
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mari berbagi hal lucu di balik pilpres. Sesuatu yang menarik dari julukan gombal. Saya punya segepok catatan mengenai segala unsur tentang gombal.
Dan kenapa pula perlu kita bicara gombal dalam urusan pemilu. Pemilihan lima tahunan yang bikin ngelu (pusing).
Advertisement
Kisah gombal pertama bisa kita dapatkan dari sejarah Gus Dur, usai muktamar NU, 1984 di Asembagus, Situbondo.
Muktamar yang menabalkan NU menerima Pancasila sebagai satu-satunya azas kebangsaan ini, juga merumuskan NU kembali ke khittah 1926.
KH Abdurrahman Wahid terpilih menjadi Ketua Umum, setelah sebelumnya KH Ahmad Sidiq terpilih menjadi Rais Aam PBNU.
Usai itu Gus Dur bergerak menyusun pengurus. Banyak hal baru ingin beliau tuangkan. Cucu Hadratussyekh Hasyim Asyari ini ingin memberi pengayaan pada lini kepengurusan. Gus Dur ketua baru. Pikiran meloncat jauh.
Sedangkan para kyai punya konsep beberapa nama dari unsur lama. Gus Dur ingin membarui dengan model lembaga yang semuanya baru.
Maka tanpa dinyana kemudian, Gus Dur mengomentari susunan nama yang disodorkan. "waduh kalau kayak begini, ini namanya pengurus gombal-gombal" ujarnya kemudian. Para kyai terkesiap. Tapi itulah Gus Dur. Dia egaliter dan terbuka. Kata gombal menunjukkan barang lama yang sudah tidak potensi lagi. Maksud Gus Dur, gombalnya harus diganti kain baru.
Gombal kedua, tanyakan pada grup Srimulat. Betapa grup lawak legendaris ini bisa melucu berjam-jam. Tak perlu mengaitkan isu agama, ras, kesukuan serta hal lain yang sensitif, Srimulat sudah cerdas menggayung tertawa dari sumur humor yang tak pernah habis. Jika anda tahu, salah satu rumusnya dari secarik gombal.
Lihatlah adegan si gepeng di pembuka cerita. Gaya seorang batur ( pembantu rumah tangga) dengan sebuah gombal/ serbet di pundaknya bisa melawak secara monolog lebih kurang 1/5 jam. Tak cukup di situ, si gombal bisa jadi bahan cerita, atau bahkan jadi sarana melucu sepanjang cerita. Pokoknya gombal demikian bermakna bagi grup segar tawa tak tergantikan ini.
Karena Tarzan, Mamik, Polo, Basuki, Djujuk hanya dilahirkan satu kali.
Nah, gombal ketiga sedang populer di anak remaja Indonesia. Tentang tokoh fiktif bernama Dilan. Dari novel Pidi Baiq naskah ini pindah ke layar lebar. Cerita kisaran tahun 1990 an tentang masih pentingnya pulpen sebagai alat tulis di sobekan kertas.
Juga tentang menelepon pake uang koin. Siapa yang berusia setara saya pasti tahu akan hal itu.
Dilan pastinya ahlul gombal. Dia pintar meruapkan kata-kata tak biasa. Semisal ia berucap" jangan takut pada anak geng motor. Setidaknya mereka shalat pada saat ujian praktik pelajaran agama".
Atau satu waktu ia menulis surat dengan kata berikut. Assalamu alaikum, mohon kehadiran anda di dalam acara belajar di sekolah . Acara setiap minggu dengan jadwal sebagai berikut : Matematika, Sejarah, Geografi, Agama, Tatanegara dan Fisika.
Dilan tokoh penggombal yang pandai merayu. Dalam satu ucapan ia mengucapkan, " andai aku harus jadi presiden yang harus mencintai seluruh rakyatnya. Aku tak bisa. Karena aku hanya mencintai Milea".
Dilan bukan tokoh yang layak ditiru dalam artian kurang Islami. Karena ada skrip adegan berpacaran. Sesuatu yang tidak cukup baik bagi pelajara akhlak muda-mudi. Namun dirasa penting, Dilan di sini sebatas tokoh gombal yang ingin mencapai tujuan. Tetapi menolak jadi Presiden.
Sementara lihatlah kini di pusaran sosial media. Tokoh politik yang ingin meraih jabatan, tidak cukup hanya memberi janji gombal. Tetapi sudah menjurus menyebar rasa ketakutan. Kalau si A jadi pemimpin maka akan terjadi ini, itu, begini, begitu dan sebagainya.
Gombal-gombal yang tidak lucu disebar. Isinya kebencian, fitnah-fitnah yang dibalut ayat keagamaan seolah menjadi yang paling benar. Ujung akhirnya adalah sebuah harapan menang dan meraih kekuasaan. Tak peduli orang-orang pusing tujuh keliling.
Ucapan serapah yang kotor diucapkan seseorang yang dipanggil dengan sapaan terhormat. Gus, Ustad, Profesor, Habib, Kanjeng, Raden atau siapa pun jua yang penting nampil di sosmed. Tapi tidak mengajarkan keteladanan. Sehingga seseorang dengan panggilan yang sama yang baik, justru tak nampak karena tak populer di Youtube.
Intinya, siapa pun berhak jadi presiden. Siapa pun berhak merayu rakyat. Tapi jangan lebih rendah daripada tokoh khayal seperti Dilan. Dilan jago gombal. Tapi tidak jago fitnah. Fitnah pasti lebih kejam dari penggombalan.
Fitnah sekali terucap di sosial media meski pun diklarifikasi, baranya terus membakar. Seperti sisa arang yang menyala.
Apalagi fitnah yang terus bergulir. Menyambar semuanya jadi dosa yang terbawa hingga mati. Naudzubillah.
Cukuplah meraih menang dengan rayuan gombal pada rakyat. Meskipun gombal itu dalam ledekan bahasa Jawa bergandeng dengan mukiyo. Gombal mukiyo menunjukkan ketidakmampuan. Maka harus menggombal.
Sedangkan fitnah mukiyo, menunjukkan cara keji menghancurkan orang lain.
Janganlah bahagia karena bisa menfitnah. Karena Srimulat lebih mulia. Dengan gombal mereka membuat orang bahagia.
Oleh : Akhmad Bayhaqi Kadmi, Budayawan, Humorolog Times Indonesia...
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Bayhaqi Kadmi |
Publisher | : Rochmat Shobirin |