
TIMESINDONESIA, MALANG – INDONESIA merupakan sebuah Negara dengan penuh aneka ragam kekayaan. Kekayaan tersebut terdiri dari suku bangsa, budaya, adat istiadat bahkan Bahasa. Dari keberagaman tersebut kemudian memunculkan aneka ragam tradisi. Baik tradisi dalam bentuk kebudayaan masyarakat maupun dalam tradisi keagamaan. Tradisi keagamaan ini membentuk sebuah khazanah, dimana khazanah tersebut sering disebut dengan sebutan khazanah nusantara.
Khazanah Nusantara jika ditelaah secara redaksional terdiri dari dua kata; yaitu khazanah dan Nusantara, yang masing-masing memiliki makna yang berbeda. Dalam Bahasa Indonesai ‘khazanah’ merupakan kata yang terserap dari Bahasa arab yang mengandung pengertian kekayaan atau perbendaharaan. Sedangkan istilah ‘Nusantara’ berasal dari Bahasa jawa kuno yaitu ‘nusa’ yang berarti pulau dan ‘antara’ yang memiliki arti lain atau seberang.
Advertisement
Dalam perkembanganya, istilah nusantara ini digunakan untuk menyebut Indonesai. Hal ini bukan tanpa sebab, karena menurut sejarahnya Nusantara adalah sebutan untuk wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra sampai ke Papua dimana sekarang ini memang masuk wilayah Negara Indonesia.
Dengan demikian, istilah khazanah Nusantara jika digabungkan berarti mengacu kepada kekayaan yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Kaitanya dalam tulisan ini, adalah kekayaan tradisi yang dimiliki Indonesia khususnya tradisi yang berhubungan dengan keagamaan.
Salah satu tradisi keagamaan yang telah mengakar di bumi Nusantara atau Indonesia adalah tradisi yang dilakukan pada malam sepuluh terakhir di bulan Ramadhan. Tradisi yang sangat melekat dilingkungan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa. Tradisi itu dikenal dengan sebutan maleman.
Maleman merupakan kata dari Bahasa jawa yang berarti ‘malam-malam’. Maleman termasuk dari khazanah nusantara sebagai warisan para wali songo. Maleman juga merupakan sebuah bentuk akulturasi antara Islam dan masyarakat Jawa. Maleman ini adalah pengaplikasian dari hadist nabi yang menyatakan bahwa pada sepuluh hari terakhir di indikasikan sebagai turunya malam lailatul qadar atau malam seribu bulan.
Para malaikat dan ruh (Malaikat Jibril) akan turun pada malam itu dengan izin Allah. Bagi siapa saja yang beribadah di malam tersebut maka nilainya akan lebih baik dari pada seribu bulan. Sehingga, dalam sejarahnya, para wali berusaha mengingatkan akan betapa pentingnya malam tersebut melalui budaya yang dikenal dengan maleman.
Dalam lintas sejarah, tradisi maleman ini sudah ada sejak zaman kerajaan Demak. Kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Pajang, Mataram dan Kartasurya. Selanjutnya, kasunanan Surakarta sebagai penerus tahta tetap berusaha meneruskan dan melestarikanya dengan menggelar kirab setiap malam ke-21 bulan Ramadhan setiap tahunya. Kesemua kerajaan tersebut menyelenggarakan maleman guna menyambut malam yang mulia tadi.
Dijelaskan dalam firman-Nya bahwa malam itu lebih baik dari pada seribu bulan. Jika dihitung dalam hitungan matematis, 1000 bulan berari kurang lebih 83, 33 tahun. Hitungan ini di dapat dari 1000 bulan dibagi dengan 12 yang merupakan jumlah bulan dalam satu tahunya, maka diperoleh hasil 83, 33 tahun. Bisa dibulatkan menjadi 83 tahun. Yang berarti bahwa beribadah pada waktu itu akan lebih baik daripada beribadah selama 83 tahun.
Selanjutnya, yang perlu direnungkan adalah apakah umur umat Muhammad sampai pada umur tersebut? “bisa jadi”, jawabnya,. Akan tetapi jika melihat umat Muhammad maka bisa dilihat rata-rata umurnya berkisar antara 60-70 tahun. Untuk itu, dari sini dapat dilihat betapa murahnya Allah SWT memberikan bonus tersebut kepada umat Muhammad yang memiliki umur relative pendek dari umat-umat sebelumnya.
Selain itu, betapa bijaknya para wali dalam mendakwahkan ajaran Islam. Para wali berusaha mengajak penduduk jawa agar mau menghidupkan sepuluh malam terakhir dari bulan ramadhan dengan memasukkan nilai-nilai keislaman dalam sebuah tradisi yang disukai masyarakat Jawa pada waktu itu.
Pelaksanaan maleman dilakukan pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadah ini juga bukan tanpa adanya maksud. Hal ini mengacu dari berbagai keterangan yang menyatakan bahwa lailatul qadar turun pada waktu tersebut. Beberapa riwayat menyebutkan, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari ‘Carilah malam lailatul qadar pada malam ganjil sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan’. Riwayat lain menyebutkan ‘Carilah malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir, jika salah seorang diantara kalian tidak mampu atau lemah maka jangan sampai terluput dari tujuh hari sisanya’.
Riwayat yang lain menyebutkan dengan lebih spesifik dengan mengatakan bahwa ‘Carilah malam lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Pada malam kedua puluh Sembilan, kedua puluh tujuh, kedua puluh lima. Ubay bin Ka’ab memberikan keterangan yang lebih spesifik lagi dengan menyebutkan sebuah riwayat yang mengatakan ‘Demi Allah aku tahu kapan malam itu, yaitu malam yang kita diperintah oleh Rasullullah untuk menghidupkanya, yaitu malam kedua puluh tujuh’.
Dari berbagai riwayat tersebut, dapat difahami bahwa pada malam sepuluh terakhir di bulan Ramadhan merupakan indikator yang paling kuat turunya lailatul qadar, utamanya pada malam-malam ganjil, yaitu malam 21, 23, 25, 27 dan 29.
Maka dari itu, demi mendapatkan malam-malam tersebut, para wali sebagaimana dijelaskan diatas berusaha agar masyarakat bisa mendapatkanya dengan bentuk sebuah tradisi yang disebut maleman. Pada malam tersebut dianjurkan untuk memperbanyak ibadah. Ibadah tersebut bisa dalam berbagai macam bentuk ibadah. Diantaranya bisa dengan meningkatkan qiyamul lail (sholat taraweh, witir, shalat tahajud, shalat hajat ataupun shalat – shalat sunnah yang lain), i’tikaf, memperbanyak membaca Al Quran atau memperbanyak shadaqah.
Di daerah tertentu, masyarakat jawa memperingati maleman dengan memperbanyak sedekah yaitu dengan membawa ambeng atau berkat (nasi dengan beraneka ragam lauk) dan dibawa ke masjid atau musholla. Setelah sholawat taroweh, imam memimpin jama’ah bersama – sama untuk membaca kalimah-kalimah tayyibah.
Kalimah tayyibah itu terdiri dari bacaan tahlil, tahmid, istighfar, shalawat dan potongan-potongan ayat suci al-qur’an. Selanjutnya, ambeng atau berkat tersebut dibagikan kepada seluruh jama’ah untuk disantap bersama. Tradisi ini hampir dilakukan oleh sebagian besar masyarakat di Jawa khususnya masyarakat pedesaan. Mereka berharap shadaqahnya bertepatan dengan datangnya malam lailatul qadar, sehingga mereka berharap mendapatkan pahala yang berlipat ganda sebagaimana dijanjikan oleh Allah SWT. (*)
*) Penulis: Dian Mohammad Hakim, Ketua unit kajian dan penanaman nilai nilai keaswajaan dan dosen FAI Unisma.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |