
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Di era terbuka, global, bahwa mobilitas manusia dewasa ini baik dalam negeri maupun antar negara sudah menjadi kebutuhan. Konsekuensinya kehidupan manusia dalam suatu lokasi, daerah, atau negara tidak bisa dihindari semakin banyak warga lintas suku, bangsa, agama, budaya dan sebagainya. Kondisi inilah yang membuat fenomena multikultural menjadi realita yang harus kita hadapi semua. Dengan begitu konseling multikultural menjadi suatu keniscayaan.
Konseling multikultural sangatlah penting kehadirannya, terutama individu yang membutuhkan bantuan untuk menyelesaikan masalah maupun untuk pengembangan diri. Memang pada prakteknya tidak semua individu itu mampu menyelesaikan masalah sendiri dan mengetahui potensi diri dan tidak tahu untuk pengembangannya, sehingga individu tidak bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Untuk bisa menyelesaikan masalah dan membangun pemenuhan kebutuhan diri, setiap individu ada yang bisa menyelesaikan sendiri, tapi ada juga membutuhkan bantuan pihak lain. Di sinilah konseling multikultural menemui relevansinya.
Advertisement
Konseling multikultural berkontribusi dalam memberikan layanan konseling yang lebih akurat. Karena secara konvensional, dalam melayani konseling kita lebih fokus pada masalah dan kebutuhan klien, namun dengan mempertimbangkan implementasi konseling multikultural, layanan konseling perlu mengetahuinya jati diri klien, pribadi, suku, ras, agama, budaya, jenis kelamin, status sosial ekonomi, lingkungan tempat tinggal dan sebagainya. Dengan memperhatikan realistis sosial budaya yang melingkupi kehidupan klien, insya Allah konselor bisa memberikan layanan konseling yang akurat dan memuaskan.
Michael D’Andrea, Ed.D. (2017) telah menformulasikan ada 10 faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas layanan konseling multikultural, yaitu (i) Identitas agama, (2) Latar belakang ekonomi, (3) Identitas seksual, (4) Kematangan psikologis, (5) Identitas etnik-ras dan kultur, (6) Tantangan selama pertumbuhan dan perkembangan (kronologis), (7) Trauma dan Ancaman lainnya terhadap diri konseli, (8) Sejarah dan dinamika keluarga, (9) Karakteristik fisik yang unik, dan (10) Lokasi tempat tinggal dan perbedaan bahasa. Jika konselor memperhatikan faktor-faktor ini, akan sangat terbantu pada saat awal-awal membangun rapport dan proses konseling selanjutnya, sehingga konseling bisa berlangsung lancar dan terarah serta memiliki kualitas layanan yang terbaik. Yang pada akhirnya dapat memberikan kepuasan baik terhadap klien maupun konselor.
Untuk menjamin kelancaran dan kesuksesan praktek konseling multikultural, setidak-tidaknya menurut Craig Stutman (2019) ada sejumlah langkah yang harus dilakukan, yaitu (1) mendefinisikan konseling multikultural, dengan mengidentifikasi dan menghargai perbedaan antara konselor dan klien, (2) mengidentifikasi perbedaan budaya, dengan mengetahui gaya berekspresi konseli untuk hindari misunderstanding, (3) memahami dan menunjuk issu konseling multikultural, sehingga intervensinya sensitif secara kultural, (4) memainkan peran diri konselor dalam konseling multikultural untuk menjamin efektivitas konseling, dan (5) pendidikan terus menerus dikehendaki dalam konseling multikultural, karena dinamika persoalan terus berubah.
Untuk memberikan layanan konseling multikultural yang terbaik sangat dibutuhkan Konselor profesional yang memiliki kompetensi secara kultural. Menurut Sue (Hania etc:2011) ada tiga karakteristik, (1) Kesadaran akan dirinya, nilai, dan bias, (2) Memahami pandangan klien yang berbeda secara kultural, dan (3) Mampu mengembangkan strategi dan teknik interventi yang sesuai. Dengan begitu ada tiga kata kunci, yaitu konselor, klien, dan strategi. Semuanya bertumpu pada konselor, sejauh mana konselor secara kreatif bisa wujudkan layanan konseling multikultural yang efektif. Efektivitas layanan konseling multikultural sangat menentukan keberhasilan,sehingga utamanya memuaskan konseling.
Akhirnya, sangatlah disadari bahwa setiap praktek layanan konseling di setting manapun, apakah konseling keluarga, konseling pendidikan, konseling karir, konseling anak berkebutuhan khusus, konseling anak berbakat, dan sebagainya, sudah seharusnya mempertimbangkan implementasi konseling multikultural. Dengan begitu diharapkan sekali layanan konselingnya bisa mencapai efektivitas dan efisiensi yang tinggi. Mengingat dalam hidup kita ini tidak bisa lepas dari masalah dan kebutuhan untuk tumbuh dan berkembang, maka konseling untuk semua menjadi suatu kebutuhan. (*)
*) Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |