
TIMESINDONESIA, MALANG – Universitas kehidupan mengajarkan kita tentang bagaimana menghadapi kemajuan, kemajuan pola pikir lingkungan, yang akhirnya mengarahkan kepada kesadaran. Pada dasaranya kesadaran adalah keniscayaan, walaupun pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan waktu. Karena kesadaran lahir tidak semudah membalik telapak tangan. Pun sifatnya dinamis, gampang berubah.
Tetapi memang begitulah kehidupan. Maka benar kata Nabi Muhammad, bahwa belajar tidak ada batasnya kecuali mati saja. Pelajaran yang terpenting dalam universitas kehidupan adalah moral. Dengan berbagai proses yang ditemui dalam kehidupan, maka akan menjadi kesimpulan yang luar biasa (itupun ketika benar-benar dipahami dan direnungkan secara mendalam) yang berupa moral.
Advertisement
Beberapa hari terakhir warganet, warga maya, dan warga yang lain diramaikan dengan puisi menggungat tuhan dan menyoroti hasil munas NU yang berkaitan dengan penghapusan istilah kafir. Jika kafir berarti menolak tuhan dan nabi, maka boleh juga diartikan menghina tuhan dan nabi. Karena hal yang sederhana(walaupun tidak sesederhana itu) semisal perihal nikmat, orang akan dicap kufur nikmat ketika tidak mensyukuri apa yang sudah diterimanya. Pengertian yang lain adalah menutup hati atas rasa yakin kepada Tuhan dan nabiNya. Dan sayangnya hal ini menjadi benturan yang sangat luar biasa bagi pemeluk agama islam “sumbu pendek.”
Premis yang seharusnya menjadi perhatian adalah, “jika umat beragama maka pasti mengakui adanya Tuhan, dan hanya mereka yang tidak beragama (formal) yang dianggap tidak meyakini adanya Tuhan, dengan demikian non Muslim atau Kristen, Yahudi, Nasrani,Buddha, Hindu, Konghucu dan Kepercayaan adalah pemeluk, dan meyakini adanya Tuhan” pertanyaannya adalah, apakah pantas mereka dikatakan kafir? (ingat, ini kita berbicara kemanusiaan, dan pemahaman secara universal tentang agama)
Maka pada dasarnya, wilayah justifikasi kafir atau bukan, tidak bisa dilihat dari jidat yang hitam, jenggot yang lebat dan panjangnya 10 meter, atau jubah yang menyapu lantai, tetapi di dalam hati. Kalau samudera bisa diselami maka berbeda dengan hati. Karena letak keyakinan atau iman berada di dalam hati. Jadi siapa saja yang serampangan menuduh orang lain kafir maka secara hukum syara’nya akan kembali kepada sipenuduh, dengan kata lain secara tidak langsung ia menerima hukum sebagai kafir. Kok bisa? Karena kembali lagi bahwa dalam islam, ada sumber hukum, yang di antaranya adalah Qur’an, Hadith, Ijma’ dan Qiyas.
Jika letak keimanan berada di dalam hati, maka seharusnya yang ditampakkan ke permukaan adalah implikasi dari rasa iman itu. bahwa Tuhan menciptakan beragam manusia maka perlu menjadi satu keyakinan, bentuknya adalah saling menghargai. Masalahnya adalah ketika dompet kosong maka teriakannya semakin lantang, apalagi kalau tidak kebagian isi dompet. Kafir atau tidak rasanya manusia tidak berhak menjadi hakim. Pun begitu, Non-Muslim adalah panggilan bagi sahabat di Luar Islam, maka akan begitu juga ketika mereka memanggil seorang muslim dengan Non-Kristiani, atau yang lain.
Memang, yang seharusnya ditonjolkan adalah nilai. Karena hari ini sedang krisis. Karakter, rasanya setiap manusia memiliki heterogensi atas dirinya sendiri. Ibarat kata, barang paksaan itu tidak enak, maka begitu juga dengan ajaran, pengetahuan, bahkan agama. kalau tujuannya adalah balad al amin, baladun tayyibun wa rabbun gafur maka memahami tata tentrem karta raharja. Bahwa ketenangan dan kesejahteraan adalah keniscayaan ketika ada rasa saling memahami dan menghargai.
Merosotnya nilai dan moral rasanya menjadi alasan perihal gampangnya seseorang menghukumi seseorang yang lain, terutama dalam konteks agama. karena pada dasarnya, ketika yang merasa hanya pribadi maka apa bedanya dengan menyimpan rasa sendirian, lantas ketika dipaksakan tidakkah hal itu menjadi sarang dari egosentris yang luar biasa. Maka akan tertawa terbahak-bahak ketika dompet penuh dengan isi, apalagi kerumunan kertas merah, dan akan menjadi uring-uringan ketika dompet mulai menipis kemudian kosong momplong.
Pun begitu, ketika diri tidak mampu menempatkan diri. Implikasinya adalah uring-uringan, merasa paling syar’i sendiri, ketimbang yang lain. Merasa paling nyunnah sendiri, sedangkan yang lain isinya adalah kesalah dan kekufuran. Tetapi yang perlu digaris bawahi adalah orang yang merasa dirinya paling benar adalah mereka yang sejatinya masih memiliki kesalahan yang sangat besar. Pun begitu dalam konteks yang lain.
Maka kembali lagi, manusia dilahirkan tidak lain tidak bukan yakni untuk belajar, belajar apa saja. Belajar memahami, belajar menempatkan diri, dan belajar menjadi manusia. Karena puncaknya adalah kesadaran. dan puncak dari kesadaran adalah akhlak al karimah, atau meta – etika.
Maaf, kopinya kurang kental….
Pojok Rumah, 2019
*Penulis adalah Ahmad Dahri atau Lek Dah, ia santri di Pesantren Luhur Bait al Hikmah Kepanjen, juga nyantri di Pesantren Luhur Baitul Karim Gondanglegi, ia juga mahasiswa di STF Al Farabi Kepanjen Malang. Beberapa karya dalam bentuk buku adalah, Multikulturalisme Kontekstual Gus Dur(2015, Revisi 2018), Dialektika Pesantren (2016), Kumpus Orang-Orang pagi (2017) dan monolog Hitamkah Putih Itu (2017, Cetak ke-Dua 2018), Metodologi tafsir (Menyelami Kalam Tuhan) (2018). Dan akan segera terbit Terjemah Niswat assufiyah karya Al Azdy, dan Kumpus Jalan Setapak. Bisa disapa melalui Surel: [email protected]
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |