Kopi TIMES

Wong Edan Garis Lucu

Kamis, 04 Juli 2019 - 14:25 | 216.64k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Grafis: TIMES Indonesia)
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). (Grafis: TIMES Indonesia)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saat saya ikut Rapat Anggota di Klaten, Jawa Tengah pertengahan tahun 90-an ada kejadian unik dan di luar kewajaran umum. Saya punya teman yang berasal dari keluarga Muhammadiyah. Namun saat dia menjadi imam shalat shubuh ia membaca doa qunut. Sontak teman-temannya yang mengetahui dan makmum bertanya-tanya. Mengapa ia melakukan itu?

Terjadilah dialog singkat sebagai berikut. “Dul, katanya kamu orang Muhammadiyah. Kenapa shalat shubuh pakai qunut?” tanya teman saya. “Memang ada yang salah?”jawab Dukladir. “Ya, aneh saja. Jarang yang melakukannya”.

Advertisement

“Sudahlah. Gak masalah. Kita lanjut olah raga pagi lalu sarapan. Itu lebih penting”.

Setelah itu, saya memang tidak mengetahui dialog selanjutnya karena keburu pergi. Tetapi ini peristiwa langka yang justru terjadi di dunia kemahasiswaan.

Bagi sang imam hal itu biasa saja. Bagi teman-temannya, dianggapnya luar biasa. Ia memang Muhammadiyah tetapi hidup dalam lingkungan NU kuat. Jadi ia “dipaksa” sejak kecil untuk hidup toleransi dan memahami perbedaan di sekitarnya. Sekali lagi, imam itu menganggap hal biasa sementara orang yang melihatnya dibuat bertanya-tanya.

Tentu, tak banyak orang yang melakukannya itu. Artikel ini tidak berbicara soal apakah penting atau tidak menggunakan qunut dalam shalat shubuh. Itu hanya soal “ranting” dan bukan soal “cabang. Penekanan saya adalah sesuatu yang berbeda dalam masyarakat yang mayoritas dan statis, perbedaan akan dianggap aneh. Ini wajar terjadi, dimanapun dan kapanpun.

Garis Lucu

Sekarang coba Anda buka twitter. Kalau Anda pengguna akun twitter,  saat ini merebak akun-akun plesetan yang lucu. Sebut saja misalnya  NU Garis Lucu, Muhammadiyah Garis Lucu, Katholik Garis Lucu, Hindu Garis Lucu sampai Bumi Data Garis Lucu. Namanya juga akun untuk lucu-lucuan, tentu saja isinya melucu. Namun tak sekadar melucu, akun itu justru mendobrak kemapanan sikap dan cara berpikir kita.

Akun tersebut memang mengetweet yang lucu-lucu. Bahkan politik pun dibuat lucu.  Lucu dalam hal ini kicauan yang terkesan tidak  umum atau anti mainstream.   

Sebenarnya akun-akun itu tak sekadar untuk lucu-lucuan. Tetapi ia juga menjadi sebuah sindiran. Pertama, menyindir kejumudan kita dalam berpikir. Kalau selama ini NU pakai doa qunut dalam sholat shubuh sementara Muhammadiyah tidak, kenapa tidak ditukar saja? Katanya Islam itu satu. Berarti NU tidak perlu qunut sementara Muhammadiyah membiasakan qunut.

Kalau selama ini dalam tradisi NU membaca Al Fatihah dalam sholat didahului membaca basmalah, di Muhammadiyah sebaliknya. Keduanya tentu tidak masalah. Bahkan di Muhammadiyah sekarang sudah berkembang membaca  basmalah saat mau membaca Al Fatihah pada sholat, tidak masalah. Meskipun belum tentu seluruhnya dilakukan oleh anggota-anggotanya.  Garis lucu juga bia menghindari berbagai tuduhan dengan berlindung dibalik kelucuan.

Kedua, makna yang tersimpan bukan persoalan tekstual tetapi dimensi yang lebih luas. Sebut saja dimensi sosial. Garis lucu itu lebih menyangkut dimensi sosial, bukan tekstual. Kalau garis lucu itu dipahami secara tekstual tentu akan membuat kita mudah tersinggung.

Itu sebenarnya menyimpan persoalan bagaimana sisi kemanusiaan seseorang selama ini telah tergerus oleh ajaran-ajaran yang sifatnya tekstual semata. Memahamai ajaran agama pun  bisa dengan riang gembira.  Akun lucu tersebut bisa jadi sindiran atas kakunya memahami ajaran agama.

Bisa jadi pua, akun-akun garis lucu tersebut akan membuat seseorang jengkel, tidak puas dan terkesan menghina.  Bisa jadi. Itu semua tergantung sudut pandang. Jika Anda termasuk yang tidak terlalu mempermasalahkan ajaran agama secara tekstual, akan beranggapan akun-akun garis lucu itu untuk lucu-lucuan saja. Maka, tidak usah dikaitkan dengan surga-neraka, haram-halal, hitam putih dan teman-temannya.

Di sinilah dibutuhkan pemikiran yang luas dari berbagai sudut pandang. Tentu ini tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat, butuh pengalaman, pengendapan batin yang mendalam. Orang yang baru saja mempelajari ajaran agama biasanya akan mudah tersinggung seandainya ajaranyang diyakininya dikritik. Atau mudah terprovokasi. Sementara yang sudah mendalam hal itu biasa saja.  Jadi, berbagai kasus lucu-lucuan tak akan menggoyahkan keyakinannya.  Namaya juga melucu.

Wong Edan

Dalam kurun waktu lama, kita berada dalam suasana saling curiga. Sehingga suasana menjadi mencekam. Seseorang berbuat sesuatu yang beda dianggap menghina atau melawan kemapanan. Sementara dunia ini terus berubah. Perubahan selalu terjadi dan penemuan-penemuan lain sangat mungkin muncul. Media Sosial (Medsos) saja baru kita kenal beberapa tahun berselang, bukan?

Biarlah saling curiga diurusi oleh para politisi. Memang curiga itu salah satu pekerjaan politisi. Kalau politisi tidak curiga bagaimana mereka bisa memenangkan pertarungan? Tak ada politik yang lurus-lurus saja. Kalaupun ada hanya dalam teks-teks normatif. Politik ibarat bermain dadu. Tanpa taktik, seseorang akan kalah. Tugas penonton dadu hanya mengingatkan apakah cara bermain dadu tetap berada dalam koridor aturan.

Biarlah politik untuk lucu-lucuan saja. Politik hanya sekadar alat untuk mencapai tujuan. Semua itu hanya bersifat sementara saja. Masyarakat selama ini berkonflik, para cukong dan bandarlah yang akan bersorak-sorak menang. Dalam politik selamanya masyarakat menjadi objek semata.

Biarlah Medsos berkembang sebagaimaa adanya. Namanya juga Medos. Jika tidak suka tidak usah memanfaatkannya. Medsos itu cermin cara berpikir dan kedewasaan menyikapi banyak hal di masyarakat. Jika Medsos itu hanya dipakai untuk memprovokasi, berarti masyarakat kita memang masih suka terprovokasi dan ada provokator yang memanfaatkannya. Kedewasaan pendidikan kita memang masih berada dalam level itu.

Dalam hal itu kita perlu menyimak akun-akun yang lucu sebagaimana saya sebutkan di atas. Akun-akun tesebut melatih kita untuk tidak tersinggung. Menghina orang lain jangan mudah dimasukkan ke hati. Itu hanya urusan keduniawian saja. Jangan-jangan itu sekadar taktik atau pancingan semata. Tujuan utamanya bisa jadi kita tidak tahu.

Dalam hal ini saya sering mengharapkan ada akun “Wong Edan Garis Lucu”. Mengapa? Karena wong edan (orang gila) sekarang tidak lucu-lucu lagi. Mereka sudah banyak menyelinap dalam kepentingan politik kekuasaan. (*)

*)Penulis, Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Penulis bisa disapa lewat Twitter/IG: nurudinwriter.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Jakarta

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES