Kopi TIMES

Jangan Salah, Tionghoa Itu Bukanlah China

Senin, 11 Maret 2019 - 23:57 | 715.99k
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. (Foto: TIMES Indonesia)
Didik P Wicaksono, Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. (Foto: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTATENAGA Kerja Asing (TKA) berasal dari negara China terus berdatangan ke Indonesia. Pada tahun 2018 jumlah TKA dari China adalah yang paling banyak. Diikuti dari Jepang, Korea, India dan Malaysia. Pertahunnya negara-negara tersebut yang mendominasi TKA di Indonesia.

Wisatawan asing (turis) –dampak dari bebas visa– dari tahun ke tahun juga mengalami kenaikan. Total wisman pada tahun 2018 sebanyak 15,8 juta. Berdasarkan asal negara, Malaysia adalah yang paling banyak. Meskipun Malaysia tercatat yang paling banyak berdasarkan kewarganegaraan, tetapi didominasi oleh ras China.

Advertisement

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa Kunjungan, menyebutkan 169 negera yang dibebaskan dari visa kunjungan ke Indonesia. Dari seluruh negara yang sejumlah 169, sementara masih didominasi dari Negara Asia.

Warga Negara Asing (WNA) datang ke Indonesia memiliki beragam tujuan dan kepentingan. Ada yang bekerja (berbisnis) dan ada yang bertujuan berwisata. Juga kepentingan alasan belajar (studi), penelitian, jurnalisme dan lain sebagainya.

Termasuk –tidak menutup kemungkinan– mereka sengaja merencanakan tindak kejahatan (kriminal). Bagian dari sindikat kejahatan transnasional. Kejahatan yang melampaui batas-batas negara. Pelaku dan korbanya pun berasal dari berbagai negara.

Sindikat pencurian ikan, selama tahun 2017 sampai dengan pertengahan 2018, sudah 633 kapal yang ditenggelamkan, diantaranya tergolong kejahatan transnasional. Pelakunya berasal dari banyak negara.

Diberitakan di limimasa, “Sebanyak 81 karung atau sekitar 1,6 ton sabu yang ditemukan di kapal berisi jaring ketam asal Taiwan dengan Bendera Singapura KM 61870 Penuin Union direncanakan diedarkan di Jakarta”. Petugas juga mengamankan 4 WNA asal China (Kompas.com – 21/02/2018, 17:18 WIB).

Pada bulan Nopember 2018, polisi Indonesia menangkap WNA asal Nigeria yang terlibat komplotan penipuan lewat e-mail. Membajak e-mail kemudian melakukan transaksi keuangan dengan menipu para pengusaha.

Berulang kali polisi mengungkap dan menangkap kejahatan di dunia maya (cyber crime).

Kejahatan yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Melibatkan pelaku dan korban dari antar negara. Apa pula yang beroperasi dari suatu tempat di Indonesia.

Beragam alasan WNA datang ke Indonesia. Bertujuan mulia. Sebaliknya –mungkin saja– mereka merencanakan dan melakukan tindakan kriminal. Resiko dan tantangan penyalagunaan tujuan berkunjung, maka dipandang perlu penguatan peran pengawasan rakyat terhadap keberadaan/aktivitas orang asing di Indonesia. Sekaligus turut menjaga kenyamanan berkunjung.

Sebanyak 169 negera yang dibebaskan dari visa kunjungan ke Indonesia, jelas menjadi stimulan warga negara asing datang ke Indonesia.

Bagaimana membedakan China dan negara lain yang datang ke Indonesia?
Berbeda dengan ras Eropa (kaukasoid), Afrika (negroid), Autralia (Australoid) –dari manapun asal negaranya– yang datang ke Indonesia, mereka lebih gampang dan mudah dikenali. Sedangkan ras mongoloid (china atau geneologi garis keturunan china) lebih sulit untuk dibedakan.

Umumnya sulit membedakan turis dari warga negara Singapura, Malaysia, Thailand, Taiwan, Hongkong dan beberapa negara lainnya yang berasal dari keturunan China. Ciri-ciri fisik mereka sama persis dengan etnis Tionghoa di Indonesia.

Etnis Tionghoa adalah sebutan keturunan China yang sudah turun temuran tinggal dan sudah menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Memiliki sejarah panjang. Berbaur menjalani kehidupan yang harmonis bersama masyarakat Indonesia pada umumnya.

Memiliki kesamaan asal usul keturunan China dengan ciri-ciri fisik yang sama, belum tentu memiliki kewarganegaraan yang sama. Bisa jadi kewarganegaraan Indonesia, atau negara lainya, bisa pula China.

Istilah “China” merujuk pada orang atau negara “People’s Republik of China (PRC)”. Sedangkan sebutan “Tionghoa” merujuk pada warga negara Indonesia. Bagi Tionghoa Indonesia, tidak tepat disebut “China”. Sebaliknya tidak usah “lebay“ menyebut TKA China yang datang berbondong-bondong ke Indonesia itu adalah “Tionghoa”. Apalagi disebut “TKA Tionghoa”

Kata “China” (Cina, pakai huruf h atau tidak) sering dialih-bahasakan menjadi “Tiongkok” untuk negara dan “Tionghoa” untuk orang/penduduknya/budaya. Namun tidak semua kata “China” enak dan cocok dikonversi menjadi “Tiongkok” atau “Tionghoa”.

Misalnya kampung “pecinan” (china town), lebih enak tetap pecinan daripada diganti “kawasan Tiongkok”.  Laut China Selatan, tidak perlu diganti “Laut Tiongkok Selatan”. Chinese food/chinese restaurant, tetap lebih cocok “Chinese food/chinese restaurant” dari pada dirubah “Masakan Tiongkok/Restoran Tiongkok”

Istilah “Kuburan Cina” biarlah tetap “kuburan Cina”. Kuburan itu penanda peringatan akan datangnya kematian. Supaya kita semua banyak-banyak berbuat kebaikan. Jangan dirubah pula menjadi “Kuburan Tionghoa”.

Gagasan membedakan sebutan “Tionghoa” dan “China” termasuk perkara penting. Bukan masalah diskriminasi, tetapi menyangkut keadilan dan kemaslahatan bersama. Menyangkut perbedaan hukum antara WNI dan WNA di Indonesia. Sekaligus kemaslahatan bersama, baik persoalan dalam negeri maupun luar negeri sebagai akibat hubungan Internasional.

Kata pepata yang menarik menjadi perhatian. “Menyamakan sesuatu yang seharusnya berbeda, sama tidak adilnya dengan membeda-bedakan sesuatu yang seharusnya sama”.

Tionghoa dan China tidaklah sama. Tidak perlu disama-samakan. Tetapi jangan pula membeda-bedakan hak, kewajiban dan kedudukan warga Tionghoa bersama warga lainnya di Indonesia. Bila itu terjadi, berarti juga sama tidak adilnya.  

Pada umumnya, kebanyakan orang menganggap dan menyamaratakan sebutan Tionghoa dengan China. Sehingga menjadi samar pula untuk membedakan siapa yang dimaksud dengan Tionghoa WNI dan siapa pula yang dimaksud dengan China WNA.

Peristiwa unik terjadi di wisata panorama alam Gunung Bromo, Probolinggo Jawa Timur. Tarif masuk ke lokasi wisata, berbeda antara wisatawan domistik dengan wisatawan asing. Tentu wisatawan asing lebih mahal.

Wisatawan asing dari Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Amerika langsung dapat dikenali oleh petugas sehingga dikenakan tarif wisatawan asing. Namun wisatawan dari China atau negara-negara lain yang memiliki ciri fisik dari genus ras China, seringkali oleh pemandu/guidenya dibilang wisatawan domistik.

Pemandu wisatanya, ada yang dari etnis Tionghoa, ada pula yang dari etnis lainnya di Indonesia. Tapi seolah sepakat menyebut turis asing yang diantar disebut wisatawan domistik sehingga dikenakan tarif lokal.

Rujukan resmi dan netral adalah kata “China” dengan huruf “h”.  Sesuai nama resmi di dunia Internasional “People’s Republik of China (PRC)” Terjemahan dari “Zhonghua Renmin Gongheguo”

Penyebutan negara China dirubah menjadi Tiongkok berdasarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967, Tanggal 28 Juni 1967. Pada waktu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Media massa, baik elektronik (TV, lini masa dan medsos) maupun nonelektronik (cetakan) banyak yang menyesuaikan Keppres Nomor 12 tahun 2014 dengan menyebut “Tiongkok” mengganti China. Seperti koran Jawa Pos yang konsisten memakai kata Tiongkok sampai sekarang. Namun akhir-akhir ini banyak pula media yang kembali memakai kata “China”, seperti koran Kompas.

Soal istilah China, Cina, Tiongkok dan Tionghoa memang panjang ceritanya. Menjadi perdebatan yang tak kunjung baku. Sejak dulu kala selalu ramai dipersoalkan.

Dalam opini ini, penulis mengajak dengan jeli untuk membedakan China sebagai warga negara asing dengan Tionghoa sebagai warga negara Indonesia. Batasan istilahnya, kata China (cina) merujuk pada WNA China atau negara China (PRC).

Tionghoa adalah salah satu etnis yang ada di Indonesia sebagaimana Jawa, Batak, Sunda dan lain sebagainya. Sedangkan istilah Tiongkok, menurut pandangan penulis lebih cocok untuk negara pada masa dinasty/kerajaan, sebelum menjadi negara modern bernama China.

Simpulannya, etnis Tionghoa merupakan sebangsa dan setanah air, bagian dari NKRI. Bukan perpanjangan tangan dari kepentingan China (PRC). Sekali lagi, jangan salah. Tionghoa Itu bukanlah China. Tidak perlu pula orang Tionghoa disebut orang Tiongkok. Mereka adalah orang Indonesia!


Didik P Wicaksono. Pemerhati Dinamika Politik. Aktivis di Community of Critical Social Research Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES