
TIMESINDONESIA, MALANG – JIKA masih trauma dengan bau buku kiri, tapi tidak merasakan bahkan memeluknya ketika tidur (membaca buku sampai ketiduran) jangan mudah menjustifikasi bahwa itu buku kiri bahaya. Berprasangka tidak baik tidak diperbolehkan, maka perlu membaca baru berkata, walau itu fakta tapi menyikapinya harus cara bijaksana. Maka hanya dengan membaca maka kita tidak akan mudah terprofokasi, dan tidak akan trauma tropisme. Hanya dengan membaca tidak akan menyimpan luka lama. Seperti halnya buku, buku itu akan menjadi paling utama memahami esensi dari baca dan bagi yang tidak perlu mencoba.
Akhir-akhir Ini begitu ramai berita dan banyak responsif masyarakat. Dengan adanya penyitaan buku terhadap salah satu gerakan literasi di Probolonggo. Penyitaan buku yang dilakukan oleh aparatur negara (Polisi). Sangat memiriskan hati para pegiat literasi. Sebab wadah ruang baca di Indonesia sangat perlu dimasifkan disetiap tempat umum.
Advertisement
Sebab gerakan kecil itu memberikan dampak besar bagi generasi masa akan datang. Jika buku disita, bagaimana kita mencipta sebuah pandangan. Karena tidak mungkin kita bisa melakukan sesuatu kalau tidak membaca, sebab membaca keterampilan kedua setelah berbicara kebahasaan tapi konteks ini berbeda tentunya. Dan menyebarkan dan memberikan wadah baca ini salah satu kerja kemanusian yang humanis.
Kemajuan sebuah negara bukan terletak pada generasi yang tidak gemar membaca. Ambil saja contoh para pendiri bangsa seperti Soekarno, M. Hatta, Syahrir, dan Tan Malaka. Mereka semua tidak pernah lepas dari buku (membaca), selaras dengan tugas manusia hidup yaitu membaca di agama manapun membaca bukan suatu larangan atau diharamkan, maka kita harus tahu bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Muhammad dengan menurunkan surat pertama. Surat Al-Alaq ayat 1-5. Yang artinya: "Bacalah dengan menyebut nama tuhanMu yang menciptakan". Apa ada kesangsian atas surat tersebut, bagiku itu shahih.
Ketika menelisik kembali lebih dalam dalam perintah membaca tidak menemukan arti yang signifikan dengan objek bacaannya. Kita hanya diperintah membaca, karena membaca sebuah kewajiban bagi manusia. Dan ditugaskan untuk membaca dengan menyebut nama Tuhan. Hal ini menunjukkan bahwa arti dari baca bukan terletak pada batasan buku, kitab, bahkan Al-Quran, tapi lebih tepatnya terletak bagaimana manusia harus membaca, serta memaknai membaca itu sendiri. Dan baca buku dalam bentuk apapun asalkan manusia bisa mengambil hikmah dari hasil bacaannya. Tentunya tidak ada masalah karena dasarnya sudah ada.
Ketika mengingat dengan banyaknya peritiwa penyitaan buku dan larangan membaca buku. Yang berafiliasi dengan oknum ektrimis kiri. Walaupun itu ada asal itu tidak mengganggu ketentraman Negara maka tidak perlu kita menyuarakan mereka atheis atau kafir. Perlu namanya mawas diri dan tabayun.
Apakah penyitaan atau pembubaran gerekan literasi itu akan menjadi candu tidak baik bagi para apartur negara?, pertanyaan itu bisa iya dikarenakan karena tidak pernah membaca bukunya, mungkin hanya tahu mengenai setigma. Tanpa ingin tahu untuk membacanya. Atau hanya tersandung stigma tidak baik atas buku yang dianggap bahaya. Sehingga menjadi trauma tropisme artinya reaksi terhadap pertumbuhan terhadap luka. Jika Itu menjadi tumpuhan mengapa tidak mencari solusi dengan melihat terlebih dulu jika perlu membaca dulu isinya mendiskusikan baru melakukan tindakan.
Kesalahan fatal ketika bertindak tanpa membaca, apalagi kaum terdidik dan intelektual terpandang posisinya sebagai melayani, menjaga, dan memberikan pandangan pada rakyat. Apa tidak blunder ketika menyita, tanpa ingin tahu isi dari buku, dan yang menjadi landasan karena adanya indikasi buku tersebut bergambar Dwipa Nusantara (DN) Aidit, serta sejenis buku kiri. Dan semua pasti tahu dengan tokoh tersebut, namun ketika membacanya akan menjadi seprtinya. Dalam belajar sejarah kita semua akan tahu bahwa belajar sejarah bukan untuk mengulang sejarah lagi, beajar sejarah akan mempelajari bagaimana tidak mengulangi sejarah.
Buku hanya alat bukan makhluk yang hidup. Jika kita sadar akan pentingnya literatur terdahulu, bukan tidak mungkin kita belajar itu lepas dari sejarah masa lalu, dalam disiplin ilmu apapun akan tetap dipelajari.
Mungkin ketika berbicara kata Peka,i, Jika benci dengan Peka’i bukannya kita harus juga membacanya agar kita mengetahui gerakannya. Jika perlu harus mempelajari inti sari dalam bukunya lalu kita pahami dulu. Ketika sudah fiks melanggar UUD Negara, maka berhak dibasmi. Namun secara prosudural aparatur Negara salah dalam melakukan tindakan. Tanpa melakukan panggilan terlebih dahulu melakukan peringatan kepada komunitas Vespa literasi itu.
Kesalahan fatal ketika membenci namun kita tidak pahami celahnya, ketika kita membenci tidak mempelajari arah pemikirannya bahkan tanpa mempelajari mana mungkin kita bisa tahu esensi dari gerakan tersebut. Kesalahan ketika membenci tapi enggan mempelajari gerakan itu. Sebagai manusia yang arif ketika kita membenci maka kita harus membaca agar kita tahu di mana yang baik mana yang tidak. Maka Iqkro’ dulu lebih baik.
Kita semua harus tahu bahwa kemajuan suatu negara terletak pada literasi. Mengapa dari masa-ke masa Negara Indonesia masih tergolong tingkat baca paling rendah, hal itu diteliti oleh salah satu peneliti dari luar negeri. PISA 2016 bahwa posisi orang Indonesia dalam tingkat baca ada di paling bawah nomor 2 tepat di bawahnya Philipina, di atas Bostnia. Hal itu bukan terletak pada manusia yang harus kita salahkan. Dan perlu pula kita koreksi lagi data yang dilakukan oleh PISA mengenai tingkat baca, bahwa di Indonesia bukan terletak pada pembaca, yang kurang yaitu ruang baca (fasilitas) kurang lengkap dan merata.
Maka perlu volunter dalam melakukan gerakan literasi, jika pada tgl 27/06/2019 di Kraksan Probolinggo gerakan Vespa literasi dibubarkan dan buku disita, karena ada unsur buku kiri. Kesalahan besar apartur negara membubarkan karena ruang seperti itu menjadi ruang paling positif, daripada berada digerakan tidak jelas korelasinya terhadap masyarakat. Contoh pemuda yang hanya nonkrong ngopi dan main sebagainya. Mungkin kita harus sadar jangan trauma dengan buku karena buku merupakan gerbang pengetahuan ilmu yang diamalkan cahayanya.
Buku tidak perlu di dikotomikan. Selagi buku itu masih jelas penerbitannya. Karena lesensi dari percetakan akan senantiasa selalu memperhatikan isi pula. Apa karena ada phobia pada buku yang katanya kiri, padaal tidak ada buku kiri, semua buku yang memberikan nilai kebaikan tidak perlu dipermasalahkan.
Membaca akan membuat manusia tambah berwibawa dengan membaca kita akan punya cerita berbeda walau masa lalu ada luka dengan membaca akan tertutup luka. Bahkan akan ada indikasi membuka cara pandang mengenai pengetahuan. Apakah akan ada peristiwa gelap baginya. Dengan membaca akan menemukan kebahagiaan. Berbahagialah dengan kata-kata yang ditemukan dalam teks para penulis besar. Menelusuri kata menemui makna dari beberapa peristiwa dalam teks dan dikembangkan dalam jiwa untuk membenturkan diri.
Tujuan literasi mengasah naluri, mempertajam pandangan, dan memperhalus perasaan.
Mari bersama-sama membuka diri mencari arti dari setiap teks. Karena dalam surat Al-Baiyinah yang berbunyi dalam penggalannya ayat: artinya Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata, Orang-orang kafir dari kalangan Yahudi, Nashrani dan kaum musyrikin tidak akan meninggalkan kekafiran mereka hingga kamu datang kepada mereka dengan tanda yang dijanjikan kepada mereka pada kitab-kitab terdahulu. (*)
*)Penulis Akhmad, Mahasiswa semester VIII, Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM Fenomena), FKIP-Unisma.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : AJP-5 Editor Team |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |