posisi sentral. 

Hipotesis saya, syiar kebencian yang akhir-akhir ini begitu menguat dan mengeras di ruang publik pemicunya adalah—tentu salah satunya—kurangnya penghargaan pada ilmu. Kebodohan merajalela. Bahkan cenderung dirayakan.

Maka, saya berharap habitus whatshap grup (WAG), misalnya, yang kini menjamur di jagat digital dan medsos itu  bisa menjadi wahana untuk saling belajar. Berdialog. Tukar informasi.  Adu pikir. Olah  batin. Ya, mesti mencerahkan secara intelektual. Bukan malah menjadi ajang propaganda untuk menyebarkan kebencian.

Saudaraku, sekali lagi, Islam itu sangat menghargai perbedaan. Kita jangan mudah terpancing untuk menghakimi, apalagi menyesatkan, orang atau kelompok lain. Kita boleh bersikap kritis terhadap kelompok tertentu yang dianggap menyimpang dari mainstream. Tapi tidak boleh bersikap sinikal atau membencinya. Tak boleh nyinyir!

Karena bisa jadi, seperti pesan Rasulullah, kelompok yang dibenci itu mungkin lebih mulia/baik daripada kita. Kita bisa teladani bagaimana sikap toleransi Rasulullah SAW dalam menyikapi perbedaan. Hatinya bersih. Tutur katanya lembut. Tak pernah kasar. Semakin dikasari justru semakin mulia akhlaknya. Pernyataan dan  tindakannya  selalu berbasis data, bukan hoaks. Nabi Muhammad SAW adalah nabi cinta. Teladan agung kita.

Yuk, kita bangun watak Islam yang penuh kasih sayang. Islam itu ramah, bukan marah. Dakwah Islam itu merangkul, bukan memukul. Dakwah Islam itu mendidik, bukan menghardik. Karena sikap prasangka, tanpa tabayyun, propagandis, dan penuh kebencian, bukanlah cerminan akhlak al-karimah. 

Pun sikap-sikap semacam itu biasanya adalah refleksi dari kedangkalan ilmu kita. Kebencian segaris-lurus dengan kebodohan. Karena orang-orang yang 'alim (berilmu) biasanya lebih bijak dalam berpikir dan bersikap.Tutur katanya lembut, santun dan sejuk. Mereka bisa berlaku adil sejak  pikiran dan nurani.

Saudaraku, kita mesti sadar, gejala radikalisasi Islam berawal dari pemahaman teks-teks al-Quran, sunnah, dan sejarah Islam yang sempit. Hal itu muncul sebagai refleksi dari sikap--memakai istilah al-Ghozali-- qonaah al-jahil. Merasa cukup dengan kebodohan. 

Tanda-tandanya antara lain: malas baca buku, malas berpikir kritis, malas diskusi, malas dialog, malas bergaul, malas menerima perbedaan. Pokoknya serba malas. Hidup tanpa dihiasi kesadaran literasi. Tanpa bimbingan  ilmu. Namun, anehnya, mereka  merasa paling benar. Paling Islam. Sungguh, hal itu mewabah belakangan ini; bahkan sekarang pun!

Akibatnya, beragama hanya modal ghiroh (semangat) saja. Pikir-batinnya selalu dihinggapi rasa ketakutan, curiga, dan prasangka yang berlebihan terhadap kelompok lain  (the other). Bawaannya curiga, salah, dan marah melulu.

Tentu dalam beragama tak cukup modal ghiroh (semangat) saja. Harus pula dibekali dengan sikap intelektual dan spiritual (mujahadah). Maka, teruslah perkaya diri kita dengan ilmu. 

Hanya dengan kekayaan ilmu, kita bisa menyajikan "hidangan" menu keagamaan secara luas. Kita bebas memilih hidangan tersebut sesuai selera masing-masing. Tanpa harus menyalahkan pilihan dan selera orang lain. Semakin bijak!

* Penulis adalah M. Deden Ridwan, pegiat konten, penulis & konsultan serta CEO Reborn Initiative

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES